Puasa Ramadhan; Sebuah Perjanjian Primordial
Okeh
: Syafaat
Primordialisme
adalah suatu perasaan-perasaan dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung
tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan
yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak
seorang individu baru (wikipedia). Dalam pandangan Islam, pengakuan akan ketuhanan Allah SWT
tersebut terlontar dari mata, kepala, tangan, dan anggota tubuh manusia
lainnya. Kisah ini termuat dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172 yang
menceritakan tentang dialog Tuhan, sang Pencipta, dengan calon manusia sebagai
makhluk ciptaannya. Peristiwa ini disebut juga sebagai perjanjian primordial.
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
‘’Bukankah aku ini Tuhanmu?’’ Mereka menjawab: ‘’Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi". Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: ‘’Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).’’ (QS Al-A’raf: 172)
Gambaran puasa sebagai manivestasi perrjanjian
primordial dengan mengingat puasa merupakan ibadah yang sah tidaknya puasa
tersebut hanya diketahui oleh orang yang melakukan puasa dan juga tuhannya, hal
ini dengan mengingat puasa merupakan perbuatan siri (sembunyi), tidak ada orang
yang tahu ketika orang tersebut secara melakukan sesuatu yang membatalkan
puasanya. Karenanya puasa merupakan wujut ketaatan seorang hamba kepada
Tuhannya.
Kisah perjanjian primordial tersebut, menurut
Muta’ali (Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas
Indonesia), merupakan sejarah paling fundamental perihal berpuasa sebelum
manusia menghuni bumi, puasa merupakan salah satu cara untuk menaklukkan dan
menguasai hawa nafsu, mengakui makna dari hakekat ketuhanan, karena ketika
terjadi perjanjian primordial tersebut seluruh anggota tubuh mengakui akan
ketuhanan, dan hanya nafsu yang mencoba untuk mengelak dari makna ketuhanan,
karenanya hanya dengan puasa, nafsu dapat ditundukkan dan di kuasai oleh
pikiran dan akal budi. hawa nafsu dihajar dengan rasa lapar dan dahaga dalam
waktu lama. Dalam Al Futuhat
Al Makiyyah karya Ibnu Arabi, ahli tasawuf Andalusia (Spanyol),
nafsu dimasukkan ke dalam lautan lapar selama seribu tahun agar mau tunduk dan
mau mengakui hakikat ketuhanan.
Puasa telah dilakukan oleh para nabi sebelum nabi
Muhamman SAW, Nabi Adam Alaihu Salam berpuasa pada tanggal 13,14 dan 15
Qomariyah, Bapak agama langit, Ibrahim, juga dilatih menjadi nabi dengan
berpuasa. Dalam QS Al-Baqarah ayat 258, Sementara Nabi Musa, sebelum menerima
wahyu Kitab Taurat, juga diceritakan berpuasa selama 40 hari 40 malam di Bukit
Sinai (Tursina). Ia menerima wahyu langsung dari Allah SWT tanpa perantara
Malaikat Jibril, dan karenanya menyandang gelar Kalimullah (orang yang diajak
bicara langsung oleh Allah). Nabi berikutnya yang berpuasa adalah Nabi Isa.
Dalam perjamuan terakhir bersama murid-muridnya, Nabi Isa disebut tengah
berpuasa. Dia sengaja mengulur waktu supaya dapat minum ketika memasuki waktu
magrib.
Dalah khasanah Jawa, juga dikenal berbagai macam
puasa maupun tirakat untuk memperoleh sebuah tujuan tertentu, tujuan dari puasa
maupun tirakat tersebut untuk mengasah jiwa dan menguji kesungguhan dari yang
sudah diniatkan, karena dengan puasa maupun tirakat tersebut akan menaikkan
kekuatan jiwa yang dituangkan dalam doa maupun mantra. Karenanya tidak heran
bahwa dalam khasanah jawa atau biasa disebut dengan ilmu jowo, hampir selau
didahuui dengan puasa maupun tirakat sebagai salah satu sarat dilakukannya lelaku
tersebut.
Puasa Ramadhan merupakan pengewantah dari
primordial yang dilakukan agar nafsu tidak menjalar secara liar, yang salah
satu cara untuk menundukkannya adalah dengan berpuasa. Dengan berpuasa akan
melatih diri untuk mengekang jiwa, melembutkan hati dan mengendalikan syahwat.
Perjanjian primordial (yang diyakini) sebagai perjanjian yang dilakukan (di
alam rohani) sebelum manusia dilahirkan, seringkali dilupakan dan tidak menjadi
pedoman hidup, seringkali manusia melupahan tuhannya, setidaknya membuarkan
nafsu menguasai diri hingga tidak terkendali. Karenanya dengan kewajiban
berpuasa di bulan ramadhan sebagai sarana untuk menundukkan nafsu hingga dapat
dikendalikan.
Ketundukan manusia dengan tuhannya benar benar
diuji dalam ibadah puuasa ramadhan, terlebih dengan perkembangan zaman yang
akan menambah banyaknya bentuk ujian dan cobaan dari orang yang menjalankan
ibadah puasa, pemahaman yang berbeda dari masalah yang sama seringkali muncul,
karenanya perbedaan tersebut masih dianggap wajar sepanjang dalam koridor
keilmuan, namun dalam perfektif puasa ramadhan, nyaris tidak ada perbedaan yang
berarti tentang makna yang terkandung dalam puasa tersebut. Hal ini menunjukkan
pada puasa merupakan ibadah yang khas yang hampir semua agama melakukannya,
meskipun dengan cara yang berbeda.
*Penulis adalah Ketua
Lentera Sastra Kemenag Kab. Banyuwangi