Piramida Puasa Ala Bupati
Oleh: Gufron Musthofa*
PUASA itu ibarat struktur pemerintahan kabupaten. Pimpinan paling tinggi di kabupaten adalah Bupati. Pegawai yang paling bawah adalah staf; di atas staf ada kepala seksi dan kepala dinas, kemudian Bupati. Demikian pula puasa, ada tingkatannya seperti struktur birokrasi kabupaten. Puasa juga memiliki level layaknya piramida. Ibarat hotel dimulai dari puasa kelas melati sampai puasa bintang empat.
Semakin tinggi level jabatan akan semakin mulia karena efek manfaatnya sangat besar dan luas. Puasa pada level tertinggi sangat mulia di hadapan Allah SWT, dan di mata manusia. Karena beban kerja dan tanggung jawab diukur oleh posisinya, maka semakin tinggi jabatan pegawai, maka akan semakin berat dan banyak tugasnya. Pegawai dengan tugas jabatan kebersihan kantor hanya melaksanakan kewajiban untuk membersihkan kantor dan lingkungan. Pekerjaan lainnya akan dilaksanakan oleh orang lain.
Kepala seksi yang bertugas mengatur semua tugas staf yang berada di bawah seksinya. Kepala dinas mengatur semua tugas dan fungsi dinas dalam level kabupaten. Sedangkan bupati sebagai kepala kabupaten memimpin semua dinas dan mengemban amanah terhadap keberlangsungan kehidupan yang baik bagi warganya dalam semua aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan maupun aspek non fisik lainnya.
Strata puasa ada bervariasi. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkat orang berpuasa; puasa awam, puasa khowas, dan khowasul khowas. Menurut Sayid Muhammad bin As Shiddiq Al Ghumari dalam kitab yang berjudul ghoyatul ihsan fi fadhli Ramadan, Ibnu Arabi al mu’afiri membagi puasa menjadi 4 tingkatan: puasa awam, puasa khowasul awam, puasa khowas, dan puasa khowasul khowas.
Pertama adalah puasa awam. Kewajiban pada level ini adalah hanya menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan makan, minum dan syahwat. Puasa ini adalah puasa kelas paling bawah. Seorang yang berpuasa dengan cara seperti ini hanya untuk menggugurkan kewajiban menurut fikih. Namun pahala puasanya tidak diperoleh, karena anggota badannya masih melaksanakan maksiat.
Ibadah puasa belum menjadikannya mampu menahan diri dari maksiat dan hal yang dilarang. Kompetensi dirinya sebagai manusia masih diperbudak oleh nafsu dan angkara. Pribadinya belum merdeka dari belenggu keinginan dan syahwat; belum menjadi tuan bagi dirinya sendiri, akan tetapi menjadi hamba dorongan segala keinginan dan hasrat syahwat. Puasa pada level ini mirip dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “banyak sekali orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan kan sesuatu dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus".
Kedua adalah puasa khowasul awam di samping menahan dari yang membatalkan puasa, juga menahan mata, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa, baik ucapan maupun perbuatan. Ini adalah tingkatan menengah, puasanya orang yang berilmu dan berakal. Mereka menahan semua yang membatalkan pahala puasa, karena Allah semata. Namun hatinya terkadang masih lupa berzikir kepada Allah SWT.
Pada tingkat ini, orang yang berpuasa dengan berusaha sekuat tenaga menjaga pancaindra dan anggota tubuhnya untuk tidak menyakiti orang lain dan diri sendiri. Menjauhkan perbuatan dan ucapannya dari segala dosa dan maksiat, serta yang diharamkan. Jihadnya melawan dorongan dan keinginan hawa nafsu melebihi beratnya perang Uhud.
Tangannya tidak digunakan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, tidak menyakiti orang lain, namun akan semakin bermanfaat bagi orang lain; tidak menyebarkan berita hoax, menulis dan membagikan hal yang menyebabkan kerusakan atau kejahatan.
Matanya mampu menjaga dirinya dari melihat hal yang diharamkan. Sekali melihat yang diharamkan, ia akan berhenti melihat. Hanya pandangan pertama yang tak disengaja yang diperbolehkan agama. Selanjutnya mampu menahan diri dari keinginan melihatnya. Karena dia menyadari bahwa mata adalah sumber segala keingintahuan, yang menyebabkan tebersit ingin memilikinya.
Mulutnya tidak berkata kotor dan keji, membicarakan kejelekan orang atau ghibah, tidak suka berteriak dan provokasi atau adu domba. Dapat menahan amarah dan emosinya. Kesucian pancaindra dan emosinya dijaga dengan baik. Fungsi puasa semakin terlihat pada level ini.
Ketiga adalah puasa orang pilihan, atau khowas. Ini puasanya orang saleh pilihan. Setelah menjaga makan, minum, hal-hal yang membatalkan puasa, serta menjauhi segala maksiat, Mereka berpuasa dengan selalu melaksanakan dzikrullah, mengingat Allah SWT; menata hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Puasa ketiga ini bisa disebut batal apabila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT.
Orang yang berpuasa pada level ini juga menghindari hal-hal yang dimakruhkan dan bertentangan dan adab dan tata karma atau akhlak. Ketika berbuka puasa tidak memenuhi perutnya memakan makanan halal yang bisa membuat kekenyangan, akan tetapi memakan secukupnya. Ada nilai dan moral yang terbentuk pada saat puasa, yaitu meningkatnya akhlak. Indikatornya bisa menahan hal-hal yang halal, tapi tidak dianjurkan, seperti makan kekenyangan dan lainnya.
Keempat merupakan puncak puasa, yaitu puasa pilihannya orang terpilih atau khowasul khowas. Puasa kelas nomor wahid ini dilaksanakan sepanjang hidupnya. Mereka berpuasa dari pengaruh semua makhluk hidup yang ada di alam semesta. Dan hanya akan berbuka pada saat bertemu dengan-Nya di hari akhir. Hal ini merupakan isyarat dari hadis qudsi yang artinya, “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang membalasnya”. Juga hadis Nabi yang mengatakan bahwa ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa, pertama ketika berbuka, dan ketika bertemu Tuhannya.
Piramida puasa yang terdiri dari empat tingkat tersebut merupakan indikator yang bisa digunakan menilai diri kita masing-masing. Tanda-tanda tersebut sebagai bahan introspeksi bagi kita untuk mengukur kelayakan puasa kita. Puasa dapat dilihat dari berat beban dan tugas pelaksanaannya, serta hal yang membatalkan.
Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum serta tidak melakukan hubungan biologis, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam, atau staf. Pada umumnya, mereka berpuasa secara fisik atau dzahir.
Hal ini berbeda dengan tingkat kedua, yaitu puasanya orang-orang saleh. Mereka berpuasa seluruh tubuh dan pancaindra. Menjaga emosi menahan amarah, menjaga pandangan dan pendengaran dari hal yang dilarang. Karena itu, kelompok ini menilai maksiat dan dosa menjadi pembatal puasa.
Indikator puasa level ketiga adalah mampu menjaga akhlak. Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang sholeh pilihan; seperti para hamba dan wali-wali Allah. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Pasalnya, mereka juga mengamalkan akhlak mulia dan memfokuskan hati dan pikirannya untuk selalu dzikrullah mengingat Allah SWT. Bahkan, jika berhenti zikir kepada Allah, dan berpikir selain Allah SWT dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Tingkat paling tinggi adalah puasanya para Nabi dan Rasul; yaitu puasanya orang yang sempurna. Mereka sudah menaiki puncak piramida puasa. Ibaratnya sudah menjadi bupati di sebuah kabupaten. Semua aktivitas kehidupannya ditujukan hanya untuk mencari ridho-Nya. Tubuh jasmani, akal, budi pekerti, hati, dan bahkan rohani ikut berpuasa.
Mereka melaksanakan puasa dan berbuka setelah bertemu dengan Tuhannya di akhir hayatnya. Pekerjaan sehari-hari dan ibadahnya sudah tidak terpengaruh oleh makhluk. Namun justru semua sendi kehidupannya dapat menjadikan sumber manfaat, dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Inilah tugas mulia kerasulan.
Dari tingkat tersebut, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya. Instrument menjaga tubuh jasmani, akal budi, pikiran, hati dan rohani dari maksiat, dan dosa. Serta membebaskan diri dari belenggu nafsu, menjadi orang yang perkasa menundukkan nafsu, menjadikan orang yang suci. Puasa juga menjaga stabilitas hati, pikiran dan rohani untuk selalu ingat berzikir kepada Allah.
Inilah yang dimaksud sebagai mudik rohani, mengembalikan manusia pada posisi fitrah. Yaitu awal kejadian manusia yang suci. Kejadian di mana manusia belum mempunyai dosa dan noda. Sebagaimana bayi yang baru lahir. Dan sudah layaknya kita sampaikan untaian kata minal ‘aidzin wal faizin, kulla ‘aam wa nahnu fi khoir. Semoga kita termasuk dari orang-orang yang kembali kepada fitrah, menjadi orang yang menang dan setiap tahun dalam keadaan yang lebih baik. Amin. (*)
PUASA itu ibarat struktur pemerintahan kabupaten. Pimpinan paling tinggi di kabupaten adalah Bupati. Pegawai yang paling bawah adalah staf; di atas staf ada kepala seksi dan kepala dinas, kemudian Bupati. Demikian pula puasa, ada tingkatannya seperti struktur birokrasi kabupaten. Puasa juga memiliki level layaknya piramida. Ibarat hotel dimulai dari puasa kelas melati sampai puasa bintang empat.
Semakin tinggi level jabatan akan semakin mulia karena efek manfaatnya sangat besar dan luas. Puasa pada level tertinggi sangat mulia di hadapan Allah SWT, dan di mata manusia. Karena beban kerja dan tanggung jawab diukur oleh posisinya, maka semakin tinggi jabatan pegawai, maka akan semakin berat dan banyak tugasnya. Pegawai dengan tugas jabatan kebersihan kantor hanya melaksanakan kewajiban untuk membersihkan kantor dan lingkungan. Pekerjaan lainnya akan dilaksanakan oleh orang lain.
Kepala seksi yang bertugas mengatur semua tugas staf yang berada di bawah seksinya. Kepala dinas mengatur semua tugas dan fungsi dinas dalam level kabupaten. Sedangkan bupati sebagai kepala kabupaten memimpin semua dinas dan mengemban amanah terhadap keberlangsungan kehidupan yang baik bagi warganya dalam semua aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan maupun aspek non fisik lainnya.
Strata puasa ada bervariasi. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin membagi tiga tingkat orang berpuasa; puasa awam, puasa khowas, dan khowasul khowas. Menurut Sayid Muhammad bin As Shiddiq Al Ghumari dalam kitab yang berjudul ghoyatul ihsan fi fadhli Ramadan, Ibnu Arabi al mu’afiri membagi puasa menjadi 4 tingkatan: puasa awam, puasa khowasul awam, puasa khowas, dan puasa khowasul khowas.
Pertama adalah puasa awam. Kewajiban pada level ini adalah hanya menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan makan, minum dan syahwat. Puasa ini adalah puasa kelas paling bawah. Seorang yang berpuasa dengan cara seperti ini hanya untuk menggugurkan kewajiban menurut fikih. Namun pahala puasanya tidak diperoleh, karena anggota badannya masih melaksanakan maksiat.
Ibadah puasa belum menjadikannya mampu menahan diri dari maksiat dan hal yang dilarang. Kompetensi dirinya sebagai manusia masih diperbudak oleh nafsu dan angkara. Pribadinya belum merdeka dari belenggu keinginan dan syahwat; belum menjadi tuan bagi dirinya sendiri, akan tetapi menjadi hamba dorongan segala keinginan dan hasrat syahwat. Puasa pada level ini mirip dengan sabda Nabi Muhammad SAW, “banyak sekali orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan kan sesuatu dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus".
Kedua adalah puasa khowasul awam di samping menahan dari yang membatalkan puasa, juga menahan mata, pendengaran, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa, baik ucapan maupun perbuatan. Ini adalah tingkatan menengah, puasanya orang yang berilmu dan berakal. Mereka menahan semua yang membatalkan pahala puasa, karena Allah semata. Namun hatinya terkadang masih lupa berzikir kepada Allah SWT.
Pada tingkat ini, orang yang berpuasa dengan berusaha sekuat tenaga menjaga pancaindra dan anggota tubuhnya untuk tidak menyakiti orang lain dan diri sendiri. Menjauhkan perbuatan dan ucapannya dari segala dosa dan maksiat, serta yang diharamkan. Jihadnya melawan dorongan dan keinginan hawa nafsu melebihi beratnya perang Uhud.
Tangannya tidak digunakan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, tidak menyakiti orang lain, namun akan semakin bermanfaat bagi orang lain; tidak menyebarkan berita hoax, menulis dan membagikan hal yang menyebabkan kerusakan atau kejahatan.
Matanya mampu menjaga dirinya dari melihat hal yang diharamkan. Sekali melihat yang diharamkan, ia akan berhenti melihat. Hanya pandangan pertama yang tak disengaja yang diperbolehkan agama. Selanjutnya mampu menahan diri dari keinginan melihatnya. Karena dia menyadari bahwa mata adalah sumber segala keingintahuan, yang menyebabkan tebersit ingin memilikinya.
Mulutnya tidak berkata kotor dan keji, membicarakan kejelekan orang atau ghibah, tidak suka berteriak dan provokasi atau adu domba. Dapat menahan amarah dan emosinya. Kesucian pancaindra dan emosinya dijaga dengan baik. Fungsi puasa semakin terlihat pada level ini.
Ketiga adalah puasa orang pilihan, atau khowas. Ini puasanya orang saleh pilihan. Setelah menjaga makan, minum, hal-hal yang membatalkan puasa, serta menjauhi segala maksiat, Mereka berpuasa dengan selalu melaksanakan dzikrullah, mengingat Allah SWT; menata hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Puasa ketiga ini bisa disebut batal apabila terlintas dalam hati pikiran selain Allah SWT.
Orang yang berpuasa pada level ini juga menghindari hal-hal yang dimakruhkan dan bertentangan dan adab dan tata karma atau akhlak. Ketika berbuka puasa tidak memenuhi perutnya memakan makanan halal yang bisa membuat kekenyangan, akan tetapi memakan secukupnya. Ada nilai dan moral yang terbentuk pada saat puasa, yaitu meningkatnya akhlak. Indikatornya bisa menahan hal-hal yang halal, tapi tidak dianjurkan, seperti makan kekenyangan dan lainnya.
Keempat merupakan puncak puasa, yaitu puasa pilihannya orang terpilih atau khowasul khowas. Puasa kelas nomor wahid ini dilaksanakan sepanjang hidupnya. Mereka berpuasa dari pengaruh semua makhluk hidup yang ada di alam semesta. Dan hanya akan berbuka pada saat bertemu dengan-Nya di hari akhir. Hal ini merupakan isyarat dari hadis qudsi yang artinya, “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang membalasnya”. Juga hadis Nabi yang mengatakan bahwa ada dua kebahagiaan bagi orang yang berpuasa, pertama ketika berbuka, dan ketika bertemu Tuhannya.
Piramida puasa yang terdiri dari empat tingkat tersebut merupakan indikator yang bisa digunakan menilai diri kita masing-masing. Tanda-tanda tersebut sebagai bahan introspeksi bagi kita untuk mengukur kelayakan puasa kita. Puasa dapat dilihat dari berat beban dan tugas pelaksanaannya, serta hal yang membatalkan.
Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum serta tidak melakukan hubungan biologis, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya. Inilah puasa orang awam, atau staf. Pada umumnya, mereka berpuasa secara fisik atau dzahir.
Hal ini berbeda dengan tingkat kedua, yaitu puasanya orang-orang saleh. Mereka berpuasa seluruh tubuh dan pancaindra. Menjaga emosi menahan amarah, menjaga pandangan dan pendengaran dari hal yang dilarang. Karena itu, kelompok ini menilai maksiat dan dosa menjadi pembatal puasa.
Indikator puasa level ketiga adalah mampu menjaga akhlak. Puasa model ini hanya dikerjakan oleh orang-orang sholeh pilihan; seperti para hamba dan wali-wali Allah. Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap ini. Pasalnya, mereka juga mengamalkan akhlak mulia dan memfokuskan hati dan pikirannya untuk selalu dzikrullah mengingat Allah SWT. Bahkan, jika berhenti zikir kepada Allah, dan berpikir selain Allah SWT dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Tingkat paling tinggi adalah puasanya para Nabi dan Rasul; yaitu puasanya orang yang sempurna. Mereka sudah menaiki puncak piramida puasa. Ibaratnya sudah menjadi bupati di sebuah kabupaten. Semua aktivitas kehidupannya ditujukan hanya untuk mencari ridho-Nya. Tubuh jasmani, akal, budi pekerti, hati, dan bahkan rohani ikut berpuasa.
Mereka melaksanakan puasa dan berbuka setelah bertemu dengan Tuhannya di akhir hayatnya. Pekerjaan sehari-hari dan ibadahnya sudah tidak terpengaruh oleh makhluk. Namun justru semua sendi kehidupannya dapat menjadikan sumber manfaat, dan sebagai rahmat bagi alam semesta. Inilah tugas mulia kerasulan.
Dari tingkat tersebut, kita mengetahui bahwa ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih baik dari sebelumnya. Instrument menjaga tubuh jasmani, akal budi, pikiran, hati dan rohani dari maksiat, dan dosa. Serta membebaskan diri dari belenggu nafsu, menjadi orang yang perkasa menundukkan nafsu, menjadikan orang yang suci. Puasa juga menjaga stabilitas hati, pikiran dan rohani untuk selalu ingat berzikir kepada Allah.
Inilah yang dimaksud sebagai mudik rohani, mengembalikan manusia pada posisi fitrah. Yaitu awal kejadian manusia yang suci. Kejadian di mana manusia belum mempunyai dosa dan noda. Sebagaimana bayi yang baru lahir. Dan sudah layaknya kita sampaikan untaian kata minal ‘aidzin wal faizin, kulla ‘aam wa nahnu fi khoir. Semoga kita termasuk dari orang-orang yang kembali kepada fitrah, menjadi orang yang menang dan setiap tahun dalam keadaan yang lebih baik. Amin. (*)