Madrasah Untuk Calon Manten
Syafaat, SH, MHI
Peningkatan sumber daya manusia harus diawali dengan
peningkatan mutu keluarga, dimana calon suami istri yang akan melangsungkan
pernikahan harus benar benar siap sebagai calon orang tua yang akan membesarkan
dan mendidik anak anaknya. Persiapan tersebut tidak dapat dilakukan secara
instan dalam beberapa hari atau mmungkin beberapa bulan saja, namunn harus
dipersiapkan sejak dini, terlebih bagi perempuan sebagai calon dari seorang ibu.
Beberapa kali saya mengikuti diskusi dalam sebuah worshop
yang dilaksanakan beberapa instansi pemerintah dan NGO terkait peningkatan
pemahaman dan pengetahuan dibidang kesehatan, keluarga sakinah dan
kependudukaan, dimana sejak usia sekolah telah diberikan pemahaman tentang
persiapan seorang remaja putri sebagai calon dari seorang ibu harus menjaga
kesehatan, terlebih dari gejala anemia, hal ini berkaitan erat dengan
pertumbuhannya dimana dengan aktifitas pelajar yang begitu padat, dan pada saat
tertentu mereka juga mendapatkan tamu bulanan yang jika kurang tercukupinya
asupan gizi yang dibutuhkan, akan berdampak pada gejala anemia yang dalam
jangka panjang akan berdampak pada pertumbuhan dirinya.
Pemahaman tentang perencanaan pernikahan dan reproduksijuga
diselipkan pafda beberapa materi pelajaran disekolah serta adanya
beberapa lingkaran organisasi siswa dibidang kesadaran kependudukan seperti
GenRe (Generasi Berencana) Pik-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) Saka
Kencana dalam Kegiatan Pramuka, dimana dengan beberapa materi dan kegiatan
tersebut dihartapkan remaja diusia sekolah tersebut dapat terhindar pernikahan
dini serta memahami masalah reproduksi dan terhindar dari kegiatan seks bebas.
Diskusi antar remaja untuk membahas yang berkaitan dengan
diri dan pribadi dengan menjadikan rekan sebagai konsultan sebaya sangat
efentif untuk memberikan kesadaran dan pemahaman tentang kesehatan reproduksi
dan masalah masalah yang berkaitan denga gejolak perasaan remaja yang mulai ada
ketertarikan dengan lawan jenis yang diharapkan terjadi hubungan yang sehat
yang tidak bertentangan dengan norma yang berlaku.
Islam mengajarkan bahwa menuntut ilmu menjadi sebuah
kewajiban bagi seorang laki laki dan seorang perempuan, meskipun dalam agama
Islam tidak ada kewajiban dari seorang peremouan untuk mencari nafkah. Dimana
seorang perempuan ebagai kodratnya akan menjadi seorang Ibu yang bukan hanya
berkewajiban membesarkan anak anaknya, namun juga mendidik anak anaknya, karena
seorang Ibu merupakan Madrasah pertama bagi anak anaknya. Karenanya peningkatan
kesehatan dan pendidikan bagi calon ibu sangatlah penting untuk peningkatan
kwalitas sumber daya manusia, dimana ketika seorang anak berada pada masa
keemasan (golden age) yakni usia kelahiran hingga usia 3 tahun, lebih banyak
hidup bersama ibu dan keluarganya.
Peningkatan usia yang diperkenankan untuk melangsungkan
perkawinan dari yang semula 16 tahun bagi seorang perempuan menjadi laki laki
dan perempuan minimal 19 tahun adalah salah satu upaya untuk meningkatkan
kwalitas keluarga, meskipun dalam hal tertentu dan beberapa daerah di
Indonesia, usia minimal untuk menikah tersebut dianggap belum saatnya untuk
diterapkan di Indonesia. Begitu juga dengan pelaksanaan suscatin dan binwin
yang dilaksanakan sebelum dilaksanakannya perkawinan tersebut.
Perkawinan merupakan masalah komplek, dimana masalah yang
dihadapi satu keluarga dengan keluarga lainnya akan berbeda. Hal ini
membutuhkan kesiapan mental, dimana pada usia yang lebih dewasa ketika memulai
perkawinan akan berdampak pada kematangan cara berfikir dan menyelesaikan
masalah dari pasangan tersebut. Peningkatan pendewasaan usia perkawinan
tersebut tidak dapat dilakukan hanya dengan meningatkan batas usia minimal
untuk melakukan perkawinan saja, karena dalam undang undang juga memungkinkan
bagi yang usianya masik kurang dari ketentuan tersebut untuk melaksanakan
perkawinan dengan dispensasi dari Pengadilan. Pendewasaan usia perkawinan akan
lebih efektif dengan memberikan pemahaman terhadap Remaja usia nikah.
Kursus Calon manten (suscatin) dan Pembinaan Perkawinan
(binwin) yang akan diberikan sertifikat bukan hanya untuk mengurangi angka
perceraian, namun juga untuk pemahaman dalam berkeluarga yang diharapkan
peningkatan terhadap kwalitas dari anak anak yang akan lahir dari perkawinan
tersebut. Meskipun dengan adanya sertifikat suscatin tersebut bukan merupakan
jaminan pasangan tersebut tidak akan cerai, setidaknya pasangan yang telah
mendapatkan bimbingan perkawinan dapat menjadi orang tua yang baik bagi anak anaknya.
Pemilihan terhadap narasuber dalam kegiatan yang berkaitan
dengan pembinaan calon manten tersebut juga perlu, karena tidak jarang peserta
yang mengikuti kegiatan tersebut akan mengkaitkan dengan pribadi dari keluarga
yang memberikan materi. Begitu juga dengan pemberi materi dimana biasanya juga
akan menyampaikan sesuai dengan pengalamam pribadi keluarganya.
Keluarga merupakan organisasi terkecil yang ada pada
masyarakat, dimana dalam keluarga ini anak akan tumbuh dan berkembang yang
sangat dipengaruhi oleh kondisi keluarga tersebut, karenanya pengetahuan dan
pemahaman orang tua dalam pendidikan anak sangat penting untuk tumbuh dan
berkembangnya seorang anak, karenanya dalam setiap pelaksanaan pembinaan calon
manten disamping disampaikan masalah keluarga dan perencanaanya, juga diberikan
materi parenting education.
Wacana
terhadap Kewajiban memiliki sertifikat perkawinan bagi pasangan calon mempelai
menimbulkan pro dan kontra, hal ini dianggap kewajiban tersebut melanggar hak
privasi dari seseorang untuk melangsungkan perkawinan, karena jika seseorang
tidak dapat menunjukkan sertifikat perkawinan dengan sebab tidak lulus dalam
mendapatkan sertifikat tersebut. Disisi lain ada yang setuju dengan kewajiban
melampirkan sertifikat tersebut sebagai bukti bahwa yang bersangkutan sudah
mendapatkan bimbingan perkawinan, dimana dalam sertikat tersebut bukan
menentukan lulus tidaknya seseorang, namun hanya sebagai bukti bahwa telah
mengikutinya.(Bimas Islam Kemenag RI)
Tags:
Artikel Pilihan