Dari Ibnu ‘Umar RA,bahwasanya Rasulullah SAW menyebutkan tentang Ramadan, beliau membuka tangannya lalu berkata, “Bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini’, kemudian menutup ibu jarinya pada kali yang ketiga. ‘Maka berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya (hilal), apabila kalian terhalangi maka perkirakanlah bilangannya menjadi tiga puluh!”. (HR. Muslim)
Penjelasan Hadis
Hadis ini menjelaskan tuntunan Rasulullah SAW kepada umatnya bahwa rukyatul hilal menjadi metode dalam menentukan awal puasa Ramadan dan kapan kita mengakhiri puasa (berhari raya), sebagaimana tertuang dalam hadis tersebut.
Kalimat “Bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini’ merupakan isyarat dari Rasulullah SAW yang berimplikasi terhadap sains tentang perhitungan waktu. Rasulullah berisyarat dengan jari-jari tangan beliau bahwa bulan itu seperti ini, seperti ini, seperti ini tiga kali menandakan bahwa umur bulan itu 30 hari. Sedangkan isyarat menutup ibu jarinya menandakan bahwa bulan berumur 29 hari, sehingga di dalam kalender hijriyah bulan itu bisa 29 hari dan bisa 30 hari, tidak ada 28 hari atau lebih 31 hari.
Isyarah rasul dengan jarinya terkait umur bulan inipun sesuai dengan siklus sinodis bulan secara astronomi, bahwa umur bulan adalah 29,5 sehingga dihasilkan bahwa bulan 29 atau 30, karena menggenapkan 29,5 ini menjadi 30. Inilah yang selanjutnya menghasilkan kalender urfi. Dengan adanya perintah untuk melakukan rukyat secara tidak langsung Rasulullah telah membangun sebuah peradaban baru yaitu observasi, tidak hanya berjalan secara hisab tetapi lebih diyakinkan bahwa fase bulan saat itu memang sudah bisa dipastikan masuk pada fase awal bulan baru.
Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa dengan konsep seperti ini tidak memunculkan persoalan, ternyata interpretasi terhadap hadis tersebut sama seperti mazhab dalam fikih, memunculkan beragam pandangan, ada yang memandang bahwa untuk kalender hijriyah cukuplah dengan isyarah jari beliau saja yaitu dalam kalender hijriyah cukup menetapkan bahwa jika bulan ganjil (bulan 1, 3, 5, 7, 9, 11) maka umur bulan 30 hari contohnya Muharram, secara urfi umur bulan Muharram adalah 30 hari, dan jika bulan genap (2, 4, 6, 8, 10, 12) maka umur bulan 29 hari, sistem hisab seperti ini dikenal dengan kalender hisab urfi.
Kalimat “Maka berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya (hilal)” merupakan perintah tegas Rasulullah SAW kepada umatnya untuk melakukan observasi bulan atau rukyatul hilal. Perintah observasi inilah untuk melihat ketertampakan hilal, jika hilal terlihat maka besok harinya adalah tanggal baru, dan jika tidak terlihat maka esok hari adalah tanggal 30 bulan berjalan atau biasa disebut istikmal, konsep yang sederhana tapi syarat makna. Rukyatul hilal menjadi hal yang harus dilakukan karena dengan rukyat inilah kita memiliki kepastian bahwa bulan memang berada pada fase awal.
Rukyatul hilal ini juga yang telah membangun peradaban didunia falak, khususnya pengembangan alat yang digunakan, dari yang sangat sederhana yaitu menggunakan bambu saja sampai dengan teknologi teleskop canggih dengan system GOTO yaitu teleskop komputerais yang dapat mengunci gerak bulan sehingga otomatis mengikuti hilal, bukan hanya itu, dari sisi visibilitas hilal juga dikembangkan system yang dapat memotret hilal dengan kontras yang sangat tinggi dengan CCD.
Meskipun perintah rukyatul hilal pada hadis ini terkait dengan penentuan awal dan akhir ibadah puasa, namun substansi hadis ini berlaku perintah rukyatul hilal pada penentuan awal bulan-bulan hijriah. Sehingga akan lahir kalender yang tidak hanya berbasis hisab tetapi juga rukyat.Hal inipun tidak lepas dari beragam pandangan karena dalam implementasinya ternyata memunculkan mazhab kalender yang beragam, ada yang berdasarkan pemahaman rukyat murni (rukyat bilfi`li), ada yang berpandangan rukyat bil ilmi, ada yang berpandangan dengan imkanur rukyat dan lain-lain.
Di Indonesia konsep kalender hijriyah berkembang pesat dan sangat beragam yang pada akhirnya banyak memunculkan perbedaan, dan ternyata perbedaan ini banyak disikapi negatif oleh masyarakat sehingga memunculkan kesan yang tidak baik dan menggangu ukhuwah Islamiyah. Oleh karena ituKementerian Agama membaca ini sebagai persoalan yang harus diselesaikan, upaya-upaya penyatuan terus dilakukan oleh Kementerian Agama. Pada tahun 2004 Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun merespon upaya Kementerian Agama dan sekaligus merespon persolana umat dengan mengeluarkan fatwa nomor 02 tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah, Fatwa tersebut sebagai respons Majelis Ulama Indonesia atas berbagai pertanyaan dari kaum muslimin tentang terjadinya perbedaan penetapan awal bulan qomariyah, yang menyebabkan adanya perbedaan waktu hari raya dan hari besar lainnya. Fatwa tersebut diharapkan dapat menjadi guidence bagi kaum muslimin dalam menetapkan amalan ‘ubudiyahnya, baik terkait dengan puasa Ramadan, pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha.
Isi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 Tahun 2004 yaitu:
1. Penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah.
3. Dalam menetapkan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) di atas, kewenangan menetapkan awal bulan qomariyah, khususnya Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah adalah Pemerintah cq. Kementerian Agama RI. Ketetapan tersebut didasarkan atas firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (an-Nisa : 59)
dan kaidahushul fiqh:
Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan perbedaan
Fatwa tersebut juga menyebutkan bahwa ketetapan pemerintah tersebut harus dipatuhi dan ditaati oleh umat Islam di Indonesia. Setelah pemerintah menetapkan, seharusnya semua perbedaan pendapat harus dikesampingkan.
Semoga tahun ini kita bisa ber-Idul fitri bersama sekalipun ditengah wabah Covid-19 yang melanda negeri kita, semoga ibadah yang kita lakukan tidak mengurangi kekhusyuan dan kemeriahan kita berhari raya.
H.Ismail Fahmi, S.Ag
(Kepala Seksi Pengelolaan Hisab Rukyat Dit. Urusan Agama Islam Ditjen Bimas Islam)
Sumber : Bimas Islam Kemeneg
Penjelasan Hadis
Hadis ini menjelaskan tuntunan Rasulullah SAW kepada umatnya bahwa rukyatul hilal menjadi metode dalam menentukan awal puasa Ramadan dan kapan kita mengakhiri puasa (berhari raya), sebagaimana tertuang dalam hadis tersebut.
Kalimat “Bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini’ merupakan isyarat dari Rasulullah SAW yang berimplikasi terhadap sains tentang perhitungan waktu. Rasulullah berisyarat dengan jari-jari tangan beliau bahwa bulan itu seperti ini, seperti ini, seperti ini tiga kali menandakan bahwa umur bulan itu 30 hari. Sedangkan isyarat menutup ibu jarinya menandakan bahwa bulan berumur 29 hari, sehingga di dalam kalender hijriyah bulan itu bisa 29 hari dan bisa 30 hari, tidak ada 28 hari atau lebih 31 hari.
Isyarah rasul dengan jarinya terkait umur bulan inipun sesuai dengan siklus sinodis bulan secara astronomi, bahwa umur bulan adalah 29,5 sehingga dihasilkan bahwa bulan 29 atau 30, karena menggenapkan 29,5 ini menjadi 30. Inilah yang selanjutnya menghasilkan kalender urfi. Dengan adanya perintah untuk melakukan rukyat secara tidak langsung Rasulullah telah membangun sebuah peradaban baru yaitu observasi, tidak hanya berjalan secara hisab tetapi lebih diyakinkan bahwa fase bulan saat itu memang sudah bisa dipastikan masuk pada fase awal bulan baru.
Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa dengan konsep seperti ini tidak memunculkan persoalan, ternyata interpretasi terhadap hadis tersebut sama seperti mazhab dalam fikih, memunculkan beragam pandangan, ada yang memandang bahwa untuk kalender hijriyah cukuplah dengan isyarah jari beliau saja yaitu dalam kalender hijriyah cukup menetapkan bahwa jika bulan ganjil (bulan 1, 3, 5, 7, 9, 11) maka umur bulan 30 hari contohnya Muharram, secara urfi umur bulan Muharram adalah 30 hari, dan jika bulan genap (2, 4, 6, 8, 10, 12) maka umur bulan 29 hari, sistem hisab seperti ini dikenal dengan kalender hisab urfi.
Kalimat “Maka berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya (hilal)” merupakan perintah tegas Rasulullah SAW kepada umatnya untuk melakukan observasi bulan atau rukyatul hilal. Perintah observasi inilah untuk melihat ketertampakan hilal, jika hilal terlihat maka besok harinya adalah tanggal baru, dan jika tidak terlihat maka esok hari adalah tanggal 30 bulan berjalan atau biasa disebut istikmal, konsep yang sederhana tapi syarat makna. Rukyatul hilal menjadi hal yang harus dilakukan karena dengan rukyat inilah kita memiliki kepastian bahwa bulan memang berada pada fase awal.
Rukyatul hilal ini juga yang telah membangun peradaban didunia falak, khususnya pengembangan alat yang digunakan, dari yang sangat sederhana yaitu menggunakan bambu saja sampai dengan teknologi teleskop canggih dengan system GOTO yaitu teleskop komputerais yang dapat mengunci gerak bulan sehingga otomatis mengikuti hilal, bukan hanya itu, dari sisi visibilitas hilal juga dikembangkan system yang dapat memotret hilal dengan kontras yang sangat tinggi dengan CCD.
Meskipun perintah rukyatul hilal pada hadis ini terkait dengan penentuan awal dan akhir ibadah puasa, namun substansi hadis ini berlaku perintah rukyatul hilal pada penentuan awal bulan-bulan hijriah. Sehingga akan lahir kalender yang tidak hanya berbasis hisab tetapi juga rukyat.Hal inipun tidak lepas dari beragam pandangan karena dalam implementasinya ternyata memunculkan mazhab kalender yang beragam, ada yang berdasarkan pemahaman rukyat murni (rukyat bilfi`li), ada yang berpandangan rukyat bil ilmi, ada yang berpandangan dengan imkanur rukyat dan lain-lain.
Di Indonesia konsep kalender hijriyah berkembang pesat dan sangat beragam yang pada akhirnya banyak memunculkan perbedaan, dan ternyata perbedaan ini banyak disikapi negatif oleh masyarakat sehingga memunculkan kesan yang tidak baik dan menggangu ukhuwah Islamiyah. Oleh karena ituKementerian Agama membaca ini sebagai persoalan yang harus diselesaikan, upaya-upaya penyatuan terus dilakukan oleh Kementerian Agama. Pada tahun 2004 Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun merespon upaya Kementerian Agama dan sekaligus merespon persolana umat dengan mengeluarkan fatwa nomor 02 tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah, Fatwa tersebut sebagai respons Majelis Ulama Indonesia atas berbagai pertanyaan dari kaum muslimin tentang terjadinya perbedaan penetapan awal bulan qomariyah, yang menyebabkan adanya perbedaan waktu hari raya dan hari besar lainnya. Fatwa tersebut diharapkan dapat menjadi guidence bagi kaum muslimin dalam menetapkan amalan ‘ubudiyahnya, baik terkait dengan puasa Ramadan, pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha.
Isi fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 Tahun 2004 yaitu:
1. Penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
2. Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah.
3. Dalam menetapkan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
4. Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.
Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) di atas, kewenangan menetapkan awal bulan qomariyah, khususnya Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah adalah Pemerintah cq. Kementerian Agama RI. Ketetapan tersebut didasarkan atas firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (an-Nisa : 59)
dan kaidahushul fiqh:
Keputusan pemerintah itu mengikat dan menghilangkan perbedaan
Fatwa tersebut juga menyebutkan bahwa ketetapan pemerintah tersebut harus dipatuhi dan ditaati oleh umat Islam di Indonesia. Setelah pemerintah menetapkan, seharusnya semua perbedaan pendapat harus dikesampingkan.
Semoga tahun ini kita bisa ber-Idul fitri bersama sekalipun ditengah wabah Covid-19 yang melanda negeri kita, semoga ibadah yang kita lakukan tidak mengurangi kekhusyuan dan kemeriahan kita berhari raya.
H.Ismail Fahmi, S.Ag
(Kepala Seksi Pengelolaan Hisab Rukyat Dit. Urusan Agama Islam Ditjen Bimas Islam)
Sumber : Bimas Islam Kemeneg
Tags:
Stay At Home