Meninggal dalam Ibadah Haji
Oleh
: Syafaat
Tak
ada yang lebih berbahagia selain segera berjumpa dengan yang sangat
dicintainya, segala upaya dilakukan agar keinginan tersebut dapat terwujut.
Namun tidak sedikit yang mengambil jalan pintas yang pada akhirnya tidak dapat
terwujud sesuai dengan keinginanya. Begitu juga dengan yang pernah saya alami
ketika dipercaya sebagai Ketua Kloter Jamaah Haji Indonesia yang mengawal
jamaah haji dengan resiko tinggi (risti), tidak sedikit yang meninggal dunia
hingga saya harus menambah garis tersendiri dari buku laporan karena jumlah
yang meninggal melebihi jumlah kolom yang disediakan.
Saya masih ingat ketika dengan yang disampaikan dokter Idha Prastyawati, dokter kloter yang menanyakan apakah mungkin kita mencegah orang-orang untuk tidak berdoa dan berharap mereka meninggal dalam melaksanakan ibadah haji. Sungguh merupakan sebuah kebahagiaan ketika kita menghadap ilahirobbi ketika sedang beribadah, disholatkan oleh jutaan jamaah yang sedang menjalankan ibadah haji. Yang dalam hati diam diam saya juga mempunyai keinginan yang sama, bahwa jika saya sudah tua nanti juga berkeinginan meninggal ketika menjalankan ibadah haji, disholatkan di Masjidil Haram oleh jutaan jamaah haji seluruh dunia.
Kita
tidak dapat mencegah seseorang untuk berdoa, karena ketika dicegahpun belum
tentu hati mereka tidak mengungkapkan doa dan keinginannya, karenanya saya
hanya berharap agar kami dimudahkan dalam mengurusi jamaah yang menjadi
tanggungan kami, karena seberat apapun kesulitan yang kita hadapi akan serasa
ringan jika urusan kita dimudahkan. Namun ketika urusan yang kita hadapi
disulitkan, meskipun hanya satu urusan akan mengakibatkan urusan tersebut tidak
akan segera tersesaikan.
Keinginan
luhur tersebut memang tidaklah salah, namun Tuhan sudah memtakdirkan atas
kematian seseorang yang belum tentu sesuai dengan doanya. Sungguh sebuah
pekerjaan yang sangat melelahkan ketika harus merawat orang yang meninggal di
negeri orang, terlebih dengan jumlah yang tidak sedikit, tenaga nyaris terkuras
untuk mrngurusi mereka yang meninggal, belum lagi harus merawat mereka yang
sedang sakit, yang juga butuh perawatan. Karenanya sebuah keinginan yang logis
ketika kami juga berharap agar tidak ada keinginan bagi mereka untuk meinggal
ketika menjalankan ibadah haji.
Dua
tahun terakhir Indonesia tidak memberangkatkan jamaah hajinya, dan menurut saya
ini merupakan langkah yang tepat untuk keselamatan bersama. Meskipun meninggal
dunia ketika melaksanakan ibadah haji merupakan hal yang mulia, namun juga
harus diperhitungkan problem lain yang dihadapi, tentang mereka yang belum
berkeinginan untuk meninggal dunia dan masihh ingin berkumpul dengan anggota
keluarga, atau mereka yang terpapar virus namun tidak segera mati.
Bisa
dibayangkan dengan kerumunan yang ditimbulkan ketika jamaah yang diperbolehkan
berangkat seperti biasanya, ketika wabah corona masih melanda. Bisa
dibandingkan berapa yanbg meninggal dunia ketika tidak ada virus corona, dan
dapat dibayangkan yang akan terjadi jika pelaksanaan ibadah haji masih
dilaksanakan sebagaimana biasa yang tentunya tidak akan terlepas dari banyaknya
kerumunan dari berbagai macam orang yang tidak diketahui secara pasti apakan
mereka membawa virus atau terbebas daripadanya.
Sebagian
ada yang menganggap bahwa langkah untuk tidak mengirimkan jamaah haji (dan juga
karena tidak adanya kuota) tersebut merupakan langkah politis dengan berbagai
macam isyu yang dihembuskan bersamaan dengan kebijakan tersebut. Namun bagi
kami yang pernah bertugas untuk pelaksanaan Ibadah haji, langkah pemerintah
tersebut merupakan langkah yang sangat tepat guna melindungi jamaah haji dan
para petugas yang menyertainya.
Tidak
adanya pemberangkatan jamaah haji Indonesia juga mengakibatkan banyaknya calon
jamaah haji yang membatalkan rencana pemberangkatan hajnya dengan cara
membatalkan pendaftaran haji. Mereka termakan issu bahwa dana haji akan disalah
gunakan karena tidak adanya pemberangkatan haji. Mungkin mereka lupa bahwa
dalah beribadah, keinginan dan adanya niat yang sungguh sungguh sudah dapat dianggap
senilai dengan kewajiban yang akan dilaksanaknnya.
Sebagaimana
meninggal dunia ketika menjalankan ibadah haji yang dijamin masuk surga, begitu
juga dengan mereka yang meninggal dunia karena serangan wabah. Namun demikian
bukan berarti kita harus menyerah pasrah begitu juga untuk meninggal dunia
karena serangan wabah, karena bagi mereka yang pasrah menantang wabah juga
tidak secara serta merta dianggap meninggal dunia karena wabah, karena yang
dilakukan dapat digolongkan dengan upaya bunuh diri, dan matinya dianggap
sia-sia. Meninggal karena serangan wabah harus didahului dengan upaya
pencegahan sungguh-sungguh yang dapat dilakukan agar tidak meninggal.
Covid-19
membutuhkan banyak pengorbanan untuk dapat menanggulanginya, meskipun tidak
menutup kemungkinan adanya oknum yang menganbil banyak keuntungan dari adanya
wabah yang sedang melanda. Hal ini wajar dan jamak terjadi pada setiap bencana
yang terjadi, baik melakukan dengan cara yng tidak bertentangan dengan hukum,
maupun mereka yang tega menggarong
ketika wabah dan bencana terjadi, memsnfaatkan musibah dengan mengeruk
keuntungan sebanyak banyaknya.
Tidak
akan sia sia mereka yang sudah mendaftar haji namun belum juga dapat
diberangkatkan, banyak tamsil yang dapat dijadikan tauladan tentang mabrurnya jamaah
haji yang dilakukan oleh mereka yang tidak melaksanakan ibadah haji. Banyak
tamsil tentang orang yang dengan biaya yang cukup akan melaksanakan ibadah
haji, namun mengurungjan niatnya dan menyalurkan harta yang dimiliki yang akan
digunakan untuk perjalanan haji tersebut dan menyerahkan kepada orang lain
untuk mencukupi kebutuhan dasar hidup mereka yang sangat membutuhkan.
*Penulis adalah Penyusun Bahan Pembinaan Keluarga Sakinah Kemenag Kab. Banyuwangi