Hadis Harian 27: Karakter Keaslian Manusia

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Penjelasan Hadis
Hadis ini menjelaskan karakter dasar manusia yaitu fithrah atau asal kejadian dalam keadaan suci. Adapun perubahan karakter tersebut dipengaruhi oleh pola asuh orang tua yang menyebabkan manusia keluar dari karakter keasliannya.

Kalimat “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci” menunjukkan adanya karakter dasar yang melekat pada jiwa setiap bayi, meskipun bayi itu belum mengenali kedua orang tuanya, saudara-saudaranya, dan orang di sekitarnya namun ia sudah mengenal Tuhannya.

Dalam kamus Lisaanul Arab, fitrah artinya al-khilqah yaitu keadaan asal ketika seorang manusia diciptakan oleh Allah. Apapun yang melekat dalam diri bayi adalah keadaan asal, baik aspek fisik maupun karakter, dan karakter asal bayi adalah bertauhid. Inilah yang diungkapkan oleh para ulama bahwa. Setiap manusia lahir dalam keadaan bertauhid atau Islam. Sebagaimana firman Allah SWT:

Makhadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Ruum: 30).

Dalam konteks Ramadan, ibadah puasa merupakan proses “detoktifikasi” untuk mengeluarkan “racun-racun” yang mengotori karakter keaslian manusia. Dengan menjalankan ibadah puasa secara istiqamah dan aktivitas ibadah lainnya, umat Islam diharapkan dapat kembali kepada karakter keasliannya atau fitrah. Tujuan ini diungkapkan dalam Al-Qur’an dengan istilah la’allakum tattaqûn (agar kalian bertaqwa).

Setidaknya, ada 5 (lima) keaslian karakter manusia yang dikembalikan oleh Allah SWT melalui ibadah puasa:

Pertama, Fitrah Bertauhid
Fitrah bertauhid merupakan potensi dasar sebagai hasil dari persaksian atas ketauhidan  Allah SWT saat di alam rahim. Fitrah ini harus terus dirawat dan dikembangkan melalui pola asuh dan pendidikan yang sejalan dengan fitrah.

Dalam pandangan Islam, pengetahuan awal yang harus dimiliki oleh anak adalah aqidah dan tauhid, yaitu pengetahuan tentang cara mencintai Allah, Rasul-Nya, dan Al-Qur’an. Bahkan Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa cinta kepada Allah merupakan fitrah kalbu, jika fitrah ini tidak rusak maka hati akan selalu mengenal Allah, mencintai-Nya, dan beribadah kepada-Nya.  Karena fitrah bertuhan menjadi potensi dasar, maka orang tua bertanggungjawab jawab untuk mengembangkan potensi anak menjadi pribadi yang baik dan bertauhid di masa depan.

Fitrah inilah yang menjadi alasan Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat yang berjihad di medan perang agar tidak membunuh anak kecil, meskipun mereka terlahir dari orang tua yang musyrik, akan tetapi potensi ketauhidan mereka masih tersimpan dalam hati, sehingga suatu saat diharapkan keislaman mereka.  

Oleh karena itu, ibadah puasa dan agenda ibadah-ibadah seperti tilawah Al-Qur’an, shalat Tarawih, dan qiyamullail akan mengembalikan karakter keaslian muslim sebagai makhluk yang suci.

Kedua, Fitrah Beragama
Yaitu fitrah sebagai muslim yang taat. Fitrah beragama ini diwujudkan dengan potensi keyakinan terhadap keberadaan sang Pencipta dan ketergantungan kuat kepada-Nya, serta penyerahan diri secara totalitas terhadap segala ajaran yang telah digariskan oleh-Nya. Ibadah puasa merupakan isyarat yang mengetuk alam bawah sadar kita untuk mempertajam kembali karakter kita sebagai makhluk beragama melalui intropeksi ke dalam terhadap hak dan kewajiban kita sebagai muslim. Status sebagai muslim merupakan suatu anugerah termulia dan kunci segala kebaikan, sebaliknya kesesatan merupakan malapetaka dan kunci segala kerugian, sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam QS Al An’am 125:

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk  Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

Ketiga, Fitrah Berempati
Yaitu potensi berinteraksi sosial dan rasa empati terhadap kesulitan orang lain. Salah satu nilai puasa adalah kebersamaan dan kepedulian sosial. Kebersamaan yang dibangun lebih mengedepankan persamaan aqidah, sehingga menumbuhkan motivasi keberagamaan dan kebersamaan yang lebih tinggi dibanding bulan-bulan yang lain.  Puasa juga membentuk pola pikir dan prilaku sosial melalui “ibadah” lapar dan dahaga. Dengan rasa lapar dan dahaga, Allah ingin menggedor potensi sosial yang selama ini membeku akibat keserakahan, cinta dunia, individualisme, dan pola hidup edonisme  sehingga tergerak untuk melakukan ibadah sosial. Terhadap orang yang meninggalkan fitrah berempati dicap oleh Allah SWT sebagai pendusta agama sekalipun ia seorang ahli ibadah.

Tahukah kamyang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Qs. Al-Ma’un: 1-3)

Keempat, Fitrah Bermoral
Yaitu potensi dasar berupa berprilaku baik. Tujuan kehadiran Nabi Muhammad adalah membangun kualitas moral. Ini artinya, bahwa agama pada dasarnya adalah akhlak, kerena seorang tidak dapat disebut beragama bila tidak berakhlak. Sejalan dengan semangat ini, maka ibadah dan kewajiban-kewajiban dalam Islam mengandung unsur pendidikan akhlak. Dalam pandangan Al Ghazali, ibadah dimaksudkan sebagai sarana pengembangan akhlak dan sarana latihan yang dilakukan berulang-ulang untuk membiasakan manusia berakhlak yang baik. Sebagai contoh, ibadah shalat bertujuan untuk menjauhkan manusia dari karakter buruk dan berprilaku munkar. Zakat dilakukan untuk membersihkan dan mensucikan jiwa. Puasa diwajibkan untuk mencapai derajat taqwa yaitu perpaduan antara ibadah tauhid dengan ibadah sosial. Dan Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa tidak ada gunanya seorang berpuasa, tidak makan dan minum, kalau ia tidak bisa berhenti dari dusta dan melakukan kebohongan publik (HR. Bukhari).

Itulah 4 (empat) fitrah atau karakter keaslian manusia yang dikembalikan melalui kewajiban ibadah puasa yaitu fitrah bertauhid, fitrah beragama, fitrah berempati, dan fitrah bermoral baik. Demikian, semoga bermanfaat.

Subhan Nur, Lc, M.Ag
(Kepala Seksi Pengembangan Metode dan Materi Dakwah Dit. Penerangan Agama Islam)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama