Segitiga Cinta Dalam Keluarga Samara

 

Segitiga Cinta Dalam Keluarga Samara

Oleh Ahmad Sakur Isnaini, S.Ag


Dalam membangun bahtera rumah tangga terkadang tidak dibutuhkan proses yang panjang dan rumit. Seperti yang terjadi pada pasangan Jono dan Marni (nama samara) yang baru saja menikah bebarapa hari yang lalu. Cukup waktu seminggu untuk menentukan hari bahagia itu. Tidak seperti kebanyakan remaja pada umumnya yang diawali dengan perjumpaan yang intens dan kisah drama korea yang mengharu-biru. Kedua pasangan ini tidak saling kenal sebelumnya, tetapi melalui proses ta’aruf yang di dorong oleh salah seorang guru si Jono, hingga dilanjutkan proses khitbah kepada kedua orang tua si Marni.


Sebuah fenomena yang  masih mendapatkan tempat ditengah gejala global yang terus menggerus nilai-nilai kebaikan. Mungkin banyak yang bertanya, bagaimana mungkin sebuah pernikahan yang mempunyai tanggungjawab yang berat hanya membutuhkan waktu seminggu untuk mewujudkannya?

Kalau kita melihat kebelakang, bagaimana kisah para orang tua tempo dulu yang kebanyakan mereka menikah tanpa melalui proses pacaran yang panjang dan berliku, namun kehidupan rumah tangga mereka dikaruniai keturunan yang banyak dan kehidupan yang tentram. Tentu kisah Datuk Maringgih dan Siti Nurbaya dikecualikan dari kisah ini. Dan sebaliknya generasi zaman now yang awal kisah pernikahan mereka diawali  dengan drama percintaan yang panjang bahkan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.

Untuk memotret kisah-kisah percintaan ini, kita akan mencoba memakai analisa psikologi yang kembangkan oleh Robert J. Sternberg yang dikenal dengan teori segitiga cinta. Menurut Sternberg bahwa semua jenis hubungan, baik pertemanan, percintaan, pasangan hidup suami-istri pasti memiliki salah satu dari tiga elemen dasar, yakni keintiman, gairah dan komitmen.

Pertama, intimacy; yaitu keintiman, kedekatan emosi yang melibatkan tingkat kepercayaan yang tinggi antara dua individu. Dalam konteks rumah tangga mejadikan pasangan suami istri merasa saling memiliki, salingterhubung sehungga akan merasakan ketenangan. Kedua, Pasion, yaitu gairah atau perasaan romatis dan ketertarikan fisik dan seksual. Dalam konteks pasangan suami istri, keduanya mendapatkan kepuasan fisik dan seksual demi menjaga pandangan. Ketiga, Commitmen yaitu sebuah upaya sadar untuk ingin terus bersama, ingin selalu dekat dan berbuat baik. Bagi pasangan suami istri ada kesadaran untuk saling mengikat janji suci, janji kokoh menjaga hubungan tetap lestari tidak mengkhianati dan tidak mudah putus asa.

Sternberg melihat cinta sebagai segitiga sama sisi yang memiliki panjang yang sama. Sehingga dalam membangun sebuah hubungan, khususnya rumah tangga, ketika ketiga sisinya ada keseimbangan antara keintiman, gairah dan komitmen maka akan terbentuk keluarga ideal yang di kenal dengan istilah consummate love atau cinta sempurna. Yang dalam bahasa agama Islam, keluarga yang sakinah akan terwujud jika didalamnya ada mawaddah dan rohmah sebagai bentuk komitmen mitsaqan gholidha (janji kokoh) sehingga lebih bisa aghadhdhu lil bashar wa ahshanu lil farj terhindar bahaya mata dan organ reproduksinya dari perzinahan.

Keseimbangan antara ketiga komponen ini tentu saja tidak akan berjalan lurus dan stagnan karena tentu akan mengalami perubahan-perubahan mengikuti dinamika perkembangan perkawinan. Suatu saat mungkin saja ada satu kompenen yang terasa lemah pada salah satu pasangan. Seperti dalam kondisi salah satu pasangan mengalami penyakit yang kronis atau hidup terpisah jarak yang jauh disebabkan pekerjaan dan sebagainya. Atau dalam pejalanan bahtera rumahtangga akan mengalami berbagai ujian dan konflik rumah tangga yang senantiasa menghiasi silih berganti.

Dalam kondisi semacam ini, maka pasangan suami istri perlu melakukan langkah-langkah tertentu untuk menyeimbangkan kondisi ini. Mengabaikan salah satu komponen ini, akan mengakibatkan ketidak seimbangan dalam relasi hubungan suami istri bahkan mengakibatkan semakin memburuk dan akhirnya tumbang. Memupuk dan merawat ketiganya adalah sebuah keniscayaan dalam hubungan rumah tangga.

Memupuk kedekatan emosi dengan cara saling terbuka dan saling memahami diantara mereka. Menjaga komitmen agar tetap kokoh dengan cara saling menjaga kejujuran dan kesetiaan yang diiringi dengan sikap tanggungjawab masing-masing keduanya. Dan menjaga api gairah dengan cara saling menjaga dan memelihara hubungan intim ini yang tidak semata kepuasan fisik. Ditengah kesibukan, kelelahan mencari nafkah dan mengurus rumah tangga bahkan kehadiran buah hati  dan lingkungan, maka dibutuhkan kedekatan dan suasana romantis bila perlu meluangkan waktu khusus bersama pasangan.

Disamping itu diperlukan sebuah sikap untuk saling mengingat bahwa komitmen perkawinan bukan hanya sekedar janji kepada pasangan tetapi juga janji kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga akan ada sikap saling memahami dan saling memberi mengalahkan sikap saling menuntut dan saling memaksakan diri. Yang dalam bahasa al- Qur’an dikenal dengan istilah mua’syaroh bil ma’ruf.

Kembali pada kisah pernikahan si Jono dan Marni, maka tipologi pernikahan seperti ini jika tidak dibarengi dengan sebuah usaha untuk menjaga keseimbangan tiga komponen dalam segitiga cinta itu, maka akan menjadi keluarga yang rapuh. Maka tidak heran dalam tipologi pernikahan seperti ini, ada istilah pacaran setelah menikah. Yakni sebuah usaha untuk membangun segitiga cinta agar senantiasa tumbuh dan mekar sehingga akan menghasilkan bunga yang indah, aroma yang wangi dan buah yang lebat. Selamat membangun bahtera untuk si Jono dan Marni.

 

Penulis adalah Penghulu Muda pada KUA Kecamatan Banyuwangi

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama