Delapan Puluh Tahun Merdeka: Doa, Cinta, dan Amanah Religius Bangsa
oleh: Syafaat
Kemerdekaan Indonesia yang kini berusia delapan puluh tahun bukanlah sekadar perhitungan kalender atau momentum seremonial yang berulang tiap Agustus. Ia merupakan peristiwa historis, kultural, dan religius yang berkelindan, menjadi fondasi identitas bangsa. Jika dilihat melalui pendekatan hermeneutika sejarah, kemerdekaan dapat dipahami sebagai teks yang lahir dari pergulatan doa, darah, dan iman, bukan sekadar hasil kalkulasi politik[^1].
Dalam kerangka filsafat politik, kemerdekaan biasanya dipahami sebagai hak kodrati manusia untuk bebas dari dominasi[^2]. Namun dalam konteks Indonesia, kemerdekaan justru menemukan basis teologisnya. Ia lahir dari doa yang dipanjatkan di musholla bambu, dari bisikan iman yang terucap di tengah keterbatasan. Dengan demikian, proklamasi 1945 dapat dipandang sebagai aktus iman kolektif bangsa, sebuah perwujudan keyakinan bahwa bangsa ini layak berdiri sendiri meski belum memiliki perangkat negara yang mapan[^3].
Para pemuda yang "menculik" Soekarno dan Hatta misalnya, sering ditafsirkan hanya dalam bingkai politik. Padahal, tindakan mereka lebih dekat dengan ekspresi iman ketimbang sekadar strategi politik. Mereka sadar kalkulasi logis belum sepenuhnya mendukung, Jepang belum benar-benar menyerah, Belanda masih bernafsu kembali. Namun mereka bergerak dengan keberanian iman. Di sinilah tampak bahwa kemerdekaan Indonesia adalah peristiwa religius: ia lahir seperti cinta, irasional tetapi tak terbantahkan.
Delapan puluh tahun setelah proklamasi, bangsa ini merayakan kemerdekaan dengan bendera, lagu kebangsaan, lomba rakyat, hingga upacara kenegaraan. Ritual-ritual itu penting, tetapi esensinya tidak boleh berhenti pada simbol. Secara sosiologis, ritual memperkuat identitas kolektif[^4], namun secara spiritual, ia harus menjadi pengingat akan doa dan darah yang melahirkan bangsa. Tanpa kesadaran spiritual, ritual bisa terjebak menjadi formalitas yang hampa.
Kemerdekaan juga selalu menghadirkan paradoks. Agustus adalah bulan bendera dikibarkan dengan khidmat, tetapi juga bulan rakyat menjerit menuntut keadilan: petani protes harga pupuk, buruh menuntut upah layak, warga resah oleh pajak bumi yang melonjak. Kontradiksi ini bukan tanda kegagalan, melainkan konsekuensi logis dari merdeka. Justru karena merdeka, rakyat memiliki legitimasi untuk bersuara. Dengan kata lain, kebebasan menolak ketidakadilan adalah bagian dari doa kemerdekaan itu sendiri[^5].
Jika ditelusuri lebih dalam, pengorbanan para pejuang bukanlah pengorbanan kaum elit. Mereka adalah petani, buruh, dan anak muda sederhana yang lebih sering memegang cangkul daripada senjata, lebih akrab dengan lapar daripada kenyang. Nama mereka mungkin tak tercatat dalam buku sejarah, tetapi doa mereka menyatu dengan tanah air. Di sinilah dimensi sufistik kemerdekaan terlihat: mereka yang gugur adalah awliya bangsa, wali-wali tanpa nama yang menjaga doa Indonesia[^6].
Pertanyaan etis sekaligus religius lalu muncul: apakah generasi kini setia menjaga doa itu? Seringkali kemerdekaan dipersepsi hanya sebagai hak—hak atas pekerjaan, fasilitas, kenyamanan. Padahal secara teologis, kemerdekaan lebih tepat dipahami sebagai amanah. Seperti cinta, ia tidak cukup diucapkan, melainkan harus dirawat[^7]. Iman yang melahirkan proklamasi menuntut pembaruan iman yang sama untuk menjaga bangsa dari korupsi, ketidakadilan, dan pengkhianatan terhadap rakyat kecil.
Dengan demikian, merdeka adalah tindakan iman yang terus-menerus. Ia bukan hadiah kolonial, bukan pula kompromi politik, melainkan doa yang turun dari langit lalu dijaga dengan darah di bumi. Kesetiaan pada doa itu menuntut kesungguhan moral generasi kini: kejujuran, keadilan, dan keberanian menolak korupsi. Tanpa itu, bangsa ini hanya merayakan simbol tanpa menjaga esensi.
Merdeka adalah paradoks cinta. Ia membuat kita bangga sekaligus malu: bangga karena lahir dari perjuangan tulus, malu karena sering melupakan ketulusan itu. Setiap lomba Agustus, setiap tawa di lapangan, harus menjadi pengingat bahwa tawa itu dibeli dengan tangis panjang. Setiap bendera yang berkibar harus dilihat bukan sekadar kain, melainkan darah yang pernah menetes. Setiap lagu kebangsaan bukan hanya musik, melainkan doa para ibu yang kehilangan anaknya.
Dalam perspektif religius, kemerdekaan adalah dzikir bangsa. Ia mengingatkan bahwa tanah ini suci, hidup ini singkat, dan manusia adalah bagian dari sejarah yang lebih besar dari dirinya sendiri. Maka, delapan puluh tahun Indonesia merdeka bukanlah sekadar narasi historis, melainkan amanah teologis: doa yang tak boleh dikhianati, cinta yang tak boleh padam, dan iman yang harus terus diperbarui.
Karena pada akhirnya, merdeka bukan hanya sejarah politik. Ia adalah doa yang diwariskan, cinta yang dibayar dengan darah, dan amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Catatan Kaki
[^1]: Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method. (New York: Continuum, 1989). Hermeneutika sebagai cara memahami sejarah sebagai teks yang terus hidup.
[^2]: Locke, John. Two Treatises of Government. (London, 1689). Kemerdekaan sebagai hak kodrati.
[^3]: Anderson, Benedict. Imagined Communities. (London: Verso, 1991). Gagasan bangsa sebagai komunitas imajiner, lahir dari kesadaran iman kolektif.
[^4]: Durkheim, Émile. The Elementary Forms of Religious Life. (New York: Free Press, 1995). Fungsi ritual dalam memperkuat kohesi sosial.
[^5]: Habermas, Jürgen. Between Facts and Norms. (MIT Press, 1996). Demokrasi sebagai ruang artikulasi suara rakyat.
[^6]: Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Spirituality. (New York: Routledge, 1991). Dimensi sufistik pengorbanan dan kesyahidan.
[^7]: Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulum al-Din. Kitab tentang amanah dan tanggung jawab iman yang harus dirawat terus-menerus.