KH. Muchtar Syafaat Blog Agung

 BAGIAN I

 

BIOGRAFI HADRATUS SYAIKH AL- FADLIL KH. MUKHTAR SYAFA’AT ABDUL GHOFUR

 akta sejarah menunjukkan, ulama dan santri memiliki sumbangsih yang amat besar untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Karenanya, pergerakan kemerdekaan terutama di wilayah Jawa, dipelopori oleh kalangan pesantren. Mereka berangkat dari pesantren dan surau-surau, kemudian bersatu

berjuang mengusir penjajah.


Oleh karena itu, tidak salah jika Ketua Umum Pengurus Besar Mathlaul Anwar (PB. MA), KH. Syadeli Karim, mengatakan bahwa organisasi masyarakat (ormas) Islam ialah pelopor kemerdekaan. Walau keberadaannya kini justru terpinggirkan, karena pemerintah lebih memberikan perhatian pada keberadaan partai politik.1

Sementara itu, Ketua Umum Majelis Pesantren Salafiyah (MPS) Banten, KH. Matin Syarkowi menegaskan, ihwal kerangka Indonesia merdeka bukan berkat parpol merupakan suatu fakta sejarah. Indonesia menjadi negara merdeka berkat sumbangan besar dari ulama dan santri. Namun, justru terjadi pembelokan sejarah yang dilakukan oleh Orientalis Snock Hurgronje, dengan mengganti istilah ulama dan santri menjadi pedagang dan petani. “Dahulu yang Belanda takuti adalah gerakan underground, yakni gerakan tarekat Qadariyah Naqsabandiyah, karena memiliki


pengikut yang taat terhadap guru dan terorganisasi dengan bagus,” kata  Matin.  Ia  menambahkan,  ketidakpahaman  terhadap  sejarah kemerdekaan RI akan berbahaya bagi generasi muda. Sebab dapat mengiki nilai-nilai  keindonesiaan,  yang  semakin  hari  semakin tergerus  oleh  budaya  asin yang  genca masuk  melalui  tayangan media.2

Pengamat sejarah, Nadjmudin Busro mengatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan hasil “jerih payah para pendahulu yang telah lama berjuang” membela kemerdekaan, jauh sebelum proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Para tokoh muda dan kalangan ulama telah mewarnai perjuangan panjang meraih kemerdekaan RI tersebut.

Bangsa Indonesia memang memiliki banyak tokoh atau pelaku sejarah yang berperan besar memperjuangan kemerdekaan bangsa ini. Namun, tidak sedikit di antara mereka yang  masih  terpinggirkan atau belum terekam dalam panggung  sejarah  Nasional maupun lokal. Satu di antara beberapa tokoh yang terlupakan ialah Hadratus Syaikh al-Fadlil KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur, seorang Ulama besar kharismatik asal Blambangan—sekarang Banyuwangi.

Nama Mukhtar Syafa’at seakan-akan tenggelam oleh nama- nama besar, seperti Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, KH. Achmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Zaenal Mustafa (Singaparna), Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Tuanku Imam Bonjol, Buya Hamka, dan KH. Wahid Hasyim. Padahal, jika perjalanan sejarah yang dilalui tokoh ini ditelusuri, KH. Mukhtar Syafa’at sangat layak dicatat dan dikenang sebagai salah seorang tokoh pejuang—disamping sebagai ulama kharismatik—dalam pentas sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Mengingat, telah banyak peran positif yang diberikan dan dimainkan oleh KH. Mukhtar Syafa’at, baik di era sebelum kemerdekaan maupun sesudah kemerdekaan.

KH. Mukhtar Syafa’at adalah seorang ulama kharismatik dan pejuang di daerah Blokagung, kecamatan Gambiran (sekarang

kecamatan Tegalsari), kabupaten Banyuwangi. Dalam pandangan masyarakat Blokagung khususnya, dan Banyuwangi umumnya, KH. Mukhtar Syafa’at dikenal sebagai pejuang kemerdekaan sekaligus ulama tasawuf. Ulama ini banyak dipengaruhi karya besar Imam al- Ghazali, yakni Ihya’ ‘Ulum al-din dan Fatihatul ‘Ulum.

Sebelum kehadiran KH. Mukhtar Syafa’at (1951-1986), mayoritas masyarakat Blokagung menganut agama hindu, yakni agama peninggalan kerajaan Blambangan. Di samping itu, budaya Jawa (kejawen) juga sangat mempengaruhi tradisi masyarakat Blokagung.  Namun,  KH.  Mukhtar  Syafa’at  berhasil  membumikan Islam di daerah tersebut. Hal ini tentu dikarenakan cara dakwah yang digunakan sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat Blokagung pada saat itu, selain karena ajaran Islam memang tidak mengenal status sosial.3

KH. Mukhtar Syafa’at begitu dihormati oleh para santri dan jama’ahnya. Kecerdasan, kesederhanaan, kedermawanan, aktivitas, serta kepeduliannya kepada masyarakat membuat beliau sangat disegani. Sebagai seorang

Ulama—yang dalam terminologi keindonesiaannya disebut kiai,   KH.   Mukhtar   Syafa’at   fokus   dan   peduli   pada   soal keagamaan, tarekat, dakwah, kegiatan ilmiah-intelektual, hingga soal kemasyarakatan. Di tengah aktivitasnya yang padat, beliau tidak pernah melupakan tanggung jawab utamanya sebagai seorang pengajar. Sosok yang mengabdikan seluruh diri dan usianya terhadap pelayanan umat ini kini telah berpulang ke rahmatullah pada tahun 1991 silam.

Menyadari andil KH. Mukhtar Syafa’at yang luar biasa besar dalam berjuang melawan penjajah dan mempertahankan Indonesia, serta kontribusinya dalam dunia dakwah, pendidikan, dan kemasyarakatan, Penulis terdorong untuk menuliskan kepribadian, pemikiran, peran, serta kontribusi beliau ke dalam sebuah biografi. Perjuangan beliau merupakan amal nyata dan prestasi gemilang yang patut diteladani. Perjuangan yang beliau lakukan demi dakwah dan ‘izzu al-Islām wa al-Muslimīn adalah sebentuk kerja keras yang harus dilanjutkan oleh kita semua.

 

1.      Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Hadratus Syaikh al-Fadlil KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur– yang selanjutnya lebih akrab disapa dengan sebutan Mbah Kiai Syafa’at/Mbah Pangat–lahir pada hari Kamis, 6 Maret 1919 M atau 3 Jumadil Akhir 1337 H. Tepatnya di RW. 01, RT. 03, di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kecamatan Ploso Klaten, Kediri. Kelahiran Mbah Kiai Syafa’at bertepatan dengan meletusnya Gunung Kelud yang berada di antara kabupaten Kediri dan kabupaten Blitar, juga bertepatan dengan terjadinya perang dunia dan banjir besar pada hari Senin legi di daerah Jawa.4 Peristiwa- peristiwa alam tersebut diasumsikan oleh banyak orang sebagai suatu pertanda, bahwa di kemudian hari seorang anak  yang  bernama Mukhtar Syafa’at akan menjadi pejuang dan ulama besar  di Jawa.5

Beliau adalah putra keempat dari pasangan suami-istri Kiai Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep, yang dikaruniai delapan anak; 4 laki-laki dan 4 perempuan. Secara berurutan nama-nama beliau adalah Ahmad Salimin, Uminatun (selanjutnya bernama Hj. Fatimah), Usman (wafat semasa masih kecil), Mukhtar Syafaat, Sampi, Sarminah, Muhammad Muhsin, dan Kainem. Dari kedelapan bersaudara itu, hanya Mbah Kiai Syafa’at yang benar- benar mendalami ilmu keagamaan dengan pengembaraannya dari pesantren satu ke pesantren lainnya.

Silsilah Mbah Kiai Syafa’at dapat dilihat pada bagan sebagai berikut:6

 



Kiai Abdurrahman

 

Kiai Shobar Iman

 

Kiai Abdullah

 
BAGAN SILSILAH KH. MUKHTAR SYAFA’AT ABDUL GHOFUR

Text Box: Sultan Hamangkubuwono IIIText Box: Untung Suropati

 

 

 

 



 

Salimin

Hj.

Fatimah

Usman

Syafaat

Sampi

Saminah

Muhsin

Kainem

 

Abdul Ghofur, ayah Mbah Kiai Syafaasangat menguasai ilmu- ilmu agama dan menjadi sesepuh kerohanian masyarakat (baca: Kiai). Selain itu, beliau juga dermawan, penyantun, berbudi luhur, dan dihormati masyarakat sekitar. Jika dilihat dari  silsilah  keturunan (lihat tabel), Mbah Kiai Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama. Dari silsilah ayahnya, KH. Mukhtar Syafa’at putra dari Kiai Abdul Ghofur bin Kiai Sobar Imanbin Sultan Hamangkubuwono III (keturunan prajurit  Pangeran Diponegoro). Dari garis ibu, KH. Mukhtar Syafa’at putra dari Nyai Sangkep binti Kiai Abdurrahman bin Kiai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).8 Jadi, jelaslah bahwa dalam diri Mbah Kiai Syafa’at terdapat “darah biru” sebagai sebutan untuk titisan atau keturunan ulama dan/atau bangsawan.

Terminologi kiai yang disematkan kepada ayahanda Mbah Kiai Syafa’at–yakni Kiai Abdul Ghofur—bukan berarti beliau seorang kiai yang memangku dan memiliki pondok pesantren seperti pada umumnya. Karena dalam perkembangannya, gelar kiai tidak lagi menjadi monopoli bagi para pemimpin atau pengasuh pesantren. Gelar kiai dewasa ini juga dianugerahkan sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama yang mumpuni dalam ilmu keagamaan, walaupun yang bersangkutan tidak memiliki pesantren.9 Dengan kata lain, gelar kiai tetap dipakai bagi seorang ulama yang mempunyai ikatan primordial dengan kelompok Islam tradisional. Bahkan dalam banyak hal, gelar kiai juga sering dipakai

oleh para da’i atau muballigh yang biasa memberikan ceramah agama (Islam).

Karena perbedaan persepsi dalam mendefinisikan makna kiai, atau    karena    sudah    terlanjur    dipetakan    tentang    klasifikasi seseoran bis disebu kiai10,  maka  maklum  jika  sebagian  orang mengatakan bahwa Mbah Kiai Syafaat itu bukan putra seorang kiai. Seperti  beberapa  masyarakat  yang  menyebut  Mbah  Kia Syafaat dengan istilah “Kiai topo dewe” (Kiai atas usaha sendiri).11  Sejaladengan hal itu, Mbah Muhith Muzadi seorang kiai yang merupakan yunior Mbah Kiai Syafaat semasa nyantri di Pesantren Tebuireng, menjelaskan bahwa dirinya dan Mbah Kiai Syafa’at bukanlah anak dari seorang kiai, namun di panggil kiai oleh masyarakat, meskipun tidak memiliki pesantren.12

Di sini Penulis lebih condong pada pernyataan yang

mengatakan bahwa Abdul Ghofur bisa dianggap seorang kiai, meskipun tidak memiliki pondok pesantren. Sebab, selain beliau adalah putra kiai dan tokoh panutan umat, yakni Kiai Shobar Iman, semasa mudanya beliau juga pernah nyantri di pesantren Ringinagung asuhan KH. Nawawi Kediri. Bahkan setelah berkeluarga beliau dijadikan tokoh agama oleh masyarakat di desanya dan memiliki santri kalong.13 Kiranya asumsi sebagian masyarakat  yang  mengatakan  bahwa  Mbah  Kiai  Syafa’at  adalah “Kiai topo dewe”, dikarenakan memang beliau adalah perintis sekaligus pemangku pesantren Blokagung yang beliau dirikan atas usahanya sendiri, bukan pesantren warisan orang tuanya.

Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at kecil telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Hal itu tidak luput pula dari dorongan dan bimbingan ayahandanya. Setiap sore hari, beliau tekun mengaji ke mushola yang saat itu diasuh oleh Ustadz

H. Abdul Ghofur (bukan ayahnya). Dari sinilah beliau mulai belajar membaca Al-Qur’an, termasuk kitab-kitab pesantren yang menjelaskan dasar-dasar ajaran Islam. Baik persoalan teologi (kalam), fikih, hingga persoalan akhlak. Dapat disebutkan di antara kitab-kitab  yang  pernah  beliau  kaji  di  musholla  milik  Ustadz Ghofur meliputi sullam al-Taufīq, Sullam al-Safīnah, tajwīd, dan lain- lain.14

Persoalan dasar-dasar ajaran Islam merupakan pokok dalam

kehidupan beragama, yang dapat diibaratkan sebagai pondasi dasar dalam sebuah bangunan. Jika pondasi dasar itu kuat, diyakini bangunan akan kokoh meskipun dihantam berbagai badai. Maka yang dilakukan ayahanda Mbah Kiai Syafa’at dapat dimaknai, bahwa seiring perubahan zaman, tantangannya akan lebih berat terkait dengan sikap dan perilaku manusia. Karenanya, penancapan dasar- dasar agama sejak dini yang diiringi keteladanan perilaku saleh dalam setiap aktivitas, akan mengantarkan pembentukan karakter pada diri putra-putranya dengan mudah, termasuk pada diri Mbah Kiai Syafa’at.

Gambaran Fenomena keuletan ini untuk kapasitas keluarga Mbah Kiai Syafa’at tidak tergolong aneh dan sudah dianggap biasa, karena para leluhurnya juga mempunyai daya juang yang sangat luar biasa dan cukup terkenal keilmuan dan kealimannya dalam berbagai disiplin ilmu. Meskipun begitu, tetap saja perlu diakui, secara individu sosok Mbah Kiai Syafa’at memang ulet dan haus akan ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika Mbah Kiai Syafa’at sering berpindah-pindah tempat untuk sekedar mengembara dan memburu pengetahuan agama dari satu pesantren ke pesantren yang lain.

 

2.     Pengembaraan Intelektual

Pengembaraan merupakan ciri utama kehidupan pengetahuan di pesantren. Hal itu menyumbangkan adanya homogenitas sistem pendidikan pesantren, serta merupakan simulasi bagi kegiatan dan kemajuan ilmu. Tradisi yang berkembang di lingkungan pesantren Jawa ini barangkali merupakan hasil akulturasi kebudayaan, antara dorongan orang Jawa untuk mencari hakikat kehidupan serta kebijaksanaan (wisdom) dan tradisi Islam yang menganggap berkelana mencari ilmu merupakan ciri utama sistem pendidikan tradisional.

Selain  belaja ilmu  agam di  desanya  yang  diasuh  langsung oleh H. Abdul Ghofur (bukan ayahnya) dan dengan dipandu khusus ole san aya ketik d kediamannya,  Mba Kia Syafa’at  juga mengembara    dari    pesantren    ke    pesantren    lainnya    untuk memperdalam ilmu agama. Ketika berusia 6 tahun (sekitar tahun 1925),  beliau  menyempatkan  diri  pergi  ke  Banyuwangi  untuk menjenguk   mbakyu-nya   sambil   belajar   mengaji   ke   Kiai   Hasan Abdi15. Hal tersebut ditempuhnya selama tiga tahun di Blokagung, Karangdoro,  Tegalsari,  Banyuwangi.  Di  daerah  ini  pula,  beliau melaksanakan khitannya pada usia 12 tahun.16

Selepas dikhitan, tepatnya  genap  berumur  13  tahun,  beliau melanjutkan        pengembaraan        ke        Pondok        Pesantren Tebuireng Jombang,   yang   saat   itu   diasuh   oleh   KH.   Hasyim Asy’ari17.    KH.    Hasyim    Asy’ari    ialah    seorang    ulama    besar kharismatik      yang      memiliki      pengaruh      besar      terhadap perkembanga Islam,  khususnya  di  daerah  jawa.  Di  pesantren inilah,   Syafa’at   muda   mendalami   ilmu-ilmu   agama   sebagai pengembangan  dari  pelajaran  yang  diperoleh  saat  di  desanya, seperti Nahwu, Sharraf, Fiqh, Tafsir Al-Qur’an, dan Akhlaq Tasawuf. Selain  itu,  beliau  juga  turut  serta  bersama  Hadrotus  Syaikh  KH. Hasyim Asy’ari dalam melawan penjajah.18

Di pesantren Tebuireng ini pula, Mbah Kiai Syafa’at bertemu dengan seorang santri cerdas dan terkenal alim  yang  menjadi  teman akrabnya sewaktu nyantri di Jombang.  Selanjutnya, keduanya sama-sama ditakdirkan menjadi ulama besar dan memangku   pondok   pondok   pesantren   di   daerahnya   masing- masing. Teman akrab Mbah Kiai Syafaat yang dimaksud ialah KH. Abdul  Halim pendiri  Pondok  Pesantren   Mamba’ul  Khoiriyyatil Islamiyyah    (MHI)    Bangsalsari    Jember.    Akhirnya,    hubungan pertemanan  sang  kiai  ini menjadi  hubungan  yan lebih  dekat, yakni menjadi hubungan antar keluarga.19

Setelah 6 tahun menimba ilmu di pondok Tebuireng, pada tahun 1936 Mbah Kiai Syafa’at diminta pulang oleh ayahnya. Hal itu dimaksudkan agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren. Akan tetapi, permintaan tersebut ditampik secara halus, karena beliau ingin lebih mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Ketika itu, tepatnya    pada    1937,    Syafa’at    muda    beserta    keluarganya berkunjung di tempat mbakyu (kakak perempuan)-nya yang bernama Uminatun–setelah melaksanakan ibadah haji kemudian mengganti nama menjadi Hj. Fatimah– di Blokagung. Bertemu dengan mbakyu-nya, Syafa’at muda mengadu tentang keinginannya untuk dapat terus melanjutkan pendidikan pesantrennya, yang waktu itu harus terhenti karena ada kebijakan bergantian mondok dari  ayahandanya,  dengan  tujuan  semua  putra-putrinya  dapat

mengenyam pendidikan dan pengakaran tentang ilmu agama.20 Atas keluhan adiknya tersebut, mbakyu-nya menyarankan agar

Syafa’at meneruskan pengembaraan dalam pencarian ilmunya di Pondok Pesantren Minhajut Thulab Sumber Beras Muncar Banyuwangi sambil bekerja. Ketika keluarga harus kembali ke Kediri,  Syafa’at  muda  bersikeras  tidak  ikut  dan  lebih  memilih mengikuti saran mbakyu-nya melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Minhajut Thulab Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi.

Pondok Pesantren Minhajut Thulab Sumber Beras saat itu diasuh oleh KH. Abdul Manan. Beliau ialah putera dari Kiai Pesantren Keling, pesantren yang pernah menjadi tempat belajar



ayahnya,  Kia Abdul  Ghofur.  KH.  Abdul  Manan  juga  menantu pengasuh Pesantren Tasmirit Tholabah -sekarang terkenal dengan nama  pesantren  Ibrahimy,  diambi dari  nama  pendirinya  KH. Ibrahim  Irsyad-  Jale Genteng,  dan  mertua  dari  KH.  Askandar, Berasan.21

Selama menjadi santri di Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Syafa’at   muda   sering   jatuh   sakit.   Hal   ini   disebabkan   kondisi masyarakat   dan  letak  geografis  yan kuran menguntungkan, mengingat daerah Sumber Beras Muncar ialah daerah yang kurang subur dan  sangat gersang. Saat Syafaat muda nyantri di Sumber Beras Muncar, daerah tersebut tergolong daerah yang masih rawan, baik dari pengaruh kolonial Belanda maupun kejahatan dari para begal dan perampok. Dikarenakan keadaan yang kurang kondusif da tidak   nyaman  selama  kurun  waktu  satu  tahun,  akhirnya Syafa’at muda pada tahun 1938 pindah lagi ke Pondok pesantren Ibrahimy Jalen Genteng Banyuwangi yang diasuh oleh KH. Ibrahim bin KH. Irsyad.22

Di Pondok Pesantren ini, di samping belajar, Syafa’at muda juga dipercaya oleh Kiai Ibrahim  untuk  mengajar  santri-santri  lain. Di Pondok Pesantren ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu- ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya’ ‘Ulum al-din dan kitab Fatihatul ‘Ulum karya Syaikh Abu Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali atau yang sering kita sebut dengan Imaal-Ghazali.23

Selama 13 tahun bermukim di pesantren Jalen, beliau hidup dengan keprihatinan. Sebagaimana dituturkan oleh Mbah Kiai Munan, Kiai Langgaran yang ada di Jalen Banyuwangi dan juga merupakan salah seorang sahabat Mbah Kiai Syafa’at pada waktu mondok bareng di Jalen, seperti terekam dalam kutipan hasil wawancara berikut ini :

“Sewaktu saya datang di Pondok Jalen, yaitu pada kiai Ibrahim, Kiai Syafa’at sudah berada di sana satu tahun sebelumnya. Beliau itu sangat prihatin hidupnya dan rendah hati. Waktu itu, beliau  mempunyai penyakit gatal-gatal (gudik) di seluruh badannya. Sehingga kalau teman-temannya atau keluarganya datang mengunjungi, beliau mundur kalau bersalaman dengan maksud untuk menjaga kemungkinan jijik atau bau amis. Penyakit itu bertahun-tahun lamanya sampai beliau menikah baru sembuh. Karena sangking tabahnya menghadapi ujian itu dan atas kekuasaan Allah, setelah keluar dari pondok Jalen, sekarang beliau menjadi kiai besar”.24

Manifestasi kesabaran, kebaikan, dan rendah hati yang ditampakkan oleh Mbah Kiai Syafa’at rupanya banyak dipengaruhi oleh karya Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, yang beliau tekuni selama bertahun-tahun selama mondok di pondok Jalen. Mbah Kiai Syafa’at yakin, sebuah kesabaran itu lebih utama dari pada menahan marah. Karena menahan amarah ialah berpura-pura sabar ataupun memaksa diri untuk bersabar. Adapun kesabaran yang alami menunjukkan kesempurnaan akal dan mengisyaratkan patahnya kekuatan amarah di bawah kendali akal. Mungkin awalnya berpura-pura sabar, lalu menjadi kebiasaan. Imam al- Ghazali mengutip hadits nabi sebagai berikut: 

“Ilmu hanya dapat diperoleh dengan cara belajar, dan kesabaran

hanya dapat diperoleh dengan membiasakannya. Barang siapa mencari- cari kebaikan, maka akan mendapatkannya dan barang siapa menghindari keburukan, maka beliau akan terhindar”25

Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri dari pesantren satu  ke  pesantren  lain,  seolah-olah  yang  diperlukan  Mbah  Kiai Syafa’at  adalah  keberkahan  dari  san guru,  bukan  ilmunya  itu sendiri. Soal ilmu, mungkin bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara  bagaimana  saja.  Aka tetapi,  soal  memperoleh  berkah  sang kiai  harus  dilakukan  dengan  sungguh-sungguh  da menetap  di pesantren.26   Inilah  yang  agaknya  menjadi  pertimbangan  utama dari Mbah Kiai Syafaat ketika itu.

Dedikasi Mbah Kiai Syafaat terhadap para gurunya di beberapa pesantren merupakan potret dari etika hubungan guru dan murid (adab al-Mu’allim wa al-Muta’allim) khas pesantren, yang dalam tradisi keilmuan pesantren sebenarnya banyak ditemukan referensinya. Salah satunya tertuang dalam sebuah ungkapan mutiara Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din, yang sampai hari ini menjadi bahan bacaan kalangan pesantren. Darinya dapat diketahui, bahwa apapun yang dilakukan Mbah Kiai Syafa’at dalam segala bentuk dedikasinya  terhadap  guru-gurunya merupakan bentuk dari sikap tawaddhu’. Dengan ekspektasi pahala dan kemuliaan melalui proses dedikasinya. Dalam hal ini, Imam al-

Ghazali menjelaskan dalam kitabnya :


“Seyogyanya bagi penuntut ilmu (siswa atau santri) bersikap tawaddhu’ terhadap gurunya dengan berharap pahala dan kemuliaan melalui proses pengabdian kepadanya”.27

Kebiasaan mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain selama kurang lebih 23 tahun, dapat dipahami juga sebagai aplikasi metode pengajaran modern studi komparatif. Studi ini dilakukan dengan cara melihat dari dekat, membandingkan sistem pengajaran, serta karakter pendidikan di pesantren satu ke pesantren lain. Agar nantinya dapat diambil pelajaran yang lebih berharga untuk kehidupan. Ternyata hal ini menjadi sangat positif bagi pembentukan dan perkembangan karakter pribadi dan ilmu pengetahuan Syafa’at muda dalam mengembangkan pendidikan pesantren di kemudian hari.

Pengembaraan  Syafa’at  muda  dalam  menuntut  ilmu  adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, pengorbanan, dan ketabahan hati. Beliau sering mengalami situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Di samping belajar, Syafa’at muda dituntut dapat mencukupi    kebutuhan    sehari-harinya    dengan    bekerja    pada penduduk sekitar.28

Salah   seorang   sahabatnya   ketika   bersama-sama   belajar   di Pesantren Jalen Genteng, yang merupakan teman seperjuangannya dalam   mendirikan   Pesantren   Blokagung,   yakni   Kiai   Muallim Syarqawi, menceritakan keadaan Mbah Kiai Syafaat ketika belajar di  Pondok  Jalen:  “Ketika  belajar  di  Pondok  Jalen,  Mba Kiai Syafa’at sangat menderita, beliau sering jatuh sakit. Di samping itu, beliau tidak mendapat kiriman dari orang tuanya, sehingga harus belajar  sambi bekerja.  Bil musim  tana dan  panen  tiba,  beliau mendatangi petani untuk bekerja menjadi kuli. Dia berangkat pagi hari  dan  pulang  menjelan zhuhur,  terkadang  menjelang  waktu ashar. Sedangkan malam harinya harus belajar.”29

Meski Kondisi sangat memprihatinkan, Syafa’at muda bersikeras mendalami ilmu keagamaan di pesantren itu. Situasi  saat itu, yakni awal abad ke-20 M., atau masa pergerakan Nasional, tentu saja sangat mempengaruhi sekaligus memberi suntikan semangat bagi Syafa’at muda untuk tetap ulet dalam belajar dengan giat.

Meskipun  Mba Kia Syafaa dikategorikan  sebagai seorang “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar, namun beliau amat tekun dan kuat hati untuk mencari ilmu pengetahuan. Menurut pemaparan yang disampaikan ole Mbah  Abdur  Rosyid,  Mba Kia Syafaat  ini  baru  mengenal huruf latin pada usia 15 tahun, yakni setelah genap 2 tahun nyantri dipondok Tebuireng. Sejak itu, secara sungguh-sungguh beliau belajar berbagai macam ilmu pengetahuan dengan belajar sendiri (autodidak). Dalam hal ini, Mbah Abdur Rosyid mengatakan: “Beliau adalah seorang yang autodidak (belajar sendiri dari buku tanpa guru), berpikiran maju untuk ukuran zamannya.”30

Mbah  Kiai  Syafaa juga  dikenal  sebagai  santri    yang  amat cerdas  dan  mempunyai  daya  hafal  yang  kuat.  Mba Kia Syafa’at bersama santri-santri kakak tingkatnya, seperti Muhammad Ilyas dan Wahid Hasyim—putra pendiri dan pengasuh Tebuireng, Mbah Hasyim  Asyari—waktu  itu  tidak  hanya  bisa  menghafal  seluruh bait-bait  Alfiyah  yang  berjumlah  100 bait  dengan  maknanya, tetapi  juga  mahir  menghafalnya  dari  belakang  ke  muka.  Padahal dari muka ke belakang saja bukan main sulitnya.31

Bukti kecerdasan dan kecermelangan pikiran almarhum KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur yang lain, sebagaimana dikisahkan oleh KH. Ali Mutohhar sebagai berikut:

Mbah   Kiai   Syafaat   sangat   mudah   menghafal   nama   tamu- tamunya.  Kecerdasanny juga  terlihat  dar car Mba Kia Syafaat menangkap alur bicara lawan diskusinya, sehingga bisa menanggapi dengan tajam.32

Materi diskusi kerap berkaitan dengan usaha mewujudkan Indonesia merdeka, memupuk semangat nasionalisme dan patriotisme, dorongan untuk mencapai kemajuan, serta masalah agama dan kemasyarakatan. Dalam pertemuannya dengan jamaah dan ulama setiap sehabis shalat jum’at, beliau juga menganjurkan untuk senantiasa hormat dan ta’dzim pada kiainya.

Tidak mengherankan, jika dalam waktu yang cukup singkat Mbah Kiai Syafa’at telah mampu membaca huruf latin. Mengenai asal beliau belajar huruf latin tersebut, diperkirakan melalui beberapa santri lain sewaktu nyantri di Tebuireng, diantarnya kepada Mohammad Ilyas.33 Semenjak itu, Mbah Kiai Syafa’at bertambah giat dalam menimba ilmu pengetahuan apapun dan dari manapun. Di antaranya dari buku, majalah, hingga jurnal yang berbahasa Indonesia, Jawa maupun Arab yang berada di perpustakaan Tebuireng.34 Tidak heran meskipun tidak pernah belajar di sekolah Belanda, perhatian Mbah Kiai Syafa’at tidak hanya terbatas pada kitab-kitab Islam klasik, karena kemampuan yang dimilikinya diatas.

 

3.         Masa-masa Merintis Keluarga

Terbentuknya sebuah keluarga (rumah tangga) yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang pintu gerbang utamanya adalah pernikahan yang sah dan benar, sungguh merupakan dambaan bagi setiap orang dan sekaligus salah satu tanda kebesaran dan keagungan Allah.

Al-Qur`anul Karim menjadikan keluarga (rumah tangga), yang merupakan komunitas sosial pertama dan terkecil, sebagai salah satu tema utamanya. Tidak kurang dari 140 ayat suci Al-Qur’an berbicara tentang keluarga (rumah tangga). Dimulai dari ayat pertama tentang husnu ikhtiyariz zauj, memilih jodoh (calon istri dan suami) dengan baik dan benar (QS. 2 :221), sampai ayat terakhir yang secara spesifik mengingatkan kaum mukminin agar menjaga diri dan keluarganya dari api neraka (QS. 66 :6). Dalam rentang panjang di antara kedua ayat tersebut, bertebaran ayat- ayat yang menjadi pedoman Qur’ani, mengeni cara membangun sebuah keluarga.35 Belum lagi dengan qudwah hasanah, keteladanan yang baik dari praktek kehidupan Rumah Tangga Nabi Saw., yang bisa dibaca dari kitab-kitab Hadits Nabi. Qudwah hasanah tersebut menjelaskan soal tanggung jawab suami-istri, pendidikan anak, nafaqah keluarga, bahkan termasuk cara mengendalikan perbedaan dan perselisihan yang muncul di tengah keluarga, sehingga tetap terjaga keutuhan keluarga itu sendiri.36 Rupanya beberapa tauladan ini  yang  menginspirasi  Mbah Kiai Syafaat dalam  merintis  sebuah keluarga, yang kelak menjadi modal utama dalam memperjuangkan Islam di Blambangan.

Setelah cukup lama mengembara mencari ilmu ke berbagai pesantren, Mbah Kiai Syafa’at menginjak fase selanjutnya dalam sebuah kehidupan, yaitu fase pernikahan dan merintis kehidupan berkeluarga. Masa ini penting, bukan hanya karena  pernikahan  ialah sunnah Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, secara filosofis pernikahan dapat meneguhkan  keberlangsungan  nasab  seseorang di satu pihak, dan keberlangsungan memperjuangkan nilai-nilai Islam melalui pesantren di pihak yang berbeda.

Menurut cerita KH. Muhammad Hasyim Syafa’at37, pada akhir 1930-an, Syafa’at muda dianggap sebagai salah seorang  perjaka dari Blambangan yang paling diminati. Sebagai seorang yang rupawan dan cerdas, beliau banyak menerima tawaran perkawinan dari keluarga-keluarga terkemuka. Selama beberapa tahun beliau menolak semua tawaran tersebut. Beberapa tawaran perkawianan tersebut tidak berlebihan, karena memang kealiman dan kebaikan budi  pekerti  Mbah  Kiai  Syafa’at  merupakan  salah  satu  alasan banyak orang terpikat menjadikan beliau menantu.

Salah satu tawaran itu, sebagaimana yang dituturkan oleh Mbah Abdur Rasyid, datang dari keluarga saudagar kaya raya dari Jalen Banyuwangi. Secara manusiawi, siapa yang tidak tergiur dengan tawaran ini –diambil menantu orang terkaya se-Jalen pada zamannya–, apalagi bagi sosok Mbah Kiai Syafa’at yang memang bukan dari keturunan kiai yang konglomerat, sekalipun tidak terlalu miskin. Tapi ternyata tawaran ini tidak diterimanya. Bahkan terkadang beliau justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang hendak dijodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.

Akan tetapi, menginjak usia 31 tahun, Syafa’at muda yang waktu itu sudah mendapat respons positif dari warga sekitar untuk mengajari ilmu agama di Blokagung, berencana ingin meninggalkan desa tersebut. Rencana itu bertujuan guna belajar agama di bangkalan Madura, sebuah pondok yang dirintis oleh Syaikhona Khalil Bangkalan. Sayang, Kiai Solekhan, pengasuh salah satu pesantren di Gambiran mendengar rencana tersebut dan tidak merestui keinginannya.38

Siapa Kiai Solekhan? Beliau adalah seorang kiai yang khariqul ‘adah, seorang yang tidak sama dengan kebanyakan manusia. Kiai Solekhan pernah berucap, “Pangat (Syafa’at) haruslah menetap di Blokagung.”. Tetapi Blokagung yang mana belum diketahui. Akhirnya, Syafa’at muda dianjurkan untuk lebih bersabar terlebih dahulu.  Alhasil,  Syafa’at  muda  pun mengurungkan  niatnya  untuk mondok di bangkalan Madura.39 Sekitar 2 minggu dari peristiwa tersebut, Kiai Solekhan menikahkan Syafa’at muda dengan seorang gadis bernama Siti Maryam, putri keenam dari enam bersaudara. Siti Maryam adalah putri dari Kiai Karto Diwiryo Abdul Hadi dan Nyai Aminah. Kiai Karto Diwiryo Abdul Hadi adalah seorang ulama besar pada masa Hamengku Buwono VII. Beliau merupakan putra dari Kiai Muhammad Asror Sadiyo. Sedangkan Nyai Aminah ialah seseorang yang berasal dari desa Margokaton, Sayegan, Sleman, daerah Istimewa Yogyakarta, yang telah lama menetap di Blambangan (Banyuwangi) sejak tahun 1921 M.40

 

Berikut ini bagan silsilah ibu Nyai Siti Maryam, isteri pertama

Mbah Kiai Mukhtar Syafaat:41

 

BAGAN SILSILAH NYAI HJ. SITI MARYAM

 



 

Mukijah

Rukiah

K. Rusydi

Khodijah

Zainab

Siti Maryam

 

Jika nasab (garis keturunan) Ibu Nyai Maryam ditelusuri, maka akan ditemukan garis nasab yang menghubungkannya dengan nasab Kiai Hasan Besari Ponorogo, dengan Mbah Kiai Kariban dan dengan Mbah Nur Iman. Dari garis keturunan ini, lahirlah para pendiri dan perintis Pondok Pesantren besar seperti Gontor, Lirboyo dan Ploso. Garis keturunan ini akan bertemu pula dengan garis keturunan ibu Nyai Muri’ah (Hj. Musyarrofah), isteri



kedua Mbah Kiai Mukhtar Syafa’at. Karena menurut Gus Hasyim, silsilah ibu Nyai Muri’ah ini berasa dari Janggon Magelang yang masih ada kerabat dengan Mbah Kiai Kariban.42

Pernikahan   Mbah  Kiai  Syafa’at   dengan   Nyai  Siti  Maryam

berlangsung pada tahun 1949 M., saat Mbah Kiai Syafa’at berumur

31 tahun dan Nyai Siti Maryam berusia 9 tahun. Jika kita perhatikan, usia Nyai Siti Maryam yang masih 9 tahun mengingatkan kita akan Siti Aisyah. Siti Aisyah berusia 9 tahun saat dinikahi Nabi Muhammad SAW, mekipun Nabi tidak mencampuri Siti Aisyah hingga menjelang dewasa. Begitupun Mbah Kiai Syafa’at, tidak langsung mencampuri Nyai Siti Maryaam hingga menjelang dewasa.

Secara sosiologis, perkawinan Mbah Kiai Syafa’at tersebut menganut sistem Endogamous, yakni perkawinan yang dilakukan antar keluarga kiai. Sedangkan maksud dari adanya perkawinan ini merupakan sebagai usaha untuk melestarikan tradisi pesantren, dan sebagai wahana untuk memperkuat kekerabatan diantara mereka di dalam masyarakat. Selain itu, perkawinan ini dimaksudkan oleh Kiai Solekhan agar Syafa’at muda memberi tuntunan dan menyebarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat Blokagung, yang pada waktu itu masih awam dan bahkan tidak mengenal ajaran agama Islam sama sekali.43

Pernikahan Mbah Kiai Syafa’at dengan Nyai Siti Maryam ini dikaruniai 10 anak laki-laki dan 4 anak perempuan. Secara berurutan, nama-nama beliau adalah sebagai berikut:44

            1.      Ahmad Hisyam Syafa’at (Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Tegalsari Banyuwangi dan Rais Syuriah PCNU Banyuwangi) 

2.      Muhammad Hasyim Syafa’at (Ketua KBIH dan Ketua Umum Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Tegalsari Banyuwangi)

3.      Ahmad Qusyairi Syafa’at (Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Aitam Blokagung Tegalsari Banyuwangi)

4.      Agus Bahrul Ulum Syafa’at (Alm.)

5.      Agus Bahjatul Ulum Syafa’at (Alm.)

6.      Afif Jauhari Syafa’at (Kabid Pembangunan Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Tegalsari Banyuwangi)

7.      Handariyyatul Masruroh Syafa’at (Pengasuh Pondok Putri Utara Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Tegalsari Banyuwangi)

8.      Agus Abdullah Masykur Syafa’at (Alm.)

9.      Fatimatuz Zuhro Syafa’at (alm.)

10.  Ali Mahfudz Syafa’at (Pengasuh Pondok  Pesantren Darussalam Ceger Cipayung Jakarta Timur, beliau juga sebagai menantu dari KH. Abdur Rohim bin KH. Abdul Halim Bangsalsari Jember)

11.  Abdul Kholiq Syafa’at (Rektor Institut Agama Islam Darussalam (IAIDA) Blokagung, Dosen Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel Surabaya dan IAII Asembagus Situbondo)

12.  Maftahatul Khoiriyyah Syafa’at (Alm.)

13.  Nur Hamidah Syafa’at (Menantu dari KH. Humaidi, Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatul Ma’arif Lecari Tapa’an Pasuruan)

14.  Ahmad Munif Syafa’at (Pengasuh  Pondok  Darussalam  Timur, Kabid Keuangan Pondok Pesantren Darussalam dan Anggota DPRD)

 Berselang 14 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1962 M., Mbah Kiai Syafa’at melangsungkan pernikahan yang kedua dengan salah seorang putri kiai Tegalsari Gambiran, yang bernama Nyai Hj. Musyarrofah. Pernikahan dengan istri kedua ini membuahkan 4 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Secara berurutan, nama- nama mereka adalah sebagai berikut:

1.      Agus Ali Mahsun Syafa’at (Alm.)


2.      Nurun Nadliroh Syafa’at (Pengasuh Pondok Putri Selatan Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Tegalsari Banyuwangi)

3.      Ali Wafa Syafa’at (Gus Wafa)

4.      Qoniatur Rohmah Syafa’at

5.      Zubaidatul  Khoiriyyah  Syafa’at  (Menantu  dari  KH Arwani, Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Falah, Kemiri, Singojuruh, Banyuwangi)

6.      Abdul Malik Syafa’at (Pengasuh Pondok Darussalam Puncak)

7.      Agus Mubasyir Syafa’at (Kabid keamanan dan ketertiban Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Tegalsari Banyuwangi)

 

Sungguh inilah sebuah potret kiai Pesantren yang mendambaka keluarga  besar,  sekalipun  Mbah Kiai Syafaat tidak terkenal sebagai orang yang kaya raya, tetapi juga tidak tergolong orang yang miskin. Langkah ini menunjukkan tingkat tawakkalnya yang cukup tinggi kepada Allah SWT. Sebab secara pemikiran logis, dalam kondisi yang tidak terlalu kaya apalagi miskin, tidak semua orang bertekat memiliki keturunan sebanyak-banyaknya. Hal itu berbeda dengan Mbah Kiai Syafaat. Dari sini nampak sekali bahwa Mbah Kiai Syafa’at adalah sosok kiai yang benar-banar yakin kalau rizki itu pasti diberikan oleh Allah asal kita berusaha. Sebagaimana seekor cicak yang dengan kapasitasnya sebagai binatang merayap dan tidak bisa terbang, akan tetapi dengan usahanya bisa mencari makanan dari binatang yang mempunyai kapasitas lebih, seperti binatang-binatang bersayap yang bisa terbang. Padahal, secara akal mustahil cicak bisa mendapatkan makanan dari binatang bersayap, sedangkan ia sendiri tidak bersayap dan tidak bisa terbang.

Pilihan memiliki banyak anak yang dilakukan oleh Mbah Kiai Syafa’at ini, bukan semata-mata hanya ingin bangga-bangaan keturunan. Tetapi hal itu berkaitan dengan  akan  semakin  mudahnya proses penyebaran ajaran Islam ke masyarakat dengan semakin banyaknya keturunan. Hal ini terbukti dari beberapa putra-putra Mbah Kiai Syafa’at yang telah berhasil mendirikan dan memangku pondok pesantren sendiri. Dapat dibayangkan, jika


seorang kiai pesantren hanya memiliki satu atau dua anak, apalagi jika tidak memiliki keturunan, pasti estafet kepemimpinan pesantren akan sangat mungkin terancam. Akibatnya, akan berpengaruh pula pada proses penyebaran Islam kepada masyarakat secara luas. Apalagi dalam konteks historisitas Islam Nusantara, peran pesantren menurut Alwi Shihab, melalui santri- santrinya  selain juga melalui anak keturunannya— cukup efektif dalam mendakwakan Islam,45 sekaligus meng-counter adanya beberapa budaya-budaya negatif.

Dilihat dari paradigma agama, ternyata Mbah Kiai Syafa’at

sangat berpegang teguh pada sebuah hadits Nabi yang berbunyi :

 “Menikahlah, niscaya kalian akan beranak pinak dan berbanyak-

banyaklah kalian, maka sesungguhnya aku membanggakan dengan kalian akan adanya umat yang banyak pada hari kiamat.”46

 

4.        Suri Teladan dalam Membangun sebuah Keluarga Cemara

Kebesaran seseorang akan sangat terasa dari sejauh mana  beliau mampu mewariskan qudwah hasanah kepada orang-orang setelahnya, baik kepada keluarganya maupun kepada semua manusia. Hal itu tidak terkecuali dialami oleh Mbah Kiai Syafa’at. Al-Maghfurlah  Mba Kia Syafaat  bersama  Nyai  Siti  Maryam  dan Nyai Hj. Musyarofah adalah pasangan keluarga yang penuh dengan kecintaan dan harmonis. Meskipun Mbah Kiai Syafa’at berpoligami, akan tetapi itu tidak sampai mengganggu keharmonisan diantara keluarga ndalem. Rasa keadilan yang diterapkan oleh Mbah Kiai Syafa’at cukup diterima oleh kedua isterinya. Hal itu jelas tampak dalam diri Nyai Siti Maryam dan Nyai Hj. Musyarofah yang senantiasa menjadi istri shalaheh mendampingi Mbah Kiai Syafa’at hingga akhir pengabdiannya. Meskipun tidak bisa dinafikan, dalam sebuah mahligai keluarga niscaya akan mengalami pernak-pernik kehidupan yang secara manusiawi dialami oleh kebanyakan manusia.

Dalam hal keteladanan dalam berkeluarga, Mbah Kiai Syafa’at berhasil mencontohkan sosok kepala keluarga yang patut ditiru. Tidak hanya bagi keluarganya yang ditinggal, akan tetapi juga bagi semua umat Islam, terlebih bagi kalangan santri dan alumni, serta simpatisan pesantren di Nusantara. Adapun keteladanan Mbah Kiai Syafa’at yang berhasil penulis dapatkan dari beberapa sumber di antaranya:

 

1).  Menanamkan benih-benih Pendidikan

Pendidikan merupakan bekal kebutuhan untuk masa depan. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapanpun dan di manapun ia berada. Pendidikan sangatlah penting, karena tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang, tidak akan maju, bahkan akan tertindas oleh orang-orang yang lebih berpendidikan. Dengan demikian, pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Hal ini senada dengan terminologi pendidikan yang dibawa oleh Syaikh

Musthofa al-Ghalayyin, beliau mengatakan:

 “Artinya : Pendidikan adalah menanamkan budi pekerti yang

utama dalam jiwa para pemuda”.47

 

Menyadari benar akan pentingnya pendidikan yang merupakan sebuah investasi jangka panjang, yang nantinya dapat dipetik dan dirasakan hasilnya di masa mendatang, maka Mbah Kiai Syafa’at sangat memprioritaskan pendidikan sebagai langkah persiapan penerus estafet perjuangan beliau di masa yang akan datang. Prioritas pendidikan itu beliau tujukan kepada putra- putrinya dan kepada para santrinya.

 

a.         Terhadap Putra Putrinya

Anak ibarat kertas putih, yang bisa ditulis dengan tulisan apa saja. Peran orang tua sangatlah vital. Karena melalui orang tua lah, anak akan menjadi manusia yang baik ataukah tidak. Semakin minimnya sosok dan figur orang tua yang ideal untuk konteks Indonesia dewasa ini, maka penulis akan memaparkan potret teladan Mbah Kiai Syafa’at dalam mendidik putra-putrinya. Sebagai teladan paripurna, beliau telah mencontohkan bagaimana mendidik dan mempersiapkan anak. Hal yang paling penting ialah keteladanan dalam melakukan hal-hal yang utama. Inilah yang harus dilakukan orangtua. Bukan hanya memerintah dan menyalahkan, tapi yang lebih penting adalah memberikan contoh konkret. Secara simultan hal itu juga harus ditopang oleh lingkungan, pergaulan, dan masyarakat.

Mbah Kiai Syafa’at sangat menomorsatukan pendidikan bagi putra-putrinya. Putra-putri Mbah Kiai Syafa’at rata-rata belum boleh meneruskan pendidikan keluar daerah jika belum menamatkan sekolah diniyyah dan mengaji kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din di pesantren sendiri. Sering Mbah Kiai Syafa’at menunda pengajian Ihya’ ‘Ulum al-Din jika putra-putrinya tidak tampak dalam mengikuti pengajian. Beliau tidak segan-segan mencambuk dan memarahi putra-putrinya jika tidak mengaji. Selain itu, beliau juga menyempatkan waktu untuk melakukan muraja’ah kitab di waktu tengah malam bagi putra-putrinya. Karena waktu itulah yang dianggap tepat untuk mendidik putra-putrinya secara privat, disamping kesibukan beliau mengajar santri di waktu lain. Hingga saat ini, cambuk yang beliau gunakan untuk memukul putra- putrinya – jika tidak mengaji—masih disimpan keluarga sebagai kenang-kenangan.

Dari cerita diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam mendidik putra-putrinya beliau sangat tegas. Bahkan jika memang perlu, beliau tidak segan-segan mencambuk putra-putrinya jika enggan


menimba ilmu. Rupanya Mbah Kiai Syafa’at sangat memegang teguh hadits nabi yang disarikan dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali. Dalam salah satu bab dijelaskan keutamaan dan derajat orang yang mencari ilmu, dengan mengutib beberapa

hadits, diantaranya:

 “Artinya : Orang yang paling utama adalah mukmin yang berilmu.

Jika dibutuhkan, dia memberi manfaat dan jika tidak dibutuhkan, dia menjaga dirinya.”48

Imam al-Ghazali juga mengutip hadits lain sebagai berikut :

 “Artinya : kamu pergi pagi-pagi sekali dan mempelajari satu bab

ilmu, itu lebih baik dari pada kamu mendirikan shalat 100 rakaat.”49

Selain menanamkan benih-benih pendidikan dalam pribadi putra-putrinya,   Mbah   Kiai   Syafaat   juga   sangat   getol     dalam membentuk karakter sosial dan akhlakul karimah, diantaranya :

 

a)      Akhlak yang mulia

Akhlaq yang baik merupakan fondasi dasar dalam ajaran Islam. Akhlaq yang baik diperoleh dengan berjuang untuk menyucikan jiwa, mengarahkannya untuk berbuat baik, dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Oleh karena itu, perbuatan ibadah tidak lain merupakan sarana untuk mencapai akhlaq yang baik. Dalam hal ini Mbah Kiai Syafaat tidak hanya mendidik lewat nasihat-nasehat saja, tetapi juga melalui aplikasi konkret yang beliau peragakan di setiap tatap muka dengan manusia. Menurut keterangan  dari  Mbah  Muhith  Muzadi Mbah  Kiai  Syafaat  tidak hanya santun dan berbahasa Jawa dengan halus pada tamu-

 

tamunya serta teman sebayanya, tetapi beliau juga memperlakukan sama pada setiap orang tanpa mengenal batas usia dan strata sosial.

Budi pekerti yang beliau tampilkan dalam kesehariannya rupanya kuat dipengaruhi oleh firman Allah yang berbunyi :

 “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS Al Qalam:4).

 

Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, Imam al-Ghazali memaparkan sebuah hadits yang menceritakan sebab diutusnya nabi Muhammad Saw. kemuka bumi, yakni untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.

 

b)        Ihsan

Ihsan adalah perbuatan manusia dalam melaksanakan seluruh ibadahnya secara baik dan menjalankannya secara benar. Perbuatan ihsan juga terdapat dalam bentuk interaksi dengan siapa pun makhluk Allah SWT. Dalam hal ini, Mbah Kiai Syafa’at memberikan teladan bagi putra-putrinya dengan cara menanamkam kesungguhan dalam belajar dan profesional dalam bekerja, serta membalas keburukan orang-orang yang berlaku salah dengan kebaikan atau menerima permintaan maaf dari mereka.

Teladan Ihsan yang dilakukan Mbah Kiai Syafa’at dalam membentuk karakter sosial dan akhlak putra-putrinya disandarkan dalam hadits Nabi, yang artinya:

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik dalam berbagai hal. Seandainya kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik; dan seandainya kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya salah seorang di antara kalian mempertajam mata pisaunya dalam membunuh binatang sembelihannya.” (HR Muslim)

Mbah Kiai Syafa’at juga menekankan kepada putra-putrinya tentang pentingnya sebuah persaudaraan. Persaudaraan itu tidak


hanya beliau tanamkan kepada sesama muslim, tetapi juga dengan yang bukan beragama Islam. Putra-putrinya senantiasa diharuskan untuk berbuat baik, santun dalam berbicara, dan bertindak. Sebagaimana telah diketahui, bahwa di daerah Blokagung dulu memang banyak masyarakat yang masih beragama Hindhu dan agama nenek moyang. Akan tetapi, perbedaan agama tidak menjadikan tabir dan sekat untuk tetap berbuat baik.

Karakter yang diajarkan Mbah Kiai Syafa’at ini bisa kita temukan dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din sebagai berikut :

“Artinya : Barangsiapa bersaudara karena Allah taala, maka Allah

akan meninggikan derajatnya di surga, dia tidak akan meraihnya dengan suatu amal apapun.”50

 

c)         Amanah

Teladan tentang amanah yang Mbah Kiai Syafa’at tanamkan kepada putra-putrinya ialah tentang menyampaikan hak-hak kepada orang yang memilikinya tanpa mengulur-ulur waktu. Sedangkan sikap amanah dalam dunia ilmu pengetahuan menurut Mbah Kiai Syafaat, berarti belajar dengan tekun dan rajin. Serta sikap amanah dalam berinteraksi dengan sesama manusia ialah dengan menjaga rahasia-rahasia mereka.

Teladan tentang amanah yang ditanamkan kepada putra- putrinya ini, disandarkan dalam beberapa nash, diantaranya :

Firman Allah dalam surah An-Nisa yang artinya ; “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.”

Hadits Nabi yang artinya; “Jadilah kalian orang yang amanah bagi orang orang yang telah mempercayaimu, dan janganlah kalian mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR Daraquthni). Bentuk Konkret dari teladan Mbah Kiai Syafa’at ini dipraktekkan langsung dalam mendidik santri-santrinya yang merupakan amanah dari para wali santri, dan khususnya amanah dalam mendidik putra-putrinya sendiri yang merupakan titipan Allah Swt.

 

d)        Ikhlas & Qona’ah

Mbah Kiai Syafa’at selalu menanamkam rasa Ikhlas dalam segala hal, baik dalam melaksanakan pekerjaannya maupun proses belajarnya. Semua itu harus dilaksanakan dengan ikhlas, demi mendapatkan ridha Allah SWT. Jangan sampai perbuatan tersebut dilandaskan pada sifat munafik, riya’, atau harapan mendapatkan pujian dari orang lain.

Dalam hal ini, Mbah Kiai Syafa’at mengadopsi ucapan al- Fudhail yang disarikan dari kitab karangan Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din.

AL-Fudhail berkata ; “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan beramal karena manusia adalah syirik, sedangkan keikhlasan adalah bila Allah Swt. membebaskannya dari kedua sifat itu.”

Rupanya Mbah Kiai Syafa’at betul-betul meresapi terminologi ikhlas yang dipaparkan oleh hujjatul Islam, Syakih Imam al-Ghazali, dalam magnum opus-nya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Keikhlasan dalam mendedikasikan diri untuk agama dan bangsa tersebut dapat terbaca orang-orang lain, baik dari keluarga, masyarakat Blokagung sendiri, santri, alumni, bahkan simpatisan masyarakat luas yang pernah hidup bersama beliau.

Inilah gambaran singkat teladan beliau dalam manifesto ikhlas. Puncak keikhlasannya menjadikan Blokagung menjadi pondok pesantren yang tidak hanya disegani dalam kancah Nasional, namun sudah merembet pada internasional. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya santri Blokagung yang berasal dari luar Nusantara.

Pesantren Darussalam dimulai dengan pengajian yang hanya diikuti oleh 7 orang murid di mushalla kecil dengan ukuran 34 meter persegi. Hingga, saat ini santrinya bertambah drastis menjadi 10ribu-an lebih. Pesantren ini telah berkembang dengan


dilengkapi sarana-prasarana yang representatif, dan dengan masjid jami’ berdiri agung ditengah-tengah pondok pesantren Darussalam.

 

e)      Sabar dan Syukur

Teladan yang diajarkan Mbah Kiai Syafa’at tentang kesabaran ialah bagaimana menerima sesuatu yang tidak disenangi dengan jiwa yang lapang, dan bukan dengan kemarahan atau keluhan. Sabar dapat termanifestasi melalui sikap, baik dalam melaksanakan ibadah maupun muamalah, serta menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga di perbatasan negerimu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS Ali Imran: 200).

Pada ayat yang lain Allah SWT berfirman, “Sesugguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas. (QS Az- Zumar: 10).

Rasulullah SAW bersabda, “Betapa menakjubkannya perkara orang-orang beriman, segala perkara mereka baik, dan hal itu tidak didapatkan kecuali oleh orang beriman. Apabila mendapatkan kebahagiaan, beliau akan bersyukur dan itu adalah hal yang terbaik bagi dirinya. Begitu pula apabila ditimpa kesedihan, beliau akan bersabar dan hal itu adalah yang terbaik bagi dirinya.” (HR Muslim).

Ketika menasehati putra-putrinya, Mbah Kiai Syafa’at selalu mengatakan, bahwa sabar itu laksana getah yang rasanya memang sangat pahit, namun dampaknya akan terasa lebih manis dari pada madu. Nasehat ini yang selalu menjadi senjata bagi putra-putrinya, dan juga santri-santrinya untuk selalu bersikap sabar dalam hal apapun.

 

f)       Kejujuran

Teladan yang diajarkan Mbah Kiai Syafa’at terhadap putra- putrinya diantarnya; dalam menjalankan ibadah, muamalah, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan, seorang muslim


hendaklah berlaku jujur, hanya untuk mengharapkan ridha Allah SWT. Seorang anak hendaknya diajarkan untuk memiliki sifat jujur, baik di dalam perkataan maupun perbuatannya. Sehingga, setiap ucapan yang keluar dari mulutnya sesuai dengan realitas yang ada, tidak berbohong di hadapan orang lain. Karena sifat bohong adalah satu ciri orang munafik.

Sifat jujur akan mendatangkan keberkahan dalam rizqi, serta dapat membantu seseorang muslim untuk meraih nurani yang tenteram dan jiwa yang damai.

Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, Imam al-Ghazali mengutip

salah satu hadits Nabi sebagai berikut:

 “Artinya : Hendaknya kalian berlaku jujur. Karena kejujuran akan menunjukkan seseorang pada perbuatan baik, dan perbuatan baik akan membawa seseorang kepada surga. Seseorang yang memiliki sifat jujur dan terus mempertahankan kejujurannya, di sisi Allah akan tercatat sebagai orang yang jujur. Dan hendaknya kalian menjauhkan diri dari sifat bohong. Karena kebohongan akan menyeret seseorang pada dosa, dan dosa akan mengantar manusia ke pintu neraka. Seseorang yang berbuat bohong dan masih terus melakukan kebohongan, di sisi Allah akan tercatat sebagai pembohong.”51

 

g)     Tawadlu’

Mbah Kiai Syafa’at selalu mengajari kepada putra-putrinya tentang sikap tawadhu’ atau rendah hati, yang hanya dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari sifat sombong di hadapan hamba  Allah. Beliau menekankan untuk senantiasa menjalin hubungan dengan fakir miskin, karena doa mereka mustajab.

Salah satu sikap tawadhu’ Mbah Kiai Syafa’at, beliau sangat tidak suka orang-orang memberikan pujian kepada beliau atau berdiri untuk memberi penghormatan kepada beliau. Tidak hanya itu, Mbah Kiai Syafa’at juga tidak pernah membedakan diri dengan para sahabat, para tamu, dan masyarakat sekitar beliau. Sehingga, beliau pun mengerjakan apa yang mereka juga kerjakan.

Mbah Kiai Syafa’at pun terbiasa bercanda dengan para sahabat sesama kiai, seperti KH. R. As’ad Syamsul ‘Arifin (PP. Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Asembagus Situbondo), KH. Abdul Halim (PP. Mamba’ul Khiriyyatil Islamiyyah Kedungsuko Bangsalsari Jember), KH. Dimyati Ibrahim (PP. Mathla’ul Falah Sepanjang Glenmore Banyuwangi), dll. Beliau juga sering bercanda dengan para tamu dan para santrinya.

Selain   itu,   Mbah   Kiai   Syafa’at   sangat   menekankan   dan mengingatkan kepada putra-putrinya untuk tidak menggatungkan diri pada nama besar pondok dan abahnya. Hal ini dapat kita temukan dalam sebuah maqolah yang diungkapkan Imam Syafi’i sebagi berikut :

“Artinya : Sesungguhnya yang dinamakan seorang pemuda/i itu

yang mengatakan ‘inilah saya’, bukan yang megatakan ‘inilah bapak saya’.”52

Allah SWT berfirman dalam surah Al Furqan ayat 63 yang artinya; “Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan, Yang Maha Penyayang, adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati; dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan.”

 

h)     Membangun Silaturrahim dan dermawan

Pemahaman tentang makna silaturahim yang Mbah Kiai Syafa’at ajarkan terhadap putra-putrinya ialah berbakti dan berbuat baik kepada orang tua serta kaum kerabat. Di samping itu, juga menjaga hak-hak para tetangga dan orang-orang lemah. Semua itu dilakukan untuk mempererat ikatan hubungan di antara keluarga dan untuk menumbuhkan rasa cinta di antara manusia.

Yang termasuk dalam bagian silaturahim ialah  berlaku  baik dan sopan ketika bertemu dengan kaum kerabat, serta menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Bahkan bagi setiap  tamu  yang datang ke rumah beliau, selalu diberikan jamuan makanan meskipun ala kadarnya. Tidak heran jika sampai sekarang para putra-putrinya melestarikan tradisi menjamu tamu dengan jamuan berupa hidangan makanan. Setiap tamu yang ada selalu diberi makan sebelum pamit pulang. Hal ini juga dicontoh oleh beberapa santri Blokagung yang menjadi suksesor Mbah Kiai Syafa’at di daerahnya masing-masing, seperti KH. Ma’shum Sadad Banyuwangi, KH. Munawar Jember, KH. M. Thohir Besari Madiun, KH. Rusydi Sumatra Selatan, KH. Syamsul Hadi Yogyakarta, KH. Muhsin Sairozi Demak, KH. Ali Mahfudz Syafa’at Jakarta, dan KH. Ahmad Hatim Lampung.

Kedermawanan ketika menjamu para tamu yang dilakukan Mbah Kiai Syafa’at tersebut bisa ditemukan dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din. Bahkan falsafah yang dikutib dari kitab  tersebut diabadiakan dalam sebuah tulisan yang dipampang di AULA pondok pesantren Darussalam Blokagung. Berikut bunyi falsafah yang sering digunakan Mbah Kiai Syafa’at dalam menghormat para

tamunya; Rasulullah bersabda :

Artinya : Sesungguhnya di surga ada istana yang bagian luarnya

bisa dilihat dari dalam dan bagian dalam terlihat dari luar, istana itu diperuntukkan bagi  orang  yang memperhalus kalam, menyuguhkan


makanan, dan untuk orang yang sholat di tengah malam sedang manusia lagi tidur.”53

Selain itu, ada juga pembahasan yang serupa, seperti ; Ibnu

Abbas berkata:

“Artinya  :  Sebagaian  dari  lebih  utamanya  kebaikan  adalah

memuliakan teman duduk dengan memberi makan berbuka puasa, maka memberi makan buka puasa dengan niat seperti ini adalah ibadah dan sebaik-baik budi pekerti, maka pahalnya melebihi pahala berpuasa.”54

 

Ungakapan di atas tidak hanya sekedar slogan semata. Namun dipraktekkan dalam keseharian Mbah Kiai Syafaat, dan dilanjutkan oleh keluarga besar pesantren Darussalam Blokagung, termasuk beberapa santri.

Teladan yang telah dikemukan diatas merupakan bagian kecil dari qudwah hasanah yang diajarkan Mbah Kiai Syafaat. Teladan tersebut diberikan tidak hanya dengan lisan, namun diperaktekkan dalam kehidupan pribadi beliau. Sehingga tidak heran jika teladan yang beliau contohkan melekat pada diri putra-putrinya, termasuk pada para santrinya.

Dari hasil pendidikan Mbah Kiai Syafa’at yang ekstra ketat dan tegas ini, menjadikan putra-putrinya banyak menjadi tokoh sentral di tengah masyarakat dan menjadi ulama. Sehingga pada saat beliau wafat, putra-putrinya telah mampu meneruskan estafet dan menjadi suksesornya. Hal inilah yang membuat jumlah santri tidak surut hingga saat ini, bahkan semakin bertambah, walaupun sang pendiri telah tiada. Perkembangan jumlah santri ini ternyata juga diikuti oleh perkembangan pendidikan formal maupun non formal di pesantren Blokagung. Terbukti dengan adanya lembaga



pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

 

b.         Terhadap Santri

Sebenarnya, hal yang telah diajarkan dan dicontohkan Mbah Kiai Syafa’at tidak hanya berlaku untuk putra-putrinya saja. Akan tetapi, kesemuanya itu juga beliau terapkan untuk para santrinya tanpa terkecuali. Meskipun dalam hal ini beliau lebih ketat dan tegas dalam mendidik putra-putrinya, yang nantinya menjadi penerus perjuangannya.

Padas posisinya sebagai seorang guru atau pendidik, Mbah Kiai Syafa’at tentu tidak hanya mengembangkan pendidikan non formal atau sebaliknya. Pendidikan yang dikembangkan oleh beliau bersifat proporsional dan lebih bersifat fleksibel, yang berarti segala usaha dapat dikategorikan sebagai pendidikan. Terlebih yang berkaitan pengembangan mental, intelektual, ataupun moral.

Mbah Kiai Syafa’at terkenal sangat gigih, telaten, dan istiqomah dalam mendidik para santrinya. Dalam banyak hal beliau menanamkan akhlak mulia dalam diri santri, misalnya kegiatan roan – kerja bakti bersama. Hal ini mengandung nilai-nilai sosial, dan dimaksudkan agar kelak para santri mampu mandiri dan giat bekerja ketika sudah berada ditengah-tengah masyarakat, mampu bekerja sama, berbadan sehat, dan terampil.

Pada periode santri awal, Mbah Kiai Syafa’at sangat menganjurkan para santri untuk membuat batu merah sendiri, baik saat ada pembangunan gedung atau tidak. Hal ini dimaksudkan agar pembangunan yang ada, semisal pembangunan asrama, benar-benar dibangun oleh santri atas jerih payahnya sendiri, sehingga akan terlahir rasa memiliki. Singkat kata, prinsip pembangunan ialah dari santri, oleh santri, dan untuk santri.55

Secara umum, benih-benih pendidikan yang dilakukan oleh

Mbah Kiai Syafa’at setidaknya melalui dua pendekatan sederhana:

a.       Pendekatan disengaja (Pendekatan kaderisasi)

Pendekatan disengaja merupakan pendidikan yang diselenggarakan secara khusus. Misalnya waktu sorogan kitab Ihya’ Ulum al-Dinngaji diniyyah, dan ceramah-ceramah di masjid yang biasanya dilaksanakan sehabis shalat Isya’ dan shubuh.

Rupanya, “pendekatan disengaja” yang dilakukan oleh Mbah Kiai Syafa’at ini memiliki tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, beliau ingin menumbuhkan rasa percaya diri kepada para santrinya, agar tekad melanjutkan perjalanan dakwah makin kuat. Selain itu, Mbah Kiai Syafa’at hendak menerapakan pola tafaqqud wa ri’ayah, yakni selalu mencari informasi tentang para santrinya dan memperhatikan mereka. Utamanya yang jarang terlihat dalam momen-momen tertentu, seperti tidak terlihat di saat shalat berjama’ah, waktu mengaji diniyyah, sorogan, dan sebagainya.

b.      Pendekatan tidak disengaja

Benih-benih pendekatan yang tidak disengaja ini misalnya seperti berinteraksi dengan para santri dan bercampur baur hidup ditengah-tengah mereka. Mbah Kiai Syafa’at menjadi suri teladan melalui akhlaknya, kehidupannya, kepekaan sosialnya, dan teladan lainnya yang dilakukan tanpa disengaja, untuk mendidik para santri agar mencontoh perbuatan-perbuatan tersebut.

Sebagai seorang pendidik, Mbah Kiai Syafa’at tidak hanya berorientasi kepada kecakapan-kecakapan ranah cipta saja, tetapi juga mencangkup dimensi atau ranah rasa dan karsa. Dengan kata lain, Mbah Kiai Syafa’at tidak hanya menonjolkan aspek kemampuan intelektualitas belaka (cognitive), akan tetapi juga menanamkan nilai-nilai etika (affective domain). Bahkan lebih dari itu, Mbah Kiai Syafa’at sudah menunjukkan keterampilannya sebagai seorang pendidik sekaligus pengajar. Karena dalam kapasitasnya sebagai pendidik dan pengajar, beliau telah sukses merealisasikan seluruh aspek yang ditetapkan oleh para ahli pendidikan kontemporer, bahwa pendidikan harus mencangkup semua ranah kehidupan manusia, yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif.


5.     Pendiri Pondok Pesantren Blokagung Banyuwangi

Pengembangan dakwah Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran para wali dalam mengajarkan Islam. Cara- cara akulturatif dalam berdakwah menjadi pintu masuk bagaimana Islam begitu mudah diterima oleh masyarakat. Begitu Islam diterima oleh masyarakat, maka tugas lebih lanjut adalah memberikan pendalaman pemahaman Islam kepada warga. Dan kehadiran pesantren merupakan salah satu upaya memberikan pendalaman pemahaman agama kepada warga.

Pesantren ini juga dilengkapi dengan kurikulum khas yang hampir sama di semua pesantren. Keteladanan kiai menjadi ciri khas pesantren dalam menggembleng para santri untuk mendalami Islam. Kehadiran pesantren inilah dalam rangka mengilmiahkan orang   yang     baru                 masuk                Islam    itu.       Namun dalam perkembangannya, pesantren menjadi pengemblengan pendidikan agama dan akhlak bagi warga. Seiring dengan mapannya pesantren dan kuatnya jaringan antar pesantren, maka pada tahun 1926 lahirlah jam’iyyah diniyyah Nahdlatul Ulama yang diinisiasi oleh sejumlah tokoh pesantren. Melalui jam’iyyah diniyyah inilah, para tokoh pesantren mendakwahkan Islam dan berjuang untuk bangsa. Dalam mendakwahkan ajaran agama, tentu saja terjadi perubahan luar biasa, bahkan dalam beberapa hal ada yang harus disesuaikan. Namun demikian, ada prinsip-prinsip yang juga patut dipertahankan.             Ini     artinya,           di                     samping           ada              penyesuaian- penyesuaian, juga ada upaya mempertahankan. Di sinilah prinsip al-muhāfadzatu ‘Ala al-Qadīmi al-shālih wa al-Akhdzu bi al-Jadīdi al-

Ashlah menemukan relevansinya.

Menurut keterangan Bapak Ikhwan,56 beberapa hari setelah perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam, Mbah Kiai Syafa’at ingin menata masa depannya dengan mencari peluang hidup. Beliau teringat sebuah janji akan diberi 7 hektar tanah dari seseorang kenalan di Kediri yang dikenal sangat kaya raya dan gemar  berangkat haji, ia bernama Haji Abdul Shofar57. Tujuh hektar tanah tersebut dijanjikan akan diberikan kepada Syafa’at muda jika beliau tamat dari pondok pesantren, dan mau pulang ke Kediri untuk mengamalkan ilmu di kampung halamannya. Syafa’at muda pun berkunjung ke Kediri dengan tujuan ingin menagih janji tersebut. Sebelum kepergiannya ke Kediri, Syafa’at muda meminta restu kepada kiai Solekhan, sekaligus memberitahukan maksud kepergiannya dan rencana apa saja yang akan dilakukan setelah tiba di kampung halamannya, Kediri.

Sebenarnya, Kiai Solekhan tidak mengharapkan Syafa’at muda meninggalkan Blokagung. Seakan-akan lewat spiritualitasnya, beliau tahu bahwa tempat yang terbaik bagi Syafa’at adalah Blokagung. Hanya saja, ekspektasi tersebut tidak secara jelas dan gamblang diutarakan kepada Syafa’at muda. Ekspektasi itu hanya disampaikan lewat sebuah isyarat semata. Satu pesan yang disampaikan kiai Solekhan, “Pangat (sebutan Mukhtar Syafaat), bila kau ditanya kiai Fatah58 dari mana asalmu, maka jawablah: Banyuwangi!”. Hal itu dimaksudkan agar Syafa’at muda tidak jadi tinggal di Kediri.

Ketika  Syafa’at  kembali  ke  Banyuwangi,  beliau  sowan lagi

kepada kiai Solekhan dan menceritakan bahwa beliau menjawab “Banyuwangi” ketika ditanya kiai Fatah. Mendengar cerita Syafa’at tersebut, Kiai Solekhan pun senang dan menyampaikan wasiat Kiai Sobar Iman59, kakek Syafaat: “Solekhan, apabila kamu bertemu Pangat, cucuku, katakanlah kepadanya bahwa aku  telah  mewariskan sebidang tanah untuknya di Blambangan -sekarang Banyuwangi-, yang aku beri tanda rumput alang-alang kumiter.”. Ternyata  setelah  di  crosscheck,  rumput  alang-alang  kumiter itu memang benar adanya, dan ini juga dibenarkan oleh putra dari Hj. Uminatun yang tidak lain adalah mbakyu-nya sendiri.60

Yang dimaksud dengan sebidang tanah di atas ialah tanah yang sekarang menjadi pesantren terbesar di kawasan Banyuwangi, yaitu tanah yang diwarisi dari Mbah Kartodirjo. Singkat kata, yang mensugesti Mbah Kiai Syafa’at untuk tetap tinggal di Blokagung adalah kakeknya sendiri, lewat kiai Solekhan. Karena rupanya dengan kapasitasnya sebagai oarang yang ‘alim-‘allamah, seakan- akan beliau sangat mengerti kalau cucunya kelak, Mbah Kiai Syafa’at akan menjadi ulama besar bila tinggal di Blokagung.

Sejatinya, tidak hanya sugesti dari Kiai Solekhan dan Kiai Fatah yang di dapat Mbah Kiai Syafa’at untuk tinggal di Blokagung, melainkan sugesti juga didapat dari KH. Dimyati bin KH. Ibrahim Bin KH. Irsyad. Ketiganya dikenal sebagai ulama yang khariqul ‘adah.61 Terkadang, tingkah dan tindakan beliau terkesan aneh dan janggal. Tetapi bagi orang-orang yang memiliki mata batin yang jernih dan memiliki persangkaan yang baik, keanehan-keanehan tersebut merupakan sebuah tashwir atau penggambaran dari sesuatu keadaan yang sedang atau akan terjadi.

Kejadian aneh yang dialami Mbah Kiai Syafa’at, di antaranya ketika masa-masa akhir keberadaannya di Pesantren Tasmirit Thalabah atau Ibrahimy Jalen. Saat itu beliau selalu diganggu dan diusir dari pesantren Jalen oleh kiai Dimyati (terkenal dengan sebutan Gus Dim Jadzab). Sesekali beliau dilempari sandal. Tidak berhenti di situ, setiap kali melihat Syafa’at muda masih berada di pesantren Jalen, Gus Dim Jadzab selalu mengambil parang untuk menakut-nakuti Syafa’at dengan tujuan agar Mbah Kiai Syafa’at lari ke Blokagung. Terbukti setiap kali Syafa’at berlari untuk bersembunyi di Jalen, di Glenmore, dan di tempat-tempat lain, selalu  keberadaannya  diketahui  oleh  Gus  Dim.  Akhirnya  Syafa’at meninggalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng, yang diikuti oleh salah  satu  santri  yang  bernama  Muhyiddin62  asal  Pacitan.  Beliau pergi ke kediaman kakak perempuannya, Uminatun, yang terletak di    Blokagung.    Barulah    di    tempat    ini    Gus    Dim    tidak menemukannya.63    Hal   ini   kemudian   disadari   oleh   Mbah  Kiai Syafa’at   sebagai    indikasi,    bahwa    beliau    harus    tinggal    dan mengamalka ilmunya  di  Blokagung,  setelah  beliau  memperoleh pengaruh yang amat besar di daerah tersebut.64

Selama di Blokagung ini, beliau mulai mengajar di Musala kecil milik kakak perempuannya itu. Mula-mula beliau mengajari Al- Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda sekitar, dan akhirnya diikuti oleh salah seorang santri yang bernama Arwani, temannya saat di pesantren Jalen. Kiai Arwani inilah satu-satunya teman Mbah Kiai Syafa’at yang menjadi santri periode pertama dan menjadi seorang kiai besar di Klatakan, Tanggul, Jember.65

Setelah memperoleh beberapa Isyarat dari para guru spiritualnya, Mbah Kiai Syafa’at pun mulai merasa istiqomah dan tenang dalam menyebarkan ilmunya di Blokagung. Semakin lama santrinya semakin bertambah. Sehingga pada 15 Januari 1951, masyarakat sekitar berbondong-bondong membangun mushalla yang lebih besar lagi dan diberi nama “Darussalam”. Tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung.66

 

v  Proses      awal      berdirinya       Pondok      Pesantren Darussalam Blokagung

Hubungan antara pengajian dan lembaga-lembaga pesantren sangat penting. Dalam arti, bahwa keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keduanya senantiasa mengalami proses alamiyah dan perjuangan intensif untuk dapat hidup langgeng. Itulah sebabnya, dalam kenyataannya, kita senantiasa dapat menyaksikan bahwa antara pengajian dan lembaga-lembaga pesantren sering kali terjadi suatu proses silih berganti posisi, seperti bandul jam (pendulum swing) atau proses pergeseran yang tajam.67

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa kebanyakan pesantren tumbuh dan berkembang dari lembaga-lembaga  pengajian, seperti Pesantren Tebuireng, yang memulai  karirnya  dari pengajian yang diikuti oleh 8 santri. Dalam tempo 20 tahun, pengajian ini telah berkembang menjadi sebuah pesantren besar yang memiliki kurang lebih 200 santri, dan 10 tahun kemudian santrinya melonjak menjadi kurang lebih 2000 orang. Begitu juga dengan pesantren Ploso di Kediri, yang juga berkembang dari lembaga pengajian. Pesantren ini bermula dari suatu pengajian dengan 5 orang murid saja di tahun 1925,  beberapa  tahun kemudian santrinya bertambah menjadi ribuan.

Contoh lain yang sangat luar biasa ialah pertumbuhan  pesantren Darussalam, Blokagung di Banyuwangi. Pesantren ini mula-mulanya hanyalah sebuah langgar yang luasnya tidak lebih dari 34 meter persegi, yang memberikan pengajian kepada 7 orang saja. Hal itu karena penduduk sekitar pada umumnya belum banyak mengerti dan mengajarkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan di daerah tersebut kebanyakan masyarakat waktu itu menganut agama Hindu. Pesantren yang tumbuh dan berkembang dari lembaga pengajian ini berkembang pesat hingga memiliki lebih dari 8000-an santri.

Pada tanggal 15 januari 1951, didirikanlah suatu bangunan berupa mushala kecil yang sangat sederhana. Bahannya dari bambu dan beratap ilalang, dengan ukuran 7 X 5 meter. Mushalla ini oleh Mbah Kiai Syafa’at diberi nama “Darussalam”, dengan harapan semoga akhirnya menjadi tempat pendidikan masyarakat sampai akhir zaman.68

Pembangunan  ini  dikerjakan  sendiri  oleh  Mbah  Kiai  Syafaat dengan dibantu oleh santrinya. Selama pembangunan berjalan, Mbah Kiai Syafa’at selalu memberikan bimbingan dalam praktek pertukangan dan dorongan, bahwa setiap pembangunan supaya dikerjakan sendiri semampunya. Apabila sudah tidak mampu, barulah mengundang atau meminta bantuan kepada orang lain yang ahli. Agar para santri dapat belajar untuk bekal ketika terjun di masyarakat, dan mereka sudah terampil mengerjakan pekerjaan dengan mandiri.

Pada awal mulanya, mushalla tersebut digunakan untuk mengaji dan untuk tidur para santri bersama kiainya. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian dan kemasyhuran Mbah Kiai Syafa’at semakin jelas. Sehingga timbul keinginan masyarakat luas untuk berpartisipasi menitipkan putra-putrinya untuk dididik di tempat tersebut.69 Semakin banyaknya masyarakat yang ingin menitipkan putra-putrinya belajar ilmu agama, menjadikan musholla Darussalam tidak muat untuk menampung para santri yang membludak. Lalu timbullah inisiatif Mbah Kiai Syafa’at untuk mengumpulkan wali murid, untuk diajak bermusyawarah mendirikan bangunan yang baru dan bergotong-royong membangun tanpa ada tekanan dan paksaan.

Pelaksanaan pembangunan dipimpin langsung oleh Mbah Kiai Syafa’at,  sehingga  dalam  waktu  yan relatif  singkat  pembangun tersebut selesai, dan dapat dimanfaatkan untuk menampung para santri yang berdatangan. Akhirnya hingga sekarang ini menjadi tempat yang kondusif dan ramai untuk belajar.

Adapun pesantren secara resmi berbadan  hukum  dan berbentuk yayasan yaitu dengan nama “Yayasan Pondok Pesantren Darussalam”, dengan akte notaris Susanto Adi Purnomo, SH., Nomor 31 tahun 1978. 70

 

6.      Hubungan Intelektual dan Kekerabatan Sesama Kiai

Sejak Islam masuk di Indonesia, para kiai selalu terjalin oleh intelektual chain (rantai intelektual) yang tidak terputus. Hal ini berarti bahwa antara satu pesantren dan pesantren yang lain, baik dalam satu kurun zaman maupun dari satu generasi ke generasi berikutnya, terjalin hubungan intelektual yang mapan. Hingga perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren sebenarnya sekaligus menggambarkan sejarah intelektual Islam tradisionalis. Dengan kata lain, satu-satunya jalan yang ditempuh untuk melakukan studi tentang sejarah intelektual Islam di Indonesia ialah dengan cara meneliti lembaga-lembaga pesantren dan menelusuri perubahan-perubahan yang terjadi dari satu generasi ke generasi. Di sini penulis mencoba menggali hal tersebut dari dua sisi yang berbeda, yakni dari sisi hubungan pemikiran Mbah Kiai Syafa’at dengan guru-gurunya dan seberapa besar pengaruh mereka terhadap pola pikir dalam kepemimpinannya, dan dari sisi hubungan sosial sesama kiai yang berdampak baik bagi pesantren yang dipangkunya, baik sebagai penerus atau sebagi perintis baru. 

v Hubungan Intelektual Mbah Kiai Syafa’at

Membahas genealogi keilmuan Mbah Kiai Syafa’at tidak bisa dipisahkan dari semangat intelektualitas dunia Islam pada abad ke-

19.  Pada abad ini, dunia Islam mengalami kemajuan keilmuan yang sangat pesat, terbukti dengan munculnya ulama-ulama terkemuka yang menentukan perubahan-perubahan pada abad selanjutnya. Pada abad ini pula, intelektual-intelektual Indonesia juga sudah tampil sebagai sosok pembawa perubahan yang kembali dari Makkah ke Nusantara dengan mendirikan pesantren-pesantren.

Syekh   Kholil misalnya,   ulama   asal   Bangkalan   Madura   ini memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mendirikan sebuah pesantren  di  daerah  asalnya  tersebut.71 Melalui  pesantren  inilah, Syekh  Kholil  membangu kariernya  sebagai  ulam terkemuka di Jawa. Menurut Jajat, hampir semua ulama di Jawa pada awal abad ke  20  pernah  belajar  kepadanya.72   Pernyataan  tersebut  terbukti dengan  banyaknya  pendiri-pendiri  pesantren  besa yang  belajar darinya, seperti Kiai Manaf Abdul Karim pendiri pondok pesantren Lirboyo    Kediri,    Kiai   Muhammad    Munawwir pendiri    pondok pesantren Munawwir Krapyak Yogyakarta, dan KH. Hasyim Asyari pendiri  pondok  pesantren  Tebuireng  Jombang,  yang  selanjutnya nama  terakhir  ini  menjadi  salah  sat guru  Mbah  Kia Syafaat selama bertahun-tahun saat di Tebuireng.

Selain Syekh Kholil, ulama lain yang mendirikan pesantren setelah pulang dari Makkah adalah Syekh Saleh Darat. Seperti halnya Syekh Khalil, beliau mendirikan pesantren di Semarang pada tahun1880-an, tepatnya  di  Darat,  daerah  Semarang  Utara. Syekh Saleh bukan hanya sebagai pengajar agama Islam di Jawa. Seperti halnya Syekh Khalil, beliau juga berhasil mencetak ulama Jawa pada abad ke 20. Beberapa muridnya menjadi ulama terkenal yang mendirikan pesantren di daerah asal mereka masing- masing, di  antaranya  yaitu  Kiai  Idris  pendiri  pondok pesantren Jamsaren di Surakarta Solo, Kiai Syaban bin Hasan dari Semarang, Kiai Abdul Hamid dari Kendal, dan Kiai Ibrahim pendiri pondok pesantren Jalen Banyuwangi.73 Nama yang disebutkan terakhir  ini  menjadi  salah  satu  guru  Mba Kia Syafaat  selama kurang lebih 13 tahun.

Dari sini dapat dibuat suatu kesimpulan, bahwa genealogi intelektual Mbah Kiai Syafa’at dengan dua guru yang berbeda ternyata bertemu dalam satu titik satu genealogi pemikiran, yakni bertemu rantai Intelektual dengan KH. Kholil Bangkalan.

Sejalan dengan hipotesa di atas, Zamakhsyari Dhofier mengungkapkan bahwa dalam tradisi pesantren, seorang kiai tidak akan memiliki status dan kemasyhuran hanya karena kepribadian yang dimilikinya. Beliau menjadi kiai karena ada yang mengajarnya. Beliau pada dasarnya sebagai representasi pemikiran pesantren dan gurunya tempat beliau belajar. Keabsahan (authenticity) ilmunya dan jaminan yang beliau miliki sebagai orang yang diakui sebagai murid kiai terkenal, dapat beliau buktikan melalui mata rantai transmisi yang biasanya beliau tulis dengan rapi, dan dapat dibenarkan oleh kiai-kiai lain yang masyhur yang seangkatan dengan dirinya. Ini berarti bahwa seorang kiai yang tidak memiliki rantai transmisi tidak akan laku.74

Tradisi keilmuan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa saat itu memang sangat kental. Hal ini dapat ditelusuri dari banyaknya pesantren dan ulama terkemuka sebagaimana penulis sebutkan sebelumnya. Menurut penulis, atmosfer intelektual pada saat itu juga menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan Mbah Kiai Syafa’at. Seperti ulama-ulama besar lainnya, pembentukan intelektualnya dimulai dari pesantren-pesantren yang didirikan ulama di Jawa. Sejak kecil proses belajar dari pesantren ke pesantren di Jawa yang dilakukan Mbah Kiai Syafa’at ini menghabiskan waktu sekitar puluhan tahun. beliau belajar tata bahasa dan sastra Arab, fikih, dan tasawuf dari Kiai Hayim Asyari selama kurang lebih enam tahun, dan melanjutkan pada Kiai Ibrahim selama kurang lebih 13 tahun. Di sini beliau memfokuskan belajar ilmu fikih, kitab Ihya’  ‘Ulum  al-Din, kitab tauhid, dan sebagainya

.

v Kekerabatan Mbah Kiai Syafaat dengan Sesama Kiai

Kebanyakan orang menyimpulkan, bahwa lembaga-lembaga pesantren di jawa mengidap sebuah kelemahan, yaitu jarang sekali dapat mendidik pemimpin penerus, hingga pesantren yang semula besar dan masyhur, lama kelamaan menjadi pudar. Kesimpulan ini sebenarnya hanya didasarkan pada sebuah pandangan yang sempit, yaitu melihat kelangsungan pesantren hanya kepada kelangsungan individual masing-masing pesantren. Dari sudut pandang ini memang benar, sebagaimana terbukti dari sejarah berbagai pesantren, sangat jarang sekali pesantren dapat bertahan lebih dari satu abad.

Namun, para kiai ternyata menyadari sepenuhnya masalah ini. Seorang kiai selalu memikirkan kelangsungan hidup pesantrennya setelah beliau meninggal nanti. Hal inilah yang juga dipikirkan Mbah Kiai Syafa’at.  Saran yang  dilakukannya  yang paling  utama ialah usaha melestarikan tradisi pesantren dalam membangun solidaritas, kekerabatan, dan kerja sama sekuat-kuatnya antara sesama kiai. Adapun cara praktis yang beliau tempuh untuk membangun solidaritas, kekerabatan dan kerja sama tersebut ialah:

a)   Mengembangkan suatu tradisi bahwa putra tertua harus menjadi calon kuat pengganti kepemimpinan pesantren, sementara saudara-saudarnya ikut andil dalam membantu kakak sulungnya hal ini sudah dilakukan oleh keluarga besar pesantren Darussalam Blokagung. Putra pertama lah (KH. Ahmad Hisyam Syafaat) yang penjadi suksesor Mbah Kiai Syafa’at dalam meneruskan perjuangan di Banyuwangi, sedangkan saudara-saudaranya juga tidak lepas tangan begitu saja. Mereka kompak dalam membantu kakak sulungnya memperjuangkan eksistensi pesantren Blokagung, hingga menjadi sebuah pesantren paling berpengaruh dan terbesar di Banyuwangi.

b)       Mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan endogamous antara keluarga kiai untuk menjaga kelanggengan eksistensi pesantren Blokagung khususnya dan pesantren lain


umumnya, Mbah Kiai Syafa’at juga mengembangkan suatu jaringan aliansi perkawinan antar sesama kiai. Tujuannya, selain untuk mempererat  kekerabata sesama  kiai,  Mba Kia Syafaa juga menginginkan agar putra-putrinya  bisa  menjadi  penerus kedudukan mertuanya yang juga memiliki pesantren, atau juga bisa sebaliknya.

Dalam hal ini banyak putra-putri Mbah Kiai Syaafaat yang dikawinkan dalam perkawinan endogamous. Seperti KH. Ali Mahfudz Syafaat, Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Ceger Cipayung Jakarta Timur, beliau sebagai menantu dari KH. Abdur Rohim bin KH. Abdul Halim Bangsalsari Jember. Nyai Zubaidatul Khoiriyyah  Syafa’at  pun  menantu  dari  KH.  Arwani,  Pengasuh Pondok Pesantren Mamba’ul Falah, Kemiri, Singojuruh, Banyuwangi, dan lainnya.

Dengan cara ini, para kiai saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang intensitas tali-temalinya sangat kuat. Semakin masyhur kedudukan seorang kiai, semakin luas pula tali kekerabatannya dengan kiai-kiai yang lain. Tidaklah terlalu berlebihan untuk disimpulkan, bahwa kepemimpinan pesantren di Jawa telah menjadi hak yang agak “terbatas” bagi kelompok- kelompok kerabat tertentu, yaitu keluarga-keluarga kiai.

 

7.     Wafatnya Mbah Kiai Syafa’at

Ketika mengisi pengajian Ihya' Ulumiddin Juz 3 di masjid jami' Pesantren Darussalam Blokagung, al-marhum al-maghfurlah KH. Mukhtar   Syafa’at-Mbah   Kiai   Pangat-sempat   berhenti   sejenak seraya berkata, "pokok'e titenono, onok tahun seng teko ngarep angkane podo, teko mburi yo podo, nang iku tahun onok opo (pokok ingatlah, suatu saat ada tahun dengan angka yang depan dan belakangnya sama, nah pada tahun itu terjadi apa)”. Tidak banyak yang  tahu  kalau  Mbah  Kiai  Syafaat  sempat  berbicara  seperti  itu, meskipun sejatinya beliau mengatakan di depan ribuan santrinya. Menurut Kiai Naim, salah satu santri Blokagung tahun 60-an yang mendirikan pondok pesantren Raudlotus Salam Wuluhan Jember mengatakan, bahwa hanya ada 10 santri yang benar-benar


mendengar bahwa Mbah Kiai Syafa’at pernah ngendiko seperti itu. Satu di antaranya adalah Kiai Naim sendiri. Hal ini juga dibenarkan oleh Kiai Madhi, seorang santri yang dulu semasa mondok di Blokagung lebih sering mengabdikan dirinya  dengan  bersih-  bersih pondok. Kiai Naim menambahkan, kesepuluh santri yang dulu mendengar kata-kata itu ternyata sudah sukses membuat pesantren di daerahnya masing-masing.

Beberapa tahun setelah peristiwa itu, tepatnya pada tahun 1991 masehi, beliau ditimbali oleh Sang Kekasih. Rupanya, yang dimaksud dengan angka tahun yang depan dan akhirnya sama itu menandakan sebuah peristiwa, bahwa sosok ulama besar dan kharismatik di Blambangan (sekarang Banyuwangi) itu wafat dan berpulang ke rahmat Allah.75

 

v  Bumi Pun Berduka

Mbah Kiai Syafa’at menjabat Rais Syuriah PCNU Banyuwangi dan Ketua Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren (MMPP) hingga akhir hayatnya. Pada waktu menjelang sore, Kamis, 31 Januari 1991, seolah-olah telah menerima pesan dari langit akan  tiba waktunya menghadap, Mbah Kiai Syafa’at berziarah ke makam Istri pertamanya yang wafat terlebih dahulu, yakni Nyai  Hj. Maryam Syafa’at. Seiring dengan sampainya Mbah Kiai Syafa’at ke makam istrinya, beliau berkata kepada khadamnya, Bapak Khoiri, “kene iki isih sedeng siji engkas (di sini ini masih muat satu orang lagi)”, sambil menunjuk lahan kosong di samping makam Nyai Hj. Maryam   Syafa’at,   istri   pertamanya.   Bagi   orang-orang   yang memahami dunia metafisik itu disebut ziarah perpisahan, dan yang dikatakan Mbah Kiai Syafa’at kepada Bapak Khoiri sekan-akan merupakan indikasi atas kepulangan beliau untuk menghadap kehadirat Ilahi.

Indikasi akan kepulangan Mbah Kiai Syafaat untuk menghadap Sang Khalik juga dapat dirasakan oleh beberapa kiai, diantarnya KH. Imam Tambeh, pengasuh pondok pesantren Darussalam Kabatmantren Wringinputih Muncar yang waktu itu sowan bersama KH. Abdul Malik Luqoni, pengasuh pondok pesantren Minhajuth Thullab Sumber Beras Muncar. Menurut penuturannya, saat menemui Mbah Kiai Syafa’at di kediamannya di pesantren Blokagung beliau berkata kepada Kiai Malik, bahwa nanti kalau beliau telah tiada, maka yang akan menggantikannya untuk meneruskan membaca/ngaji kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din juz II di setiap pelaksanaan MMPP  Majelis Musyawarah Pengasuh Pesantren— se-Banyuwangi adalah panjenengan (sambil menunjuk kepada KH. Abdul Malik Luqoni).

Sehari kemudian, Jum’at, 01 Februari 1991 masehi, Mbah Kiai Syafa’at melaksanakan khotbah Jum’at tidak seperti biasanya. Beliau berkhotbah hingga 2 jam dan isinya mengupas panjang lebar tentang berbagai sendi-sendi  kehidupan.  Khotbah  tersebut  dikemas dalam untaian kata-kata hikmah serta wasiat-wasiat, dan tidak jarang beliau menangis dalam khotbahnya.

Banyak masyarakat yang mengatakan bahwa khotbah tersebut sangat berkesan di hati mustami’in jema’ah jumat. Karena khotbah yang dilakukan tidak seperti biasanya itu merupakan khotbah muwada’ah (perpisahan) Mbah Kiai Syafaat. Dalam melaksanakan khotbah ini, sebenarnya beliau sudah dalam keadaan sakit.

Jum’at malamnya, Mbah Kiai Syafa’at yang memang ketika shalat jum’at sudah merasakan sakit, telah ditunggu oleh Bapak Khoiri. Setelah larut malam, Bapak Khoiri yang sebelumnya sempat berbincang-bincang dengan Mbah Kiai Syafa’at pamit pulang. Namun Mbah Kiai Syafa’at tidak mengizinkan dan menyuruhnya menginap di kediamannya. Tentu saja Bapak Khoiri menolak secara halus, karena Mbah Kiai Syafa’at sedang sakit. beliau tidak mau mengganggu istirahat sang kiai, karena sedari tadi sudah diajak mengobrol tentang falsafah hidup.

Setelah Bapak Khoiri pulang dan merebahkan diri ditempat tidurnya, datang seorang santri Blokagung yang memberitahukan bahwa Mbah Kiai Syafa’at telah wafat.

Akhirnya, tepat pada hari sabtu, 17 Rajab 1411 H atau 02 Februari 1991 jam 02.00 WIB, Mbah Kiai Syafa’at wafat di kediamannya, Pondok Pesantren Darussalam Blokagung, Banyuwangi saat usianya mencapai 72 tahun.

Bumi waktu itu berduka karena perginya seorang ulama penuh kharismatik dan sangat berpengaruh, meninggalkan jutaan umat. Beliau dimakamkan di samping makam Istri pertamanya, Nyai Hj. Maryam Syafa’at sesuai dengan wasiatnya tatkala berziarah dua hari sebelum beliau wafat. Semenjak malam hingga siang puluhan ribu ulama, umara, habaib, dan masyarakat berbondong-bondong menyampaikan salam perpisahan kepada tokoh spiritual bangsa menuju peristirahatan terakhir. Menurut penuturan keluarga pesantren Blokagung, jenazah Mbah Kiai Syafa’at dishalati oleh penta’ziyah sampai 17 kali.

Sepanjang perjalanan dari rumah duka menuju pusara yang berjarak 100 meter sebelah utara pesantren Blokagung, puluhan ribu pasang mata tak kuat membendung butiran bening yang melinang di mata pengagum. Suara tahlil, tamjid, dan tasbih menggema sepanjang jalan yang terkadang diikuti teriakan histeris. Sepanjang jalan Blokagung macet total, dan puluhan kilometer kendaraan merayap mengiringi prosesi pemakaman. Suasana semakin histeris ketika keranda tidak mampu berjalan saat masuk kawasan pemakaman. Ratusan tim keamanan gabungan dari tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi, Banser, serta keamanan pesantren Blokagung yang memagar betis jenazah Mbah Kiai Syafa’at tidak mampu membendung desakan para penta’ziyah untuk berebut mendekat.

Demikian rasa cinta, rasa sangat kehilangan, dan rasa memiliki kepada Mbah Kiai Syafa’at, sosok yang memiliki daya tarik yang luar biasa. Santunnya, teduhnya, dan senyuman khasnya tidak akan terbasuh oleh waktu dan zaman. Sungguh besar jasa beliau dalam usaha berjuang di jalan Allah, menegakkan kalimat Allah selama kurang lebih 72 tahun. Eksistensi Pondok Pesantren Darussalam Blokagung yang tetap pasang sampai saat ini merupakan bukti  nyata hasil perjuangan Mbah Kiai Syafa’at atas ridlo Allah Swt. yang tiada ternilai harganya. Putra-putri beliau, setelah melalui pendidikan ekstra ketat dan penanaman ilmu, iman  dan  takwa,  serta akhlakul karimah, telah mampu meneruskan tongkat estafet


perjuangan ayahandanya yang memang telah dipersiapkan jauh- jauh hari sebelumnya. Ini juga menunjukkan bahwa Mbah Kiai Syafa’at adalah sosok figur yang visioner, yang mampu memotret jauh ke masa depan.

Untuk mengenang sosok yang amat sangat berpengaruh ini, maka para masyayikh dan para Kiai yang ada di Banyuwangi mendirikan sebuah istighosah yang diberinya nama “Dizkru as- Syafaah”. Konon istighosah ini yang terbesar kedua setelah Dzikrul Ghofilin yang ada di bumi Banyuwangi.

Selamat jalan Mbah Kiai Syafa’at, selamat jalan guru besar, selamat jalan maha guru, selamat jalan tokoh spiritual bangsa, selamat jalan kiai sufi penganut Imam al-Ghazali, selamat bertemu kekasihmu, Rasulullah Muhammad Saw.

 

8.     Warisan dan Peninggalan Mbah Kiai Syafa’at

Banyak dari beberapa kalangan menilai dan mempersepsikan, atau bahkan mendeskripsikan, bahwa popularitas seorang tokoh besar itu dinilai dari seberapa banyak karya tulis yang beliau karang. Akan tetapi, bagaimana dengan Mbah Kiai Syafa’at yang tidak memiliki tulisan monumental, baik artikel di koran, buku, maupun karangan berupa kitab?

Oleh karenanya, ukuran seseorang disebut tokoh besar  bukanlah terletak pada buku karyanya. Begitu juga dengan ketokohan Mbah Kiai Syafaat, karena memang boleh dikatakan Mbah Kiai Syafa’at tidak meninggalkan sebuah karangan apapun selain ribuan ijazah, namun lebih kepada buah pikiran dan kemampuan ilmunya yang diuraikan di mana-mana dalam banyak kesempatan dan peristiwa.

Gagasan, ide, dan buah pikiran Mbah Kiai Syafa’at tersebut lebih diejawantahkan dan dikembangbiakkan serta merta di luar kepala dan tidak sempat di bukukan. Beliau tidak pernah menyediakan seorang sekretaris pun untuk mendampingi hari-hari sibuknya dalam memperjuangkan masa depan Islam Indonesia.

Mungkin bagi kalangan intelektual  murni  atau  pakar sejarawan yang suka mengkaji dan menganalisa dari teks ke teks saja, hal ini amat sangat disayangkan. Karena tidak selamanya


pemikiran-pemikiran seorang ulama besar diejawantahkan lewat goresan pena, termasuk dalam hal ini adalah Mbah Kiai Syafa’at sendiri. Hal ini bisa jadi karena yang bersangkutan tidak bersedia menuliskan buah pikirannya disebabkan ketawadu’annya, atau memang karena keterbatasan waktu disebabkan kesibukan mengurus pesantren dan masyarakat sekitar.

Namun, menjadi sebuah keniscayaan bagi  generasi  selanjutnya, untuk menuliskan tentang buah pikiran Mbah Kiai Syafa’at sebagai bentuk penghormatan, apresiasi atas karya (cipta), rasa, dan karsa beliau yang belum sempat dikodifikasikan.

Menurut penuturan Ali Mutohhar sebagai salah seorang santri langsung Mbah Kiai Syafa’at, mengatakan bahwa beliau sejatinya lebih menyukai karyanya di atas tanah berupa perjuangan di berbagai organisasi. Hal itu terutama di NU dan pembentukan demokrasi di Indonesia pada masa Soekarno, yang menjadi transisi menuju awal pemerintahan Orde Baru Soeharto, ketimbang tulisan di atas kertas. Tentunya, kita harus menghormati hal tersebut. Karena bagaimana pun juga perjuangan Mbah Kiai Syafa’at Syafa’at adalah karya yang tak kalah pentingnya dengan karya tulis.76

Menurut penuturan Nur Hadi, beliau merupakan seorang kiai yang tidak hanya mempunyai kemampuan yang mendalam dalam hal-hal keagamaan, tetapi juga mempunyai keahlian dalam bidang- bidang lain. Misalnya tentang pertukangan, pertanian, peternakan, persawahan, dan persoalan-persoalan kemasyarakatan lainnya. Pernah suatu ketika ada masyarakat yang bertanya tentang ilmu pertanian, bagaimana cara menanam padi yang baik, beliau menjelaskan dan cocok.77

 

 

 

 



 

 

 

 

 




BAGIAN II

MBAH KIAI SYAFA’AT, IMAM AL-GHAZALI-NYA TANAH JAWA

 


 
tidak terlalu berlebihan, jika penyematan nama “Imam Al-Ghazali-nya Tanah Jawa dan atau titisan Imam Al- Ghazali”, menancap pada diri Mbah Kiai Syafaat. Pasalnya, beliau sangat mengikuti dan berpegang teguh dalam mengamalkan ajaran tasawwuf, utamanya yang di ajarkan hujjatul Islam Syaikh Imam Al-Ghazali yang tertera dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn dan Fâtihatul ‘Ulûm. Dalam hal karya, memang Mbah Kiai Syafa’at tidak memiliki karya sebanyak Imam Al-Ghazali karena memang Mbah Kiai Syafaat Concern pada tasawuf ‘amaly dari pada tasawuf nadzhary yang bisa memproduksi banyak karya. Namun demikian, hal ini lantas bukan berarti bertasawuf secara teoritik lebih utama dari pada bertasawuf secara praktis jika mengacu pada maqolah “Al-Tharîqah afdhalu min al-Mâddah”.

Ihwal berpegang teguh pada ajaran agama Islam, Rasulullah pernah mensinyalir dalam sebuah hadistnya, “akan datang suatu masa di mana orang yang berpegang teguh pada agama itu seperti orang yang memegang bara api.”. Dapat kita bayangkan keadaan orang yang sedang memegang bara api, yang jelas bara api jika di pegang terasa panas, tapi jika dibiarkan begitu saja pasti ia akan padam. Sepertinya masa yang Nabi Muhammad katakan itu sudah  tiba, yaitu saat ini. Di tambah lagi, kecanggihan teknologi yang tidak terbendung dan kemudahan mendapatkan informasi hampir dapat


dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Namun di balik itu semua, terdapat bahaya yang sangat besar jika kita tidak dapat menfilternya dengan berbekal dasar agama yang baik. Mungkin ini yang menjadi bukti, bahwa berpegang teguh pada ajaran agama sangatlah sulit dan besar cobaannya.

Mbah Kiai Syafa’at memperkenalkan konsep berpegang teguh pada ilmu pengetahuan kepada para santrinya, baik dalam  kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dînmaupun Fâtihatul ‘Ulûm, dengan mengutarakan sebuah ayat. Satu diantarnya adalah: Innama yakhsya allah min ‘ibadihi al-‘Ulama’. Di dalam bahasa Arab, huruf inna merupakan harfu al-ta’kid, yang berarti huruf yang berfungsi untuk penekanan (stressing point). Jadi jika ada kalimat berita yang mendapatkan imbuhan inna, itu berarti ada sesuatu yang amat penting yang Allah akan informasikan kepada kita. Ayat ini berarti, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah swt., diantara hamba-Ku adalah al-‘Ulama’.”

Perhatikan ayat yang digunakan Allah, misalnya pada kata “yakhsya”. Di dalam bahasa Arab, ada beberapa kata yang mirip dengan kata “yakhsya”, yaitu “khasya” dan “khafa” yang berarti takut. Apa perbedaan antara “khasya” dengan “khafa”? Kata “khasya” bermakna takut bercampur dengan rasa cinta, sedangkan “khafa” berarti takut terhadap sesuatu yang bisa  mencelakakan  badan,  karir, anggota keluarga, dan yang ditakuti itu adalah  makhluk  Allah. Misalnya, kita takut terhadap harimau, terhadap  banjir,  angin topan, maka menggunakan kata “khafa”. Akan tetapi, jika takut kepada Allah swt., digunakan kata khasya”.

Rupanya konsep Ilmu pengetahuan yang Mbah Kiai Syafa’at sarikan dalam diri Imam Al-Ghazali ini, baik yang terakomodir dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dînmaupun Fâtihatul ‘Ulûm, telah beliaupraktikan secara total. Dengan kata lain, konsep landasan berfikir, landasan bersikap, dan landasan bertindak Mbah Kiai Syafa’at banyak dipengaruhi oleh aksentuasi dan pemikiran Imam Al-Ghazali.

 

1.      Pengejawantahan Kitab “Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn”

Diantara salah satu tokoh tasawuf Islam yang sangat terkenal ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al- Thusi, atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali.


Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya yang terkenal Ihya’ ‘Ulum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf, yang sempat mengalami clash atau perselisihan pada zaman itu.

Perselisihannya terletak pada pemikiran filsafat Imam al- Ghazali yang yang dianggap rasionalis waktu itu. Akan tetapi,  dalam penghayannya, jalur sufi dan dinilai yang paling meyakinkan dan karya-karyanya tidak keluar dari jalan (sunnah) syariat Islam yang lebih arif, sehingga dapat diterima di kalangan pesantren.78 Terutama kita yang paling tersohor Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn di dunia Islam termasuk di Nusantara.

Belum pernah diketahui secara pasti, kapan kitab Ihya’ U’lum al-Din pertama kali masuk masuk ke Nusantara. Jika diasumsikan dibawa oleh para wali songo, maka kitab tersebut telah diajarkan di Nusantara mulai abad 14 masehi. Tapi jika diasumsikan bahwa  kitab tersebut masuk bersamaan dengan periode kitab-kitab karangan Imam Nawawi Banten, maka kitab Ihya’ U’lum al-Din baru masuk ke Nusantara pada akhir abad 19 masehi. Sedang jika diasumsikan pada perspektif madzhab, di mana kaum muslim Indonesia mayoritas bermadzhab Syafi’i, maka kitab  tersebut masuk ke Nusantara lebih belakangan lagi.

Namun terlepas dari itu semua, kenyataan yang ada hingga sekarang, Ihya’ ‘Ulum al-Din sangat populer di setiap pesantren, baik pesantren bercorak salaf maupun modern, karena banyak kandungan dan pesan-pesan moral, etika, pendidikan, dan tasawuf.79 Hal ini yang diberlakukan pula sejak awal berdirinya pesantren Blokagung oleh Mbah Kiai Syafaat, hingga berganti kepemimpinan sampai  sekarang.  Bahkan,  seakan  kitab  tersebut menjadi buku wajib bagi setiap santri. Sedangkan jika dibandingkan dengan madrasah luar pesantren, apalagi di sekolah- sekolah negeri, kitab tersebut tidak pernah dikenal. Bahkan baru  sebagian kecil yang mulai mengenalnya, semenjak diterjemahkan hingga berjilid-jilid ke dalam bahasa Indonesia.

Hipotesa tersebut diperkuat dengan kenyataan adanya perbedaan sikap moral keilmuan yang dimiliki oleh para alumni pesantren dengan alumni sekolah-sekolah non pesantren. Keilmuan alumni pesantren sarat dengan nilai moral-spiritual, sebagaimana yang diajarkan dalam Ihya’ U’lum al-Din. Sementara nilai moral-spiritual yang non pesantren relatif kecil, atau bahkan hampa  dari  nilai-nilai  tersebut.  Mbah  Kiai  Syafa’at  tidak  saja mengajarkan kitab Ihya’ U’lum al-Din terhadap ribuan santri dan masyarakat sekitar, namun lebih kepada menunjukkan aplikasi konkret dari ruh kitab tersebut. Sehingga tidak terlalu berlebihan, jika masyarakat dan para santri menyebut Mbah Kiai Syafa’at sebagai kitab hidup Ihya’ U’lum al-Din.

Suatu ketika, ada seorang tua yang bertamu di kediaman Mbah Kiai Syafaat. Seperti biasa, sebelum berbincang-bincang beliau terlebih dahulu menjamu tamunya dengan beberapa  hidangan. Sudah menjadi ciri khas Mbah Kiai Syafaat, beliau selalu menjamu tamunya walaupun dengan makanan seadanya. Hal ini menjadi kebiasaan turun-temurun yang tetap tertancap  dari  keluarga Blokagung, sampai estafet dipegang oleh putra pertamanya, Gus Hisyam. Tidak hanya dari keluarga,  para  santrinya pun mempraktekkan amalan kebaikan ini. Hal ini bukan tanpa dasar. Semua praktek amalan yang dilakukan Mbah Kiai Syafa’at ialah pengejawantahan sari kitab Ihya’ U’lum al-Din.

Setelah menjamu tamunya di meja makan, Mbah Kiai Syafa’at mempersilahkan tamunya kembali ke ruang tamu. Saat ditanya maksud kedatangannya, sang tua ingin melaksanakan ibadah haji, namun tidak memiliki uang sama sekali untuk pemberangkatan haji. Setelah suasana sempat sunyi dengan disertai putaran tasbih ditangan Mbah Kiai Syafaat, datanglah seorang pemuda bernama Tarom. Setelah mempersilahkan masuk dan menjamunya dengan hidangan makanan, Tarom mengutarakan maksud kedatangannya tersebut, “ngapunten Mbah Kiai, Alhamdulillah hasil pertanian saya sangat bagus. Saya menuai banyak hasil dari panen kali ini. Sudah lama saya menabung uang dari hasil kerja saya untuk digunakan melaksanakan ibadah haji, mengunjungi rumah Allah. Saya minta doa Mbah Yai, semoga perjalanan menuju baitullah nanti bisa


berjalan lancar.”, terang Tarom dengan wajah bersinar-sinar. “Alhamdulillah, semoga panen berikut-berikutnya selalu diberi hasil yang baik, Rom.”, begitulah do’a mbah Kiai.

Mbah Kiai Syafa’at melanjutkan, “Begini Rom, sampean kan masih muda, masih ada banyak waktu untuk melaksanakan ibadah haji tahun-tahun berikutnya. Sampean juga tidak terlalu membutuhkan haji ini. Ini di samping sampean ada seorang  tua yang ingin sekali melaksanakan ibadah haji, ingin melihat rumah Allah, namun ia tidak ada sangu untuk berangkat kesana.  Wes  Rom, jatah haji sampean sudah diatur Gusti Allah. Sampean kasihkan jatah haji sampean sekarang ke mbah samping sampean. Beliau yang lebih membutuhkan dari pada sampean,”. Kontan saja Tarom kaget dengan dawuh seorang tokoh yang disegani dan disantuni karena kealimannya tersebut. Namun akhirnya Tarom mengikhlaskan jatah berangkat haji untuk diserahkan kepada tamu tua yang ingin berangkat haji tersebut.

Setelah tamu tua tadi pamit pulang, Tarom disuruh mendekat dan diceritakan beberapa hal. Diantarnya tentang salah satu hadits yang beliau kutip dari Ihya’ U’lum al-Din, “Kedermawanan adalah salah satu pohon surga yang ranting-rantingnya menjulur ke bumi. Barang siapa meraih salah satu rantingnya, maka ranting itu memimpinnya ke surga, sedangkan kekikiran adalah salah satu pohon di neraka. Barang siapa yang kikir, dia meraih salah satu rantingnya, dan ranting itu tidak akan meninggalkannya sebelum memasukkannya ke dalam neraka.

“Wes toh, sampean dapat jatah haji, tapi ndak sekarang, bersabar wae”, pinta Mbah Kiai Syafa’at. “Enggeh Mbah Kiai, enggeh mpun saya pamit pulang dulu”, jawab Tarom.

Setelah beberapa tahun dari peristiwa itu, Pak Tarom yang kini usianya sudah tua –mungkin setua orang yang waktu itu melaksanakan haji dengan uang pak Tarom— ,diberangkatkan haji oleh orang lain. Disinyalir ini yang dimaksud Mbah Kiai Syafa’at, bahwa jatah haji Pak Tarom sudah ada, namun tidak ketika ia masih muda.80 Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada  Tuhannya untuk mencapai mahabbah memang berbeda-beda. Termasuk konsep pengenalan yang dipraktekkan mbah Kiai Syafa’at dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ma’rifat pun, Mbah Kiai Syafaat tetap menisbatkan diri pada kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din sebagai pegangan dalam bertasawuf, yakni pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.

 

2.      Pengejawantahan kitab “Fâtihatul Ulûm”

Pandangan al-Ghazali tentang ilmu pengetahuan ialah bagian yang tak terpisahkan dari konsep ilmu pengetahuan yang selama ini dianut oleh Mbah Kiai Syafaat. Cara pandang Mbah Kiai Syafa’at itu terdapat dalam karya monumental al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din dan Fatihatul ‘Ulum. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di negeri ini tidak hanya menjadikan Ihya’ ‘Ulum al-Din dan Fatihatul ‘Ulum sebagai bacaan utama, tetapi telah diejawantahkan dalam bentuk pengalaman yang lebih konkret. Demikian halnya dengan sosok Mbah Kiai Syafaat, beliau telah mampu menempatkan posisi ilmu pengetahuan dan orang-orang alim (ulama) sedemikian ideal. Sehingga sepanjang sejarah di negeri ini, pesantren adalah lembaga pendidikan yang independen, bahkan kerap kali menempati posisi yang berhadapan dengan penguasa zalim.

Watak kemandirian dan independensi Mbah Kiai Syafa’at yang diaplikasikan pada pesantren Blokagung, sesungguhnya dijiwai dari filsafat ilmu yang dikembangkan oleh al-Ghazali. Dalam kitab Fatihatul ‘Ulum, al-Ghazali memetakan dua kelompok ulama, yaitu ulama akhirat dan ulama dunia. Salah satu karakteristik ulama akhirat dalam pandangan al-Ghazali ialah sosok yang memiliki kemandirian dan independensi. Sehingga dalam bersikap maupun berpandangan sama sekali tidak ada tendensi dan pamrih duniawi sedikitpun. Demikian pula yang telah diterapkan oleh Mbah Kiai Syafaat, beliau betul-betul tulus dan bersih dari pamrih-pamrih duniawi dalam mengelola dan mengembangkan lembaga pendidikan yang sangat merakyat ini. Bahkan, seringkali Mbah Kiai


Syafa’at dan pesantren Blokagung harus berhadapan secara diametral dengan para penguasa anti rakyat dalam memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Prinsip inilah yang membuat pesantren Blokagung memiliki ketahanan yang luar biasa, sehingga tetap eksis sampai sekarang.

Beberapa hal yang harus digaris bawahi, kitab Fatihatul ‘Ulum karya Imam al-Ghazali dewasa ini memang belum diketemukan dalam proses pembelajaran kitab muqorror Pesantren Blokagung, namun penulis berkeyakinan hingga sampai pada premis akhir menyimpulkan bahwa kitab yang dibaca dan diaplikasikan oleh mbah Kiai Syafa’at tidak hanya kitab Ihya’ ‘ulum al-Din sebagaimana yang dipelajari oleh santri hingga kini, hal ini dilandaskan pada pemikiran-pemikiran filosofis mbah kiai Syafa’at tentang pedidikan lebih kuat diketemukan dalam kitab Fatihatul ‘Ulum.81

Pesantren Blokagung yang telah berurat akar di negeri ini memiliki pandangan mendasar, bahwa mencari ilmu maupun mengajarkannya adalah ibadah. Sehingga, proses yang didahului oleh seseorang pencari ilmu juga hendaknya bebas dari pamrih- pamrih duniawi. Dalam kitab Fatihatul ‘Ulum, al-Ghazali telah memperingatkan akan bahaya mencari ilmu bukan karena Allah. Konsep inilah yang dijadikan pegangan hidup Mbah Kiai Syafa’at dan diejawantahkan dalam pesantren Blokagung. Sehingga membuat pesantren ini menjadi lembaga pendidikan yang bermasyarakat, karena dapat diakses oleh siapapun. Di tengah arus globalisasi, di mana dunia pendidikan ikut menjadi bagian dari usaha bisnis dan komersialisasi, model pendidikan pesantren telah menjadi benteng. Kendatipun sistem pendidikan model pesantren telah diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan modern yang dikelola secara profesional, ciri khas mendasar dari pondok pesantren yang merakyat dan dapat diakses oleh semua lapisan harus dapat dipertahankan.

Pola pikir Mbah Kiai Syafa’at yang banyak dipengaruhi oleh karya-karya Imam al-Ghazali juga sangat terlihat dan dapat dipahami dalam sebuah diskusi antara beliau dengan Zamakhsyari Dhofier, Rektor Universitas Sains Al-Qur’an Wonosobo Jawa  Tengah.  Diskusi  itu  membahas  tentang  “kuliah  bersama”  antara santri laki-laki dan wanita dalam satu lingkungan pesantren, yang akhir-akhir ini semakin luas berkembang. Dalam diskusi tersebut, Zamakhsyari  menyuguhkan  sebuah  pertanyaan  tentang  dampak dan   risiko   yang   cukup   serius   bagi   pesantren,   jika   peroses pembelajaran mahasantri (santri yang sudah menjadi mahasiswa) dijadikan dalam satu kelas. Mbah Kiai Syafa’at menjelaskan dengan bahasa   semiotik   bahwa   :   “Para   kiai   itu   sebenarnya   dapat diumpamaka denga pendiri  rumah.  Dalam  usaha  mendirikan rumah,  banyak  risiko  yang  harus  dihadapi,  antara  lain  satu  dua genteng  jatuh  dan  pecah.  Kalau  meman tida mau  menghadapi risiko, ya sebaiknya tidak usah mendirikan rumah saja”.82

Satu hal lain yang dapat disimpulkan dari diskusi tersebut, bahwa sebagai arsitek kemasyarakatan (social engineer), rupanya Mbah Kiai Syafa’at sangat memperhatikan “selera” masyarakat. Rupanya karena “rahasia” inilah beliau mampu bertahan untuk mengembangkan lembaga-lembaga pesantren untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.

Demikian sekilas tentang landasan berfikir, bersikap, dan bertindak    sosok    Mbah    Kiai    Syafaat    terhadap    epistemologi pesantren dan konsep pengembangan ilmu di  dunia  Pesantren,  yang sedikit-banyak dipengaruhi oleh konsep al-Ghazali dalam karya Monumentalnya Fatihatul’Ulum. Sehingga, tidak heran jika Pondok Pesantren Darussalam Blokagung ini menjadi salah satu pondok salaf terbesar di Banyuwangi, dengan tidak ketinggalan  pula pelajaran-pelajaran umumnya.

 

3.         Amalan-amalan yang masih diamalkan para Santri

Kali ini, penulis akan membahas amalan-amalan Mbah Kiai Syafa’at yang senantiasa dipegang oleh para santri dan alumninya. Amalan yang dimaksud dalam tulisan ini ialah amalan jariyah yang banyak didasarkan dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîndan kitab-kitab lain sebagai penopangnya.

Amal Jariyah adalah sebutan bagi amalan yang terus mengalir pahalanya, walaupun orang yang melakukan amalan tersebut sudah wafat. Amalan tersebut terus memproduksi pahala yang terus mengalir kepadanya.

Hadits tentang amal jariyah yang populer dari Abu Hurairah, menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak Adam (manusia) wafat, maka terputuslah semua (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim).

Selain dari ketiga jenis perbuatan di atas, ada lagi beberapa macam perbuatan yang tergolong dalam amal jariah yang diajarkan oleh Mbah Kiai Syafa’at kepada para santri dan putra-putrinya, di antaranya seperti :

 

a.       Pengamalan Ilmu

Mbah Kiai Syafa’at selalu menasehatkan kepada para santri dan putra-putrinya, “Amalkanlah Ilmu!”. Ilmu bukan sekedar untuk menambah wacana, untuk berbangga diri, atau supaya disebut pintar berdebat. Siapa yang tidak mengamalkan ilmu, maka sia- sialah ilmunya bagai pohon yang tidak berbuah. Secara lebih gamblang, Mbah Kiai Syafa’at memumpamakan orang yang memiliki ilmu lantas tidak diamalkan seperti seorang dokter yang memiliki obat namun ia tidak berobat dengannya.

Dalam setiap pengajian Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn yang dilaksanakan di masjid Jami’ pesantren Blokagung, Mbah Kiai Syafa’at selalu menegaskan akan pentingnya suatu pengamalan  ilmu.  Sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Kiai Na’im saat mengikuti sorogan kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, saat itu disela-sela mengaji Mbah Kiai Syafa’at menasihati para santri,"Wahai anak- anakku, namanya ilmu itu mesti diamalkan. Jika kalian tidak bisa mengamalkan seluruhnya, amalkanlah 5 dari setiap 200 (ilmu) seperti halnya hitungan dalam zakat dirham -perak- (yaitu  1/40  atau 2,5%).”

Mbah Kiai Syafa’at pun menambahkan, bahwa masuk dalam amalan hendaklah diawali dengan ilmu. Lalu terus mengamalkan ilmu tersebut dengan bersabar. Kemudian pasrah dalam berilmu dengan ikhlas. Siapa yang tidak memasuki amal dengan ilmu, maka ia jahil (bodoh).


Malik bin Dinar berkata,

"Barangsiapa yang mencari ilmu (agama) untuk diamalkan, maka Allah akan terus memberi taufik padanya. Sedangkan barang siapa yang mencari ilmu, bukan untuk diamalkan, maka ilmu itu hanya sebagai kebanggaan (kesombongan)" (Hilyatul Auliya', 2: 378).

 

Dalam perkataan lainnya, Malik bin Dinar berkata,

"Jika seorang hamba mempelajari suatu ilmu dengan tujuan untuk diamalkan, maka ilmu itu akan membuatnya semakin merunduk. Namun jika seseorang mempelajari ilmu bukan untuk diamalkan, maka itu hanya akan membuatnya semakin sombong (berbangga diri)." (Hilyatul Auliya', 2: 372).

 

b.       Mewariskan Mushaf (buku agama), Amalan-amalan Dizikir atau Alat-alat lain yang dapat dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kebaikan diri dan Masyarakatnya

Dalam kisah perjuangan menegakkan panji-panji Islam di Banyuwangi, Mbah Kiai Syafa’at sangat dermawan tidak hanya dalam bentuk pangan. Beliau juga sering memberi peralatan yang dapat digunakan dalam beribadah kepada Allah. Pernah suatu ketika, ada kawan lama yang dulu pernah sama-sama mengaji di Njalen menawarkan kepada mbah Kiai Syafa’at untuk menjualkan sarung. Mengingat pada waktu itu santri-santri Mbah Kiai Syafa’at sudah lumayan banyak, sehingga kawan lamanya bermaksud agar Mbah Kiai Syafa’at mengajar sekaligus menjual sarung-sarung tersebut kepada para santrinya. Mbah Kiai Syafa’at memang menerima sarung-sarung tersebut untuk dijual ulang. Akan tetapi,


seiring dengan banyaknya tamu yang sowan kepada beliau, beliau selalu memberi sangu berupa sarung saat tamu-tamunya pamit pulang. Tanpa beliau sadari, sarung-sarung yang diberikan kepada para tamunya telah habis. Padahal sebenarnya sarung itu untuk dijual kepada para santri-santrinya. Ketika kawan lamanya mendatangi Mbah Kiai Syafa’at untuk menanyakan hasil penjualan sarung, beliau tanpa pikir panjang membuka tabungan pribadinya untuk disetor kepada teman lamanya. Hal itu dilakukan tanpa memberi tahu kalau sarungnya habis bukan karena dijual, melainkan diberikan kepada para tamunya.

 

c.        Membangun Masjid/Mushalla

Mbah Kiai Syafa’at memerintahkan kepada para santrinya agar dalam setiap tempat, dimana umat Islam berkumpul atau bertempat tinggal, hendaklah membangun bangunan khusus yang di sebut Masjid/musholla. Bahkan di tempat tinggal seperti rumah yang cukup besar, juga diperintahkan agar menyediakan ruangan khusus untuk shalat dan sujud. Masjid yang dimaksud oleh Mbah Kiai Syafa’at tidak hanya masjid dalam arti sempit—tempat sholat berukuran besar dan luas—,namun masjid dalam arti luas, seperti tempat khusus yang digunakan untuk beribadah. Banyak hadits- hadits Rasul yang memerintahkan kepada umat Islam untuk membangun Masjid/mushalla, yang dapat disimpulkan bahwa Rumah yang paling dicintai Allah adalah Rumah yang di dalamnya terdapat ruangan khusus untuk shalat dan sujud. Sedang daerah yang paling dicintai Allah adalah daerah yang memiliki Masjid.

Dalam sebuah hadits, Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam: Dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagian negeri yang paling Allah cintai adalah masjid-masjidnya, dan bagian negeri yang paling Allah benci adalah pasar-pasarnya.” (HR.Muslim).

Salah satu ciri dari masyarakat Islam atau suatu daerah Islam adalah terdapatnya bangunan Masjid. Adalah suatu kelalaian, apabila di suatu tempat yang dihuni mayoritas umat Islam tidak terdapat bangunan Masjid. Apabila dalam suatu wilayah umat Islam tidak ada Masjid, atau apabila mengetahui bahwa di suatu daerah yang dihuni umat Islam belum dibangun Masjid, maka


wajib bagi kaum muslimin saling bahu membahu untuk mendirikan Masjid. Setiap hartawan dan pemimpin yang beragama Islam, berkewajiban untuk berusaha membangun Masjid di setiap tempat umat Islam sering berkumpul, baik itu di pasar, terminal, sekolah, kantor, dan lainnya. Membangun Masjid termasuk jihad fi sabilillah yang berpahala besar, yang merupakan investasi amal yang akan mengalir pahalanya terus menerus bagi yang membangunnya, walaupun mereka sudah meninggal dunia.

Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW, ”Barangsiapa yang membangun sebuah masjid karena Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

d.       Mendirikan pesantren

Meskipun secara eksplisit Mbah Kiai Syafa’at tidak mewajibkan para santri yang sudah boyong untuk mendirikan pesantren, namun beliau memerintahkan para santrinya untuk mengamalkan ilmu  yang sudah didapat dari hasil belajar ilmu agama di Blokagung. Setidaknya, para santri Blokagung yang sudah menjadi alumni mampu dan mau mengajarkan kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn kepada masyarakat sekitar. Namun jika kita telaah secara implisit, sebenarnya Mbah Kiai Syafa’at juga memerintahkan para santrinya untuk mendirikan gubuk kecil (baca : pesantren) untuk digunakan ta’lim  ilmu  agama,  khususnya  kitab  Ihyâ’  Ulûm  al-Dîn Karena pendirian pondok pesantren itu tidak tiba-tiba langsung berbentuk pesantren dengan beragam fasilitas, kecuali jika memiliki leluhur yang mengasuh pondok pesantren. Mbah Kiai Syafa’at menginginkan seperti dirinya saat mengawali perjuangan dengan mengajar ngaji. Lambat laun yang ingin mengaji kepada beliau semakin banyak, sehingga masyarakat sekitar berinisiatif mendirikan sebuah gubuk yang khusus digunakan untuk belajar mengajar ilmu agama, yang dalam terminologi populer disebut pesantren.83

e.       Memuliakan Setiap Tamu yang Datang

Memuliakan tamu memang anjuran dalam Islam, namun tidak semua orang bersedia total dalam memuliakan para tamunya seperti mengeluarkan harta bendanya untuk para tamu dan lain- lain, inilah yang menjadi ciri khas Mbah Kiai Syafa’at. Rupanya karakter berjiwa sosial yang tinggi ini diserap dan diteladani betul oleh keluarga dan para santrinya. Salah satu rumus mbah Kiai Syafa’at dalam menyambut para tamunya – baik tamu dari kalangan pejabat perintahan ataupun warga kampung biasa—ia selalu menghidangkan makanan sebelum melanjutkan pembicaraan dengan tamunya, prinsip mua’malah yang demikian ini tentunya aplikasi dan pengejewantahan dari kajian ilmu agama yang beliau pelajari, khususnya dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn.

Dalam kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîndi jelaskan sebagai berikut :

Artinya : Rasulullah saw bersabda sesungguhnya di surga ada istana yang bagian luarnya bisa dilihat dari dalam dan bagian dalam terlihat dari luar, istana itu diperuntukkan bagi orang-orang yang memperhalus ucapannya, menyuguhkan makanan dan untuk orang-orang yang sholat di tengah malam sedangkan manusia

sedang tidur.84

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

BAGIAN III

MBAH KIAI SYAFA’AT; SPIRITUALIS, SOSIALIS, DAN KHARIQUL ‘ADAH

 

S

 
semasa hidupnya, Mbah Kiai Syafa’at tidak saja mementingkan ibadah kepada Tuhan saja (baca: hablum minallah), namun beliau menempatkan dirinya secara proporsional, yakni bergaul pula dengan masyarakat sekitar (baca: hablum minan naas). Pada

bagian inilah, hal itu akan penulis paparkan.

Mbah Kiai Syafa’at bukanlah seseorang yang hanya menghabiskan waktunya berkhalwat untuk beribadah kepada Allah sepanjang hari. Akan tetapi, beliau juga gemar bermasyarakat. Sebagai contoh, jika tiba waktunya bagi beliau untuk jaga ronda, maka Mbah Kiai Syafa’at akan jaga ronda. Meskipun beliau adalah pemangku pondok pesantren, jikalau beliau tidak bisa jaga ronda disebabkan banyak tamu di kediamannya,  beliau  tetap mengirimkan kopi dan makanan untuk penjaga ronda yang lain. Mbah Kiai Syafa’at secara langsung membawanya ke pos ronda, sambil mengutarakan adanya halangan untuk  berbaur  menjaga  roda atau telat hadir dengan disertai alasan-alasannya.85

Selain mengangkat sosok Mbah Kiai Syafa’at yang proporsional dalam menjalin hubungan dengan Allah dan sesama manusia (hablum minallah wa hablum minan naas), bagian ini juga



menceritakan fenomena karomah yang ada dalam diri Mbah Kiai Syafa’at sebagai seorang kiai. Karomah sendiri adalah sesuatu yang luar biasa (Khariqul ‘adah), yang tidak dibarengi atau didahului dengan klaim kenabian. Karomah terjadi pada seseorang yang jelas- jelas saleh, mengikuti tradisi Rasulullah dan syariatnya, serta memiliki akidah yang lurus.86

Dengan mengangkat sosok Mbah Kiai Syafa’at yang spiritualis, sosialis, dan kiai bertabur karomah dalam bab ini, setidaknya ada dua manfaat yang diharapkan untuk dijadikan telaah dan teladan. Pertama, bagi para kiai masa kini, para santri, para alumni, serta khalayak secara umum, kisah-kisah beliau dapat dijadikan cermin. Cermin yang dimaksud ialah sejauh mana mereka mendalami, menelaah, serta meneladani sosok kiai kharismatik ini. Karna di sisi lain, saat ini “institusi” yang bernama kiai tampaknya tengah dirundung guncangan kewibawaan yang cukup serius. Baik guncangnya kewibawaan itu terjadi karena ramainya para kiai yang menceburkan diri ke gelanggang politik praktis, maupun karena semakin lunturnya nilai-nilai tradisional masyarakat akibat gempuran dahsyat globalisasi dan westernisasi. Kedua, kisah-kisah yang menceritakan sosok kiai yang spiritualis, soasialis, dan bertabur karomah seperti Mbah Kiai Syafaat, diharapkan dapat menggugah kembali kesadaran masyarakat luas dari gebyar dunia matrealistis. Dapat menggugah kesadaran masyarakat dari persepsi dunia yang pragmatis menilai semua hal dari sisi ragawi, bendawi, dan kulit luarnya, serta dari paham-paham yang tekstualis dan legal formal, yang lebih sering menafikan esensi dari isi.

 

1.        Keteladanan Shalat Berjamaah

Keteladanan merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku yang relatif menetap dan bersifat otomatis, melalui proses pembelajaran yang berulang-ulang. Sedang shalat berjamaah merupakan syi'ar islam yang sangat agung. Menyerupai shafnya malaikat ketika mereka beribadah dan ibarat pasukan dalam suatu peperangan. Ia merupakan sebab terjalinnya saling mencintai sesama muslim, saling mengenal, saling mengasihi, saling menyayangi, serta menampakkan kekuatan dan kesatuan.

Hampir selama hidupnya, Mbah Kiai Syafa’at tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah. Bahkan dalam keadaan banyak tamu sekalipun, beliau bersama  para  santrinya  melaksanakan sholat dengan berjamaah. “Sopo wonge seng pengen bahagia di dunia lan akhirat, ojo ninggalno sholat jama’ah”, siapa saja yang ingin bahagia baik di unia mauun di akhirat, maka janganlah sampai meninggalkan shalat berjama’ah. Itulah ungkapan yang sering diucapkan Mbah Kiai Syafaat terhadap keluarga dan para santrinya. Keteladanan shalat berjamaah yang selalu dipraktikkan Mbah

Kiai Syafa’at dapat dipahami melalui tiga hal. Pertama, substansi atau makna shalat berjamaah itu sendiri, yakni kepemimpinan dan persatuan umat Islam. Hal yang dilakukan imam akan diikuti oleh makmumnya, kecuali jika imam salah. Salah satu kunci keberhasilan dakwah di zaman Rasulullah saw adalah jama’ah (persatuan). Salah satu cara menumbuhkan persatuan tersebut ialah dengan shalat berjamaah. Kecintaan, disiplin, dan keikhlasan mereka dalam menunaikan shalat berjamaah telah menumbuhkan semangat persatuan dan keberanian yang tinggi di antara mereka. Di sisi lain, hubungan silaturahmi yang penuh kasih sayang dapat menumbuhkan semangat dan memperat jalinan di antara mereka, sehingga gambaran umat Islam yang diumpakan dengan dua jari yang dieratkan benar-benar nampak di zaman itu.

Bercermin dari hal di atas, Mbah Kiai Syafa’at hendak menjadikan instrumen shalat berjamaah sebagai penghubung antara seoarang guru, murid, dan masyarakat sekitar Blokagung. Karena memang salah satu kegiatan ibadah yang mengandung unsur sosial, kebersamaan, sekaligus ketaatan ialah shalat berjamaah. Di dalam shalat berjamaah tidak ada perbedaan ras, status sosial, usia, dan suku. Semuanya sama, memiliki hak yang sama untuk berada di shaf (barisan) terdepan.

Kedua, unsur dogmatisme dan investasi akhirat. Jika kita merujuk pada dalil-dalil shalat berjamaah, maka akan kita temukan beberapa indikasi perintah mengerjakan shalat berjamaah. Diceritakan dalam salah satu riwayat, bahwa suatu hari datang


seorang laki-laki buta kepada Rasulullah saw. Ia bermaksud meminta keringanan dalam sholat berjamaah karena kondisinya yang buta. Orang buta itu berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak ada seorang penuntun yang menuntunku ke Masjid. Bolehkah aku tidak sholat dengan berjamaah dan cukup sholat di rumah?”. Lalu Nabi saw memberi keringanan tentang hal itu. Namun tatkala orang itu mau beranjak, Rasulullah saw memanggilnya dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan panggilan sholat?”. Orang buta itu menjawab, “Ya”. Rasulullah bersabda, “Kalau begitu, sambutlah (berangkatlah sholat berjamaah).” (HR: Muslim). Dari kisah tersebut, dapat kita pahami bahwa begitu pentingnya sholat berjamaah. Hingga kepada orang buta yang tidak ada seorang yang menuntunnya saja, Rasulullah masih memerintahkan untuk sholat berjamaah.

Selain unsur dogmatisme, shalat berjamaah adalah investasi akhirat. Orang yang sholat berjamaah akan mendapat pahala 27 derajat dibanding sholat sendirian. Rasulullah saw  bersabda,  “Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian, dengan dua puluh tujuh derajat” (HR: Bukhori Muslim). Jadi, dengan sholat berjamaah kualitas sholat kita 27 kali lipat dibanding sholat sendirian. Jika dianalogikan dengan  emas,  sholat  berjamaah  seperti emas 24 karat atau emas murni.

Ketiga, shalat berjamaah sebagai instrumen pendidikan keteladanan dan proses pembiasaan. Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku keagamaan yang dilakukan para santri pada dasarnya mereka peroleh dari meniru. Shalat berjamaah  yang  mereka lakukan misalnya, merupakan hasil melihat dan meniru perbuatan itu dari lingkungannya. Baik berupa pembiasaan  ataupun pengajaran khusus yang intensif, sehingga sifat meniru itu menjadi modal positif dan potensial dalam pendidikan  keagamaan  pada  para santri Blokagung.

Berawal dari peniruan tersebut, selanjutnya dilakukanlah pembiasaan di bawah bimbingan Mbah Kiai Syafa’at dan para Asatidz Blokagung, agar para santri semakin terbiasa. Bila sudah menjadi kebiasaan yang tertanam jauh di dalam  hatinya,  para  santri akan sulit untuk berubah dari kebiasaan itu. Ia, misalnya,


akan melakukan shalat berjamaah bila waktu shalat tiba. Mereka tidak akan berpikir panjang memilih antara mengerjakan shalat dulu atau melakukan hal lain, antara shalat berjamaah sekarang atau shalat sendirian nanti. Hal ini dikarenakan kebiasaan merupakan perilaku yang sifatnya otomatis, tanpa direncanakan terlebih dahulu, dan berlangsung begitu saja tanpa dipikirkan lagi.

Selain itu, keistiqomahan Mbah Kiai Syafa’at dalam melakukan shalat berjamaah tidak hanya dilakukan ketika sudah menjadi kiai besar. Selama menjadi santri di Ponpes Tasmirit Tholabah pun, beliau senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, beliau termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.

 

2.     Kiai Anti Kekerasan dan Penyayang Binatang

Islam ialah agama rahmatan lil ‘alamin. Artinya, Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta, termasuk hewan, tumbuhan, jin, apalagi sesama manusia. Sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-Anbiya ayat 107 yang bunyinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Islam melarang manusia berlaku semena-mena terhadap makhluk Allah. Lihat saja sabda Rasulullah yang terdapat dalam Hadis riwayat al- Imam al-Hakim, “Siapa yang dengan sewenang-wenang membunuh burung, atau hewan lain yang lebih kecil darinya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadanya”.

Berdasarkan dalil-dalil di atas, Mbah Kiai Syafa’at sangat menekankan pada dirinya, keluarganya, dan para santrinya untuk  senantiasa berbuat baik terhadap makhluk Allah. Ia merupakan sosok kiai yang sangat menyayangi binatang. Mungkin sulit sekali mencari penyayang binatang seperti Mbah Kiai Syafaat. Beliau adalah tokoh sufi besar yang dimiliki Indonesia.

Sebuah kisah menarik dituturkan oleh KH. Hasan Hamdi, alumni Blokagung tahun 50-an yang juga pemangku pondok pesantren al-Huda Blimbingsari Tegalsari. Dikatakan, bila ada nyamuk hinggap dan menggigit Mbah Kiai Syafa’at, beliau tidak pernah mengusirnya. Bila ada orang hendak mengusir nyamuk


yang menggigit tubuh beliau itu, beliau justru melarangnya. “Biarkan nyamuk ini minum dari darah yang telah  dijadikan  sebagai bahagian rezekinya oleh Allah,” kata beliau.

Kisah lain diceritakan oleh KH. Harun Isma’il87 saat menjadi santri. Waktu itu ada anjing milik salah satu warga yang masuk di area pondok. Hal ini maklum, karena di sekitar pondok memang masih ada segelintir yang beragama kristen, hindu, dan budha. Sontak anjing yang masuk mengagetkan para santri, sehingga tanpa pikir panjang para santri mengambil kayu dan memukuli anjing hingga berlumuran darah, dan akhirnya mati di tempat. Mendengar ada kegaduhan di halaman pondok, lantas Mbah Kiai Syafa’at langsung keluar dan menghampiri pusat keramaian. Setelah mengetahui peristiwa yang terjadi, Mbah Kiai langsung berteriak dan menyuruh santri menghentikan pukulan yang tetap ditujukan pada anjing yang sudah mati tersebut. Mbah Kiai Syafaalangsung menangis melihat anjing yang sudah tidak bernyawa itu. Ia menggendong dan membawanya ke pekarangan sekitar Blokagung untuk dikebumikan. Malamnya, Mbah Kiai Syafa’at mengumpulkan para santrinya untuk meminta maaf. Beliau merasa apa yang telah dilakukan para santri seharusnya tidak terjadi. Beliau menambahkan nasihat tentang arti pentingnya menyayangi semua makhluk Tuhan tanpa terkecuali, termasuk terhadap makhluk bernama anjing yang siang hari dibunuh ramai- ramai oleh para santri.

Pernah juga dituturkan oleh Mbah Tarmudi88, ada  seekor  kucing tidur di atas lengan baju milik Mbah Kiai Syafa’at. Beliau tidak sedikit pun mengganggunya, sampai kucing itu bangun sendiri dan pergi. Ketika waktu salat tiba, Mbah Kiai Syafaat tetap tidak mau menarik lengan bajunya. Beliau malah menggunting lengan bajunya itu, lalu pergi salat. Setelah kucing itu bangun dan pergi, beliau menjahit kembali lengan bajunya itu. Subhanallah!


3.     Peka Dinamika Sosial

Di samping melekat status sosial, pada diri seseorang melekat pula peran sosial. Peran sosial merupakan suatu tingkah laku yang diharapkan dari individu sesuai dengan status sosial yang disandangnya, sehingga peran dapat berfungsi pula untuk mengatur prilaku seseorang. Ia berisi tentang hak dan kewajiban dari status sosial. Status sosial yang berbeda menyebabkan terjadinya peran sosial yang berbeda pula. Tidak ada peran tanpa kedudukan, dan tidak ada kedudukan tanpa peran.

Meski memiliki pesantren besar dengan berbagai kegiatan, namun itu tidak menghalangi Mbah Kiai Syafa’at untuk melakukan perubahan sosial. Beliau merupakan sosok ulama mursyid yang memberikan contoh kemandirian, peka terhadap masalah  sosial,  dan peduli terhadap persoalan bangsa. Beliau tidak  hanya terlibat  di bidang keagamaan saja, namun juga di bidang sosial pendidikan, sosial ekonomi, hingga sosial politik kebangsaan.

Selama ini publik lebih mengenal kiprah Mbah Kiai Syafa’at di dunia tasawuf dan keagamaan saja. Padahal, beliau juga memiliki kiprah lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan ini diwujudkan baik melalui sektor pertanian, ekonomi, pendidikan dan pesantren, hingga politik kebangsaan.

Sejak memimpin Pesantren Blokagung pada 1951, Mbah Kiai Syafa’at menunjukkan perhatian besar pada sektor pertanian. Pembangunan irigasi untuk pertanian dan kincir air untuk pembangkit listrik, adalah contoh dari kepeloporan pesantren ini sejak kepemimpinan Mbah Kiai Syafa’at. Bahkan pada masa sulit pangan di era 1950-an dan 1960-an, pesantren Blokagung memelopori program swasembada beras untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

Di  bidang  ekonomi,  Mba Kia Syafaa merupakan  pelopor pemberdayaan ekonomi masyarakat Banyuwangi. Melalui wadah kopontren dan BMT, Pesantren Blokagung mengembangkan berbagai program pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kopontren dan BMT Pesantren Blokagung bekerjasama dengan sejumlah bank dalam mengembangkan pemberdayaan ekonomi masyarakat


pesantren dan pedesaan di Banyuwangi dan sekitarnya. Pesantren Blokagung memberikan bantuan permodalan maupun simpan pinjam bagi warga sekitar pesantren maupun warga Banyuwangi. Sehingga, manfaat keberadaan pesantren dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas.

Pada bidang pendidikan, sumbangan lebih besar diberikan Mbah Kiai Syafa’at kepada masyarakat. Melalui Pesantren Blokagung, Mbah Kiai Syafa’at setiap tahunnya membina ribuan kader calon pemimpin masyarakat. Pesantren Blokagung hingga sekarang dihuni ribuan santri dan memiliki 13 unit pendidikan, yaitu mulai jenjang TK, SD, MI, MTs, SMP, MA, SMA, SMK, sekolah tinggi ilmu ekonomi, institut agama islam, majelis taklim, pesantren, dan pengajian umum.

 

4.    Kiainya Para Kiai

Mbah Kiai Syafa’at tidak hanya sekedar seorang kiai, namun beliau adalah kiainya para kiai. Oleh karena itu, banyak kalangan sering menyebut beliau dengan sebutan “Mbah Yai”, yang artinya mbahnya para kiai. KH. Sadid Jauhari, pengasuh pondok pesantren As-Sunniyah Kencong, dalam sebuah sambutannya tatkala diundang oleh Pesantren Blokagung, mengungkapkan bahwa gelar Mbah Kiai yang menempel pada Mbah Kiai Syafa’at bukanlah hal yang berlebihan. Hal ini bisa dilihat dari kiprah dan ketokohan Mbah Kiai Syafa’at semasa hidupnya. Berkat tangan dinginnya, hingga sekarang sudah tercatat ratusan santri yang beliau sulap menjadi kiai dan pemangku pesantren di daerahnya masing- masing.

Lain orang lain cerita, KH. Abdus Shomad89 saat ditemui di kediamannya, di pesantren Nurul Islam Jember, mengungkapkan bahwa Mbah Kiai Syafa’at adalah sosok kiai yang dianugerahi khasyatullah, yaitu kemampuan untuk menyeimbangkan  antara ilmu yang dimiliki dengan perbuatan sehari-hari. Yang kita ketahui, biasanya banyak orang berilmu tapi tidak memiliki amaliyah yang proporsional dengan kapasitas keilmuannya,  dan  banyak  pula orang yang beramal tanpa mengerti ilmunya. Mbah Kiai Syafa’at memiliki dua hal di atas, ilmu amaliyah dan ilmu yang ilmiah. Sebagai hasil dari khasyah tersebut (baca : memadukan ilmu dan amal), kemudian berkembanglah menjadi ilmu bathiniyah.

Pada taraf tersebut, Allah swt. tidak hanya menganugerahkan ilmu lahiriyah, akan tetapi juga ilmu yang belum pernah diketahui orang, Allamal insana maa lam ya’lam. Mbah Kiai Syafa’at bukanlah sosok kiai yang suka berpergian (masa hidupnya lebih sering digunakan untuk mengurusi pesantren Blokagung, mengajar kitab Ihya’ Ulu mal-Din dan juga memimpin shalat jama’ah di pesantren). Tapi pengetahuan Mbah Kiai Syafa’at merambah ke banyak tempat, mengalahkan orang-orang yang terbiasa berada di luar.

Pengasuh pesantren Nurul Islam yang juga alumnus pesantren Sidogiri, Kiai Muhyidin, juga mengungkapkan awal pertemuannya dengan Mbah Kiai Syafa’at. Pertemuan itu terjadi ketika ada kumpulan para kiai se-Jawa Timur, yang bertempat di pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Saat itu, beliau duduk di barisan belakang berkumpul dengan kiai-kiai muda yang namanya belum setenar beliau. Sementara Kiai Muhyiddin tidak tahu sama sekali, bahwa yang duduk di sampingnya ialah pengasuh pesantren Blokagung. Beliau hanya terheran saat setiap kiai yang mendatanginya selalu mencium tangannya, dan menunjukkan penghormatan yang lebih dibanding kiai-kiai yang lain. Sesekali ada beberapa kiai tenar mempersilahkan Mbah Kiai Syafa’at untuk duduk di depan. Namun Mbah Kiai mengabaikan sambil tersenyum. Di penghujung acara, Kiai Muhyiddin baru menyadari, bahwa yang sedari tadi duduk di sampingnya ialah seorang syaikhul masyayikh, kiainya para kiai. Kiai Muhyidin baru menyadarinya saat Mbah Kiai Syafa’at dipersilahkan untuk memimpin doa penutup dalam forum tersebut. Kiai Muhyiddin juga bercerita, murid Mbah Kiai Syafa’at tidak hanya yang nyantri di Blokagung, namun beberapa kiai muda yang ada di kawasan Jawa Timur pun pernah mengaji dan mengaku sebagai murid Mbah Kiai Syafaat.


4.    Mbah Kiai Syafa’at dan Karomahnya

Dunia mistis memang cukup lekat dengan komunitas pesantren, karena latar belakang sufisme–yang menjadi Trade mark kalangan pesantrenmemiliki pengaruh yang sangat kuat. Akan tetapi, mistis di sini adalah mistis dalam pengertian yang positif, bukan takhayyul ataupun khurafat. Demikian pula, kelekatan pesantren dengan nilai mistik tidak berarti menafikan hal-hal yang rasional. Sebab antara keduanya tercipta sebuah perpaduan yang cukup unik. Dalam arti, pemikiran rasional di kalangan pesantren tidak membuat nuansa-nuansa sufisme menjadi hilang begitu saja.90

Sebenarnya, karomah tidak bertentangan dengan ilmu

pengetahuan modern. Dalam ilmu pengetahuan modern juga  dikenal istilah “pychokinesys”, yaitu perilaku luar biasa dan irrasional yang dimiliki oleh orang-orang tertentu. Kedekatan dengan cahaya Ilahi dan kedekatan emosional dengan Allah menjadikan seorang hamba begitu dekat kepada-Nya. Jika Allah sudah sedemikian dekat, maka pantulan cahaya Ilahi pun akan mengenai siapa saja yang senantiasa ber-taqarrub kepada-Nya. Hari-hari yang dipenuhi ibadah, zuhud, dan taqarrub menjadikan perilaku Mbah Kiai Syafa’at Blokagung sering kali bernuansa rabbani. Dari situ, tidak jarang lahir peristiwa yang disebut “Khariqul ‘adah atau Karomah”.

Ketika penulis berburu informasi dan data dari beberapa sumber yang ada, nyaris di setiap informasi dan data yang terkumpul terselip selingan karomah tentang Mbah Kiai Syafa’at. Sangking banyaknya, sehingga data yang terkumpul sebenarnya bisa dibuat term khusus dalam buku ini. Akan tetapi, penulis rasa seyoganya memilih beberapa karomah yang ceritanya bersambung dari beberapa sumber, sehingga eksistensinya tidak diragukan.

a.       Mbah Kiai Syafa’at tiba-tiba berada di rumahnya, padahal beberapa Minggu lalu berangkat haji

Karomah   yang   pertama   ini   diceritakan   oleh   salah   satu santrinya  yang  sekarang  memangku  pondok  pesantren.  Beliau adalah  KH.  Syuhada  Karomi91,  pendiri  dan  pengasuh  pondok pesantren  Darul  Falah  Sumberan  Karang  Anyar  Ambulu  Jember. Suatu ketika pada tahun 1971, tepatnya ketika Mbah Kiai Syafaat sedan menunaikan  ibadah  haji,  ada  seoran tetangga  bernama Muhammad  Ihsan  yan kediamannya  terletak  di  sebalah  barat pondok Darussalam  Blokagung.  Ia  kedatangan  seorang temannya yang ingin sekali sowan bertemu dengan Mbah Kiai Syafaat. Sang teman  diberi  tahu  ole Bapak  Ihsan,  bahw Mbah  Kia Syafaat sedang  berangkat  menunaika ibadah  hai  beberapa  minggu  yang

lalu. Namun sang teman bersikeras hendak bertemu dengan Mbah Kiai Syafa’at dan mendesak Bapak Ihsan untuk tetap mengantarnya ke kediaman Mbah Kiai Syafa’at. Karena Bapak Ihsan tidak ingin berlama-lama direngeki dan ia tidak mau ambil pusing—meskipun bapak Ihsan tahu betul bahwa Mbah Kiai pasti tidak ada di kediamannya— akhirnya ia mengantar temannya berkunjung ke rumah Mbah Kiai Syafaat. Namun ia hanya mengantar sampai  depan rumah. Keyakinannya hanya satu, pasti keluarga Mbah Kiai Syafa’at akan mengatakan bahwa Mbah Kiai tidak ada. Ternyata, hampir satu jam sang teman tidak keluar dari rumah Mbah Kiai Syafa’at, sehingga Bapak Ihsan memutuskan hendak menunggu sang teman di rumahnya sendiri. Setelah beberapa  saat,  sang  teman datang dan ia menceritakan bahwa ia telah berbincang- bincang langsung dengan Mbah Kiai Syafa’at selama hampir 1 jam.

 

b.      Mbah Kiai Syafa’at ditanya malaikat Izra’il

Sembilan tahun sebelum wafat syaikhinal kirom mbah kiai Syafa’at pernah  berkata kepada salah satu santrinya yang bernama nuruddin tentang pertemuannya dengan malaikat Izra’il saat selesai mengaji kitab Ihya’ Ulumiddin. Dalam pembicaraannya tersebut mbah kiai Syafaat megaku jika pada hari jum’at jam 06.30 WIB di kediamannya pesantren Blokagug beliau didatangi malaikat Izra’il dan ditanya apakah sudah siap menghadap kehariban ilahi. Mendengar apa yang disampaikan kiainya, nururuddin sontak kaget sambil tetap mendengarkan mbah kiai syafaat melanjutkan pembicaraannya. Mendapat pertanyaan tersebut mbah Kiai Syafa’at mengatakan belum siap karena putra pertama beliau –KH. Ahmad Hisyam Syafaat- masih di pondok pesantren, ketidaksiapan mbah kiai syafaat saat ditanya malaikat izra’il ini semata-mata karena belum siapnya pesantren Blokagung kehilangan sosok yang sangat berpengaruh ini sedangkan putra pertama beliau saja masih menempa ilmu keagamaan di pesantren-pesantren di Jawa.

Mendengar cerita yang baru saja disampaikan oleh kiainya, nuruddin tidak ingin menceritakan kepada para santri lain karena hal ini dianggap sangat rahasia. Akhirnya setelah KH. Hisyam Syafaat kembali dari menimba ilmu di pesantren dan dianggap siap memimpin pesantren Blokagung, maka wafatlah kiai panutan umat mbah kiai Syafaat ghofarollahu dzunubahu wanafa’ana ‘ulumahu.

Pasca  meninggalnya  san kiai,  Nuruddin  memberanikan  diri bercerita  tentang  beberap keanehan (khoriqul ‘adah) ihwal  maha gurunya  kepada  KH.  Muhyi  saat  bertemu  di  kediamannya  dan ternyata  mbah  Muhyi  juga  pernah  mendapat  cerita  yang  sama seperti Nururddin.92

 

c.       Mbah Kiai Syafa’at Mampu Membaca Pikiran

Cerita berikutnya penulis dapatkan dari H. Tholib93 yang pernah menyampaikan pengalaman spiritualnya dengan mbah kiai Syafa’at. Sewaktu ia baru menikah dan belum memiliki pekerjaan, karena bingung pak Tholib akhirnya mendatangi mbah Kiai Syafa’at   dengan   tujuan   utuk   mengutarakan   kehidupan   pasca menikah, namun setelah sampai di kediaman mbah kiai Syafa’at dan bertemu dengan beliau tiba-tiba pak Tholib mengurungkan niatnya untuk mengadu akan nasibnya selama ini dengan pertimbangan sepertinya kurang pantas sowan (bertamu) hanya untuk mengeluhkan permasalahan dunia. Lalu tiba-tiba kiai Syafa’at berkata pada pak Tholib, “Begitu saja kok bingung. Perbanyak wiridlan! Insyaallah tahun depan bisa naik haji’.” Setelah bertamu di kediaman mbah kiai Syafa’at, pak Thobib mengamalkan apa yang sudah diijazahkan kepadanya dengan istiqamah dan ternyata betul, setahun berikutnya pak Tholib melaksanakan haji bersama istrinya.

Cerita selanjutnya datang dari KH. Mahfud Pasembon94 yang secara pribadi pernah mengalami kasus pengalaman spiritualitas yang serupa dengan pak haji Thobib. Saat itu kiai Mahfudz silaturahmi di kediaman mbah kiai Syafa’at, seperti biasa sebelum pembicaraan dilanjutkan mbah kiai Syafa’at mempersilahkan kiai Mahfudz untuk makan, sebuah tradisi positif yang melekat pada diri mbah kiai Syafaat yakni selalu memberi makan tamunya sebelum diajak ngobrol. Setelah selesai makan, mbah kiai Syafa’at mengawali pembicaraan, “Kang Mahfudz, sampean nanti bisa berangkat haji jika sudah memiliki dua anak.” Lalu mbah kiai Syafa’at memegang tangan kiai Mahfudz dan menulis di telapak tangannya. Ternyata yang disampaikan Kiai tepat setelah melahirkan putra keduanya kiai Mahfudz akhirnya bisa melaksanakan haji.”

 

d.      Tabib Masyarakat

Mbah Hamdi dan Mbah Tarmudi, dari tempat yang berbeda menuturkan kisahnya kepada penulis,95  bahwa Mbah Kiai Syafa’at kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan oleh masyarakat. Saat dimintai pertolongan, Mbah Kiai Syafa’at menulis lafadz ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali Mbah Kiai Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, paku dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien.

Selain itu, beliau juga sering dimintai mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan Mbah Kiai Syafa’at kepada keluarga dan para santri.

 

e.       Mbah Kiai Syafa’at dan sosok Imam al-Ghazali

Kisah aneh berikut dituturkan oleh putra kesebelas dari pasangan Mbah Kiai Syafa’at dan Nyai Siti Maryam, KH. Abdul Kholiq Syafa’at96. Kisah ini terjadi saat Gus Kholiq muda masih kecil, dan sedang berbincang-bincang dengan Mbah Kiai Syafaat di kediamannya. Malam hari sehabis Isya’, Gus Kholiq muda sedang bertanya kepada abahnya terkait sosok Imam al-Ghazali  yang  sering kali digambarkan dengan sosok yang hanya tinggal di  masjid, bertasbih panjang dan besar, berjenggot tebal, dan berjidat hitam. Pertanyaan Gus Kholiq muda waktu itu muncul seiring dengan banyaknya pedagang yang menjual gambar-gambar yang mengatasnamakan Imam al-Ghazali.

Mendengar cerita seperti itu, Mbah Kiai Syafa’at sempat tersenyum dan menarik nafas dalam-dalam lalu berkata, “Gambar yang dijual oleh para pedagang itu tidak mirip sama sekali dengan sosok dan paras Imam al-Ghazali nak. Tapi tidak apa-apa, karena  

meraka hanya menjual, dan yang menggambar gambar tersebut hanya mereka-reka disesuaikan dengan ketokohan dan kealiman Imam al-Ghazali. Padahal Imam al-Ghazali adalah sosok yang kurus, pakaiannya sederhana, ia berjenggot namun tidak setebal yang digambar, jidatnya tidak sehitam itu dan Imam  al-Ghazali tidak selalu berada di dalam masjid.”terang mbah Kiai Syafa’at.

Penuturan Mbah Kiai Syafa’at terhadap sosok Imam al-Ghazali seakan menjadi isyarat, barangkali beliau pernah berhadapan langsung atau bertemu lewat mimpi dengan imam al-Ghazali yang sebenarnya.

Beberapa perilaku ganjil memang sering terjadi pada diri seorang ulama. Ulama yang kharismatik, yang tentu saja memiliki amaliyah dan ibadah yang mendekati sempurna, di mata Allah adalah hamba-Nya yang terkasih. Sehingga, bisa saja perlakuan ganjil mengiringi perjalanan hidup ulama tersebut, sebagai mana yang terjadi pada diri Mbah Kiai Syafa’at– demikian panggilan penghormatan kiai khos pendiri Pondok Pesantren Darussalam Blokagung tersebut.


 

 

 

 

 

BAGIAN IV

MBAH KIAI SYAFA’AT, SANG PEJUANG DI ZAMAN PENJAJAHAN

 

B

 
anyuwangi sebagai salah satu basis masyarakat santri di Tapal Kuda (pesisir timur pulau Jawa) menyimpan berbagai kisah heroik yang belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Sebagai daerah yang cukup jauh dari pusat kekuasaan, Banyuwangi menyimpan kharisma tersendiri. Banyuwangi merupakan salah satu daerah yang terkenal dengan kesaktian para kiainya. Salah satu diantara Kiai-kiai sakti tersebut ialah Hadlratus syaikh KH. Mukhtar Syafa’at. Kata “sakti” di sini tentunya tidak merujuk pada ilmu kanuragan yang sakti mandraguna, tapi lebih kepada keberanian sosok Mbah Kiai Syafa’at dalam menghadapi arus penjajahan. Mbah Kiai Syafa’at waktu itu menghadapi penjajah yang ingin menghabisi para tokoh agama, karena khawatir iman teguh yang dimiliki para tokoh agama dapat mempengaruhi

masyarakat Nusantara untuk melawan penjajah.

 

1.        Banyuwangi di bawah Kekuasaan Kolonial

Hadlrotus   syaikh   KH.   Mukhtar   Syafa’at   lahir   pada   masa Indonesia masih di bawah jajahan Belanda atau 28 tahun sebelum hari proklamasi Indonesia, 1945. Karena itulah keadaan sosial– politik saat itu tidak aman. Rakyat terjajah dan dipaksa untuk melayani penjajah. Rakyat banyak yang tidak belajar, pendidikan


hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu (pribumi yang kaya). Mereka tertindas dan jauh dari pendidikan. Meski demikian, hal tersebut tidak menghalangi orang tua Mbah Kiai Syafa’at untuk mendidik anaknya dengan sebaik-baik pendidikan, sehingga menjadikannya sebagai ulama dan pembangkit jihad melawan penjajah, khususnya di daerah lokal Blambangan.97

Menurut Mbah Kiai Munan, saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi, Syafa’at muda bersama Umar Mansur, Abdul Manan dan teman-teman  lainnya  saat  di Jalen tidak tinggal diam saat Belanda mulai muncul di bumi Blambangan. Ia dan santri-santri lain bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at muda juga turut aktif melakukan penyerbuan ke camp-camp tentara Belanda saat perang gerilya, yakni dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kiai Muhammad dan Kiai Musaddad.98

Sedangkan pada masa pendudukan Jepang, Mbah Kiai Syafa’at

ditawari untuk menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA) dalam menghadapi sekutu. Tetapi itu semua bukanlah tujuan utama Jepang yang sebenarnya, melainkan hanya untuk mengalihkan isu agar Jepang berhasil menjajah Indonesia dan menjadikan Jepang sebagai penguasa Asia Timur Raya. Dalam menghadapi Jepang, para ulama dan santri di daerah Banyuwangi tidak tinggal diam. Bahkan merekalah yang memelopori gerakan perlawanan menentang penjajah, di antaranya iala Mbah Kiai Ibrahim Irsyad dan santrinya Mukhtar Syafaat.

Selain itu Syafa’at muda juga menjadi lokomotif para santri di daerah Banyuwangi untuk menggerakkan semangat juang dalam mengusir Belanda dari bumi Blambangan. Menurut keterangan Mbah Kiai Munan, teman Mbah Kiai Syafa’at saat berjuang mengusir Belanda di Bumi Blambangan, Syafa’at muda oleh beberapa kiai sepuh memang ditunjuk menjadi pemimpin para santri saat itu. Hal itu dikarenakan Mbah Kiai Syafa’at memiliki pengalaman dalam membantu gurunya, Hadlrotus syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, saat menolak aturan-aturan dan kebijakan kolonial yang cenderung merugikan kaum pribumi Jombang. Selama kurang lebih enam tahun di Tebuireng, Syafa’at muda bersama-sama santri lain aktif dalam mengusir penjajah hingga akhirnya pengembaraan mencari ilmu diteruskan di Jalen,

Banyuwangi.99

Semasa menjadi komandan perang di kalangan santri Blambangan saat menghadapi pasukan antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI. Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at muda.

Pada jaman pendudukan Jepang tersebut, Syafa’at muda juga tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai,  yaitu  gerakan  pemerasan  terhadap  harta,  jiwa  dan  harta bangsa  Indonesia  demi  kemenangan  Perang  Asia  Timur  Raya. dalam  gerakan  ini,  Syafa’at  diwajibkan  mengikut kerja  paksa selama   har di  Tumpang  Pitu  (pesisir  laut  panta selatan  teluk Grajagan  da Lampon).  Ia  dipekerjakan  sebagai  penggali  parit perlindungan tentara Jepang. Namun dari sini Syafa’at muda mulai membentuk  semacam  laskar  santri  untuk  mencar celah  dalam mengusir  Jepang  yang  memang  saa itu  sudah  ada  pesan-pesan jihad    oleh    gurunya    saat    di    Tebuireng,    Hadlrotus    Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari.100 

Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1951, ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya  pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas  dari sosok pendiri  dan pengasuh pesantren, KH. Muchtar Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.

 

2.         Hubungan dengan PETA

Tanggal 3 Oktober 1943, bisa dikatakan hari yang amat bersejarah, sebab hari itu, Saiko Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No.44 tentang pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65 Daidan (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap Daidan beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho (komandan batalyon) pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat shodancho. Setiap Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin seorang Chudancho (komandan kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan terdiri dari 3 shodan yang dipimpin seorang shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat letnan. Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin seorang bundancho (komandan regu) pangkat setingkat sersan. Tiap bundan (regu) beranggotakan 11 giyuhei - prajurit.

Pembela Tanah Air (PETA) merupakan sebuah organisasi bentukan Jepang dengan keanggotaannya terdiri dari pemuda- pemuda Indonesia. Dalam organisasi PETA ini para pemuda bangsa Indonesia dididik atau mendapatkan latihan kemiliteran dari pasukan Jepang. Pemuda-pemuda inilah yang menjadi tiang utama perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.

Tujuan awal dibentuknya Tentara Sukarela PETA oleh pemerintah pendudukan Jepang ialah untuk mempertahankan wilayah teritorial (syuu) di Jawa dan Bali. Namun, di belakang itu Jepang memiliki tujuan tersembunyi, yakni mendirikan PETA untuk memenuhi kepentingan peperangan Jepang di lautan Pasifik dan disiapkan untuk melawan sekutu. Oleh sebab itu, Tentara Sukarela PETA dilatih langsung oleh tentara Jepang dan berada di


bawah langsung komando Panglima Tentara Jepang. Namun dalam perkembangan berikutnya, ternyata PETA justru sangat besar manfaatnya bagi bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan melalui perjuangan fisik. Hal ini yang dilakukan Syafa’at muda saat bergabung dengan pasukan PETA pada zaman pendudukan Jepang atas Blambangan.

Jepang faham bahwa usaha memobilisasi massa guna menghadapi kekuatan sekutu dibutuhkan kekuatan massa sekaligus keberanian moral dalam suasana perang. Itu sebabnya dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang telah memiliki akar di tengah rakyat serta memiliki pengaruh ajaran agama yang diyakini. Perang butuh orang-orang yang memiliki keberanian dan jiwa rela berkorban. Dan berdasar catatan arsip kolonial (colonial archive) yang dimiliki Belanda, Jepang mengetahui bahwa rakyat Indonesia yang memenuhi syarat untuk berperang ialah umat Islam. Hal itu sebagaimana yang termaktub dalam data arsip kolonial, yang menyebutkan bahwa antara tahun 1800 - 1900 (100 tahun) telah terjadi usaha-usaha pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan rakyat di bawah pimpinan tokoh-tokoh tarekat sebanyak 112 kali.

Atas dasar itu, para Kiai, ulama, guru agama Islam diberi kesempatan dalam rekruitmen anggota Tentara Sukarela PETA untuk menjadi pemimpin PETA dengan diangkat menjadi daidancho. Selain itu, yang bisa diangkat menjadi daindancho adalah pamong praja setingkat wedana, asisten wedana, jaksa, pimpinan partai. Untuk pangkat chudancho diangkat dari kalangan pegawai negeri, guru sekolah. Sedang untuk shodancho dipilih santri atau siswa-siswa sekolah menengah atas.

Ketika Jepang terdesak hebat dalam perang di Pasifik, dibentuklah pusat-pusat latihan militer yang salah satunya adalah    di Besuki. Berdasar Keputusan Bersama antara penguasa militer Jepang di Besuki (Besuki Syu), Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang diketuai KH. Mursyid, Yogeki Shodancho Wahyudidan pimpinan Hizbullah yang baru lulus dari Cibarusa, Bogor, diselenggarakanlah pendidikan dan latihan bagi  bintara  selama  satu bulan. Saat itu pusat latihan berada di Desa Awu-awu,


Kecamatan Temuguru, Kabupaten Banyuwangi. Latihan yang diikuti oleh seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki itu dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945. Dalam kesempatan ini, Syafa’at muda, Umar Mansur, dan Abdul Munan serta kawan-kawan santri di daerah Blambangan penuh antusias berpartisipasi mengikuti latihan yang saat itu  diketuai oleh kalangan pesantren sendiri. Dari sini jiwa patriot Nasionalisme ditanamkan oleh Kiai Mursyid kepada para santri Blambangan, termasuk dalam diri Syafa’at Muda.

 

3.     Hubungan dengan BPUPKI

Dalam perjalanan panjang menuju Indonesia sebagai negara yang berdaulat, Mukhtar Syafa’at ikut terlibat meski tidak secara langsung dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Satu isu yang paling kontroversial dan menjadi perdebatan yang tak kunjung usai ialah isi tentang negara dan agama. Wahid Hasyim, sebagai salah satu anggota dari panitia sembilan sempat berdiskusi ringan dengan Mukhtar Syafaat, teman sekaligus santri ayahnya saat menimba ilmu di Tebu Ireng. Sebenarnya diskusi ringan ini bukanlah suatu diskusi yang direncanakan. Namun karena saat itu Wahid menjadi salah satu anggota, Mukhtar Syafa’at yang memang sangat kritis mengawali perbincangannya dengan pertanyaan teoritis, “Pripun Gus menurut njenengan, Islam mlampah pyambak utawi Islam mlampah sareng kalian negoro? (Bagaimana Gus menurut Anda, Islam berjalan sendiri atau Islam berjalan bersamaan dengan negara?)”Mengetahui bahwa santri ayahnya ini terkenal cerdas, Wahid menanyakan balik kepada Mukhtar Syafaat, “Lah, pripun menurut njenengan kang? Nggadah usulan? (Lah, bagaimana menurut Anda, Kang? Punya usulan?). Akhirnya dengan malu- malu namun lantang Mukhtar Syafa’at mengeluarkan uneg- unegnya tentang salah satu rumusan dalam sidang BPUPKI

tentang wacana negara dan agama.101 Mukhtar   Syafa’at   Menjelaskan   bahwa   Agama   dan   Negara merupakan suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara. Karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama. Karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika. Paradigma Mukhtar Syafa’at ini dapat ditemukan dalam pemikiran Al- Mawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengelolah urusan-urusan dunia (harasah al-din wa siyasah al-dunya).102 Pemeliharaan agama dan pengelolaan urusan- urusan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.103

Sebenarnya tidak kaget ketika pemikiran Mukhtar Syafa’at ditemukan dalam kitab al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dikarenakan melihat pendidikan yang ditempuh, Muchtar Syafa’at tidak hanya dapat dikategorikan sebagai santri secara formal, tetapi juga substansial. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari Mukhtar Syafa’at adalah kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik dan mendapatkan akses literatur Arab dari beberapa pesantren yang pernah beliau singgahi dalam menuntut ilmu.

Selanjutnya   Mukhtar   Syafa’at   menambahkan   bahwa   yang harus menjadi presiden nanti seharusnya dari kalangan pesantren atau   minimal   orang   yang   beragama   Islam.   Alasannya,   jika presidennya beragama Islam, perintah-perintahnya yang berkaitan dengan     kenegaraan     akan     mudah     dipatuhi     rakyat     yang mayoritasnya  muslim.  Mendengar  beberapa  pemaparan  Mukhtar Syafa’at  ini  Wahid  langsung  tersenyum  lebar.104   Entah  karena


pengaruh dari obralan ringan antara Wahid Hasyim dengan Mbah Kiai Syafa’at atau tidak, yang jelas pendapat Mukhtar Syafa’at ada yang masuk dalam usulan Wahid Hasyim saat ia masuk dalam sub komite BPUPKI yang dibentuk untuk mencari jalan keluar terbaik bagi masa depan bangsa. Saat itu memang BPUPKI sebagai badan bentukan Jepang ini bertugas mempersiapkan bentuk dan dasar negara.

Usulan yang ditawarkan KH. A. Wahid Hasyim yang juga mantan ketua Masyumi pasca diskusi ringan dengan Mukhtar Syafa’at ini diterima BPUPKI. Meski demikian, pada akhirnya usulan itu ditinggalkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Budaya Syawir (musyawarah) dalam dunia pesantren merupakan hal yang sudah biasa, pendidikan pesantren mengandung unsur pendidikan bagi para santri dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Di Pesantren, para santri juga diajarkan tentang kedudukan manusia di bumi dan tentang prinsip-prinsip yang diperhatikan dalam kehidupan kemasyarakatan. Prinsip tersebut di antaranya ialah prinsip- prinsip musyawarah atau konsultasi, ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan, dan sikap rukun dalam bertetangga meski berbeda agama.


 

 

 

 

 

 

BAGIAN V

KIPRAH DAN PERJUANGAN MBAH KIAI

SYAFA’AT PASCA KEMERDEKAAN

 

P

 
penjajahan oleh bangsa lain memang sudah berhenti dengan ditandai proklamasi yang dibacakan oleh presiden pertama Ir. Soekarno tertanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi, bukan berarti kiprah dan perjuangan Mbah Kiai Syafa’at terhenti. Predikat Indonesia merdeka memang sudah didapat, tapi kiprah dan perjuangan         Mbah        Kiai        Syafa’at     untuk   mempertahankan kemerdekaan di Blambangan tetap digencarkan. Perjuangan yang dimaksud di sini tidak hanya dalam arti sempit, akan tetapi perjuangan beliau lebih kepada mempertahankan, memoles, dan memperbaiki sosial kemasyarakatan, NU sebagai rumah sendiri, dan Indonesia.
Pada bagian ini akan dituliskan kiprah dan perjuangan Mbah Kiai Syafa’at pasca kemerdekaan, untuk kemudian mencari ciri khas perjuangan dari para pejuang di zamannya, baik dari kalangan nasionalis, Islam, maupun dari kalangan NU sendiri. Perjuangan dilanjutkan dengan merintis dan mengembangkan pesantren Blokagung, menjaga hubungan antar ulama-umara, mengabdikan diri di organisasi terbesar di Indonesia (Nahdlatul Ulama), menghadapi gerakan separatis, hingga mengembangkan tarekat dan mengkaji kajian keagamaan di Blambangan.

1.    Mendirikan MMPP Banyuwangi Selatan

Majelis      Musyawarah      Pengasuh      Pesantren      (MMPP) Banyuwangi  Selatan  merupakan  sebuah  wadah  yang  menampung aspirasi beberapa   pemangku   pesantren   di   daerah   Banyuwangi bagian selatan. Menurut data yang diberikan sekretaris MMPP dan juga termasuk salah satu santri Mbah Kiai Syafa’at Blokagung era 60-an, MMPP sendiri berdiri pada tanggal 14 Sya’ban 1384 H/ 17 Desember   1964   bertempat   di   pondok   pesantren   Nahdlatut Thullab105  Kaligoro Sukonatar Srono yang perintisnya ada delapakiai, termasuk di antaranya adalah Mbah Kiai Syafa’at.106  Setelah tonggak kepemimpinan MMPP diambil alih oleh Mbah Kiai Syafa’at dari   Gus   Dim   Jadzab   yang   terlebih   dahulu   wafat,   MMPP mengalami    perkembangan    yang    cukup    pesat,    baik    secara keanggotaan,  keorganisasian  dan  sebagainya.  MMPP  mulai  diisi dengan pengajian Ihya’ ulum al-Din juz III. Dari sini tampak sekali pengaruh Mbah Kiai Syafaat sebagai lokomotif MMPP saat itu, dan pada periode beliau pula embel-embel selatan dalam nomenklatur MMPP Banyuwangi Selatan dihapus menjadi MMPP Banyuwangi. Hal ini dilakukan Mbah Kiai Syafa’at dengan maksud agar majelis yang independen ini bisa diikuti oleh pengasuh pondok pesantren se-Banyuwangi.107 Menurut keterangan yang disampaikan oleh KH. Aly Mahfudz Syafa’at, ada alasan spiritualitas kenapa dalam mengkaji kitab Ihya’ Ulumiddin mbah Kiai Syafa’at hanya membacakan juz III padahal dalam Ihya’ sendiri ada IV jilid, dalam kalangan masyayikh dan alim-ulama  di  Banyuwangi  sendiri,  mbah  Kiai  Syafa’at  memang terkenal memiliki ilmu tasawwuf yang sangat tinggi, dan paling senang mengkaji Ihya’ Ulumiddin juz tiga karena hatinya ihya' itu ada di Juz juz III. Sedangkan di Banyuwangi waktu itu tokoh sepuh yang dianggap bisa menjabarkan dengan luas makna dan nilai-nilai dari kitab Ihya’ Ulumiddin hanyalah mbah Kiai Syafaat. Namun demikian  mbah  Kiai  Syafa’at  mintanya  hanya  Ihya Ulumiddin juz tiganya saja yang dibaca.108

 

2.    Menghadapi Gestapu PKI

Setelah proklamasi, bukan berarti rakyat Indonesia sudah tidak lagi mempunyai musuh. Tetapi mereka dihadapkan kepada musuh yang berasal dari dalam, di antaranya PKI. PKI banyak melakukan kudeta kepada pemerintahan yang telah sah. PKI melakukan begitu banyak pembunuhan dengan cara yang kejam. Rakyat Indonesia dalam kondisi ketakutan. Tetapi para ulama, sekali lagi membuktikan keprihatinannya kepada rakyat Indonesia. Mereka memikirkan agar Indonesia aman, damai dan terbebas dari ketakutan.  Karena  itulah  Mba Kia Syafaat  memberikan  fatwa supaya rakyat melawan, bahkan disebutkan bahwa Bung Tomo dan Jendral Sudirman senantiasa meminta nasihat kepada Mbah Kiai Syafa’at sebelum melakukan perlawanan.

Di Banyuwangi, Jawa Timur, PKI mengepung dan membunuh beberapa tokoh NU dan Anshor. Peristiwa ini merupakan sejarah tersendiri bagi gerakan pemuda Anshor di Jawa Timur. Sebab peristiwa pengepungan itu kemudian menjadi pertempuran sengit dan  berdara yang  menewaskan  40  pemuda  Anshor.  Kemarahan masa    NU    memuncak.    Para    kiai    di    Jawa    Timur    serentak menyingsingkan lengan baju dan menggembleng barisan massa NU dalam  rangka  berjuang  menumpas  PKI.  Akhirnya  pembasmian tokoh-tokoh PKI terjadi di mana-mana.109

Aksi penumpasan PKI di Banyuwangi Jawa Timur oleh massa NU memang sedikit berbeda dari aksi-aksi serupa yang ada di daerah lain. Sulaiman Biyamiho, mantan komandan aksi penggayangan PKI di Banyuwangi Jawa Timur, mengatakan bahwa massa NU Jawa Timur bergerak tanpa harus menunggu komandan dari Pangdam VIII. Ini karena siasat dan intrik PKI menjelang G30 S/PKI telah meyakinkan pihak Kodam VIII untuk menugaskan pasukannya ke luar Jawa. Oleh karena itu, ketika meletusnya pemberontakan PKI, di jajaran Kodam VIII hanya ada 4 Batalyon Infantri AD yang tentu jumlahnya tidak mencukupi untuk menumpas PKI di wilayah Jawa Timur, khususnya Banyuwangi. Sehingga tak pelak massa NU mengambil inisiatif untuk

menumpas jaringan PKI tanpa menunggu komando dari Kodam.110 Dalam  kondis ini,  di  wilayah  Blokagung  Mbah Kiai Syafa’at  dan para santrinya terjun langsung di lapangan. Karena inisiatif untuk bergerak sendiri ini, masyarakat terkejut dan nyaris terjadi insiden sampai-sampai  Mbah  Kiai  Syafa’at  diincar  pihak  militer  untuk diamankan.   Upaya   pengamanan   ini   dilakukan   karena   adanya indikasi  bahw koramil  saat  itu  lebih  memihak  pada  orde  lama, sehingga beliau dan para santrinya selalu dicurigai. Menurut Mbah Suriamah, setiap kegiatan yang ada di pesantren Blokagung selalu diawasi ketat oleh pihak koramil.111

 

3.      Menjaga Keteladanan Ulama-Umara

Kebaikan manusia di suatu negeri bergantung pada kesalehan para ulama dan keadilan umara (penguasa). Kerusakan mereka juga bergantung pada kerusakan para ulama dan keculasan umaranya. Pernyataan ini didasari oleh sabda Rasulullah.

Dua golongan manusia, jika mereka baik, akan baik seluruh manusia, dan jika ia rusak, akan rusak seluruh manusia. Mereka adalah para ulama dan umara. (HR Ibnu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya).

Golongan pertama, yakni para ulama. Ulama adalah pewaris para nabi dan penyambung lidah mereka. Seperti dimaklumi, para nabi tidak mewariskan harta benda berupa emas, perak, perniagaan, dan sawah ladang. Mereka semua mewariskan ilmu. Ilmu itulah yang ditransmisikan dari masa ke masa kepada ahli ilmu, yaitu ulama. Ulama yang saleh yaitu yang ucapannya sesuai dengan perilakunya. Akhlaknya pun mulia. Ia senantiasa berkata benar meskipun kepada dirinya sendiri. Dakwahnya mengajak kepada amar makruf dan nahi mungkar. Ia tidak canggung memberi nasihat dan peringatan, termasuk kepada penguasa sekalipun. Ia sambangi mereka dengan membawa oleh-oleh nasihat. Ia selamatkan para umara dari bahaya kefasikan dan mengarahkannya pada kebaikan. Inilah potret ulama yang berpengaruh pada standarisasi kebaikan manusia.

Ulama yang rusak adalah ulama yang ilmunya  digunakan  untuk membeli dunia. Ucapannya sangat kontras dengan perilakunya. Ia pandai menilai orang, tetapi tidak  jujur  terhadap diri sendiri. Ia dekati penguasa demi harta dan penghargaan. Ia biarkan penguasa itu tetap dalam kezalimannya. Ia  akan berfatwa  ke mana angin bertiup. Dalam istilah Imam Al-Ghazali, dialah ulama su’ (ulama buruk) yang menjual akhiratnya untuk dunianya. Ulama semacam ini merupakan malapetaka bagi bangsa  dan  agama.

Golongan kedua, yakni umara atau penguasa. Umara adalah pemegang amanah Tuhan untuk mengurus kehidupan rakyatnya. Hidup matinya rakyat tergantung pada kebijakan dan keputusannya. Di tangannya pula ditegakkan hukum dan peraturan demi ketenteraman umum. Umara yang saleh, yaitu umara yang adil, amanah, dan bertakwa kepada Tuhannya. Ia bekerja di siang hari untuk kepentingan rakyatnya. Pada malam hari ia bermunajat kepada Tuhannya dan menyerahkan beban


kekuasaan itu kepada-Nya untuk dimudahkan. Umara yang saleh menganggap rakyatnya merupakan keluarga besarnya, yakni yang lebih tua bagaikan orang tuanya dan lebih muda adalah anaknya, yang sebaya dianggap saudaranya. Umara semacam ini jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya, lahir dan batin.

Umara perusak adalah umara bermental penguasa. Segala hal seolah berada dalam kontrol dan kekuasaannya. Tidak ada beban dalam dirinya menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, rakyat dibebani untuk menyejahterakan dirinya. Penguasa model demikian akan membungkam setiap mulut, membelenggu pena- pena, dan menghukum berdasarkan dugaan. Penjara akan dibuka lebar-lebar untuk menakuti rakyatnya.

Salah satu yang dilakukan Mbah Kiai Syafa’at untuk memperjuangkan kebaikan rakyat ditunjukkan dengan kiprahnya dalam merangkul umara. Dalam pandangan Mbah Kiai Syafa’at sendiri, umara harus sedekat mungkin dengan ulama, dan ulama harus sebisa mungkin merangkul umara. Karena umara tidak hanya membutuhkan dan menggunakan akal untuk mengurus dan memimpin masyarakat, melainkan juga membutuhkan sisi spiritualitas, dan sisi spiritualitas itu hanya dimiliki oleh ulama.

Mbah Kiai Syafa’at adalah ulama’ besar Indonesia, yang berarti mewarisi ilmu nabi. Oleh karena itu, umara perlu dekat dengan Mbah Kiai Syafa’at untuk diberi dan diwarisi ilmu yang diwariskan oleh nabi kepada Mbah Kiai Syafa’at sebagai ulama. Salah satu warisan ilmu tersebut berupa nasihat keagamaan yang diberikan Mbah Kiai Syafa’at kepada umara. Nasihat keagamaan ini selanjutnya dapat digunakan oleh umara untuk bersikap kepada masyarakat dan menjalankan tugas kepemimpinannya.

Berdasarkan keterangan Mbah Kiai Munan, Mbah Kiai Syafa’at memang ulama yang suka merangkul umara dan memuji umara yang datang kepada ulama. Hal itu dikarenakan ketika seorang umara yang memiliki kewenangan dalam menyusun banyak keputusan dan kebijakan dekat dengan ulama, umara tidak serta merta mengeluarkan atau menetapkan kebijakan. Akan tetapi, keputusan tersebut dibawa kepada ulama untuk dimintai pendapat guna mengkaji kemaslahatan yang terkandung dalam keputusan


tersebut. Mbah Kiai Syafa’at juga memiliki keinginan, bahwa umara dapat menjadi pendukung atau penopang saat Mbah Kiai Syafa’at ingin mengadakan program dan kegiatan keagamaan.

Hal itu seperti yang telah terjadi semasa perjuangan Mbah Kiai Syafa’at. Para pejabat di daerah Banyuwangi, bahkan  wakil Presiden Tri Sutrisno datang kepada Mbah Kiai Syafa’at untuk meminta pendapat dan nasihat keagamaan. Inilah yang Mbah Kiai syafat harapkan jika ulama-umara bersatu, yakni memperjuangkan kemaslahatan masyarakat luas.

Konon, Mbah Kiai Syafa’at tidak menginginkan putra-putrinya menjadi Kiai atau pengasuh  pesantren,  tetapi  harus  menjadi umara. Karna memang ulama dan umara tidak dapat dipisahkan. Ulama memang harus dekat dengan umara, tetapi itu lebih baik umara yang ulama. Artinya, umara tersebut memiliki nilai-nilai keislaman. Keinginan Mbah Kiai Syafa’at agar salah satu putra- putrinya menjadi umara terbukti dengan  dipilihnya  Abdullah Munib Syafa’at sebagai pejabat DPR RI.

Keinginan  Mbah  Kiai  Syafa’at  yang  tinggi  untuk  merangkul umara bukan berarti beliau selalu mendukung umara. Jika umara melakukan  hal  yang  salah Mbah  Kiai  syafa’at  tentu  sepenuhnya tidak mendukung. Namun Mbah Kiai syafa’at tetap menjadi penasihat terbaik bagi umara jika umara berada di jalan yang salah.

 

4.     Mengabdikan diri pada Nahdlatul Ulama (NU)

Sebagai salah satu tokoh kunci persatuan masyarakat Banyuwangi, Mbah Kiai Syafa’at memegang peranan cukup penting dalam membidani perkembangan pesat Nahdlatul Ulama (NU), terutama di Wilayah Blambangan. Demi menyambung perjuangan keagamaan dan perjuangan kemerdekaan pada taraf yang lebih luas, Mbah Kiai Syafa’at bergabung dengan para ulama dari daerah lain. Baik melalui jaringan pertemanan sewaktu masih menjadi santri di Jombang maupun saat belajar di Njalen.

Sikap pengabdian diri secara total terhadap NU ini sudah dibangun semenjak nyantri di Tebu Ireng selama kurang lebih 6 tahun. Setelah memutuskan pindah nyantri ke Njalen, Mbah Kiai Syafa’at membawa Ideologi NU ini ke Banyuwangi, khususnya di


Pesantren  Tasmirit  Thalabah,  dengan  dibantu  sang  Kiai.  Syafaat muda mempresentasikan NU dan apa yang diusung oleh NU.

Memang tampak sepintas, peranan Mbah Kiai Syafa’at di Nahdlatul Ulama tidak terlalu menonjol. Namun itu tidak sepenuhnya benar. Buktinya saat memasuki tahun 70-an, Mbah Kiai Syafa’at mulai terlibat aktif dalam kegiatan Nahdlatul Ulama. Tercatat beliau pernah menduduki jabatan kepemimpinan tertinggi dalam struktural NU, mulai dari ketua syuriah tingkat majelis wakil cabang Tegal Sari, ketua Syuriah tingkat cabang Banyuwangi, hingga Mustasyar NU tingkat propinsi.

Di tingkat Majlis Wakil Cabang (MWC) misalnya, kontribusi pengabdian Mbah Kiai Syafa’at dimulai saat mempermak gedung MWC NU Tegalsari layaknya sebuah madrasah diniyyah dalam lingkungan pesantren. Dalam acara mingguan selalu ada acara keagamaan dalam gedung ini, mulai dari pengajian Ihya’ Ulumiddin hingga ritus keagamaan khas NU seperti istighosah, tahlil bersama pengurus, dan masyarakat sekitar. Sedangkan pengabdian Mbah Kiai Syafa’at setelah menduduki pimpinan Syuriah di Banyuwangi di antaranya adalah yang memprakarsai adanya Ikatan pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di Banyuwangi.

Menurut informasi yang penulis peroleh dari hasil wawancara dengan Mbah Muhith Muzadi, Munas 1983 yang melahirkan deklarasi Asembagus Situbondo tentang penerimaan NU sebagai asas tunggal Pancasila, dan kesepakatan untuk kembali ke khittah 1926 memang benar dimotori oleh Mbah KH. Achmad Shiddiq, namun setidaknya dibalik itu semua ada sentuhan-sentuhan Mbah Kiai Mukhtar Syafa’at dalam mendukung bahkan mempengaruhi KH. Achmad Shiddiq.

“Sebelum acara muktamar NU ke-27 tahum 1983 di Situbondo, KH. Achmad Shiddiq selalu berkunjung di kediaman KH. Mukhtasr Syafa’at untuk sharing dan meminta pendapat mengenai asas tunggal Pancasila dalam sudut pandang NU, sedikit banyak masukan yang


didapat oleh Mbah Shiddiq terutama tentang penerimaan NU sebagai asas tunggal Pancasila”.112

Mbah Muhith melanjutkan cerita saat mengenang sosok Mbah

Kiai Syafaat yang kata beliau adalah sosok yang rendah hati. Secara struktural  di  NU  Mbah  Kiai  Syafa’at  memang  tidak  melambung tinggi  seperti  KH.  Achmad  Shiddiq,  namun  beliau  selalu  menjadi rujukan  saat  dimintai  pendapat-pendapatnya.  Konon,  Mbah  Kiai Syafa’at hendak diajak untuk masuk kepengurusan NU di tingkat nasional  (pengurus  besar),  namun  ajakan  tersebu beliau  tolak dengan alasan berat sama santri-santrinya. Benneh, sampean wae kang   seng   melbu   koyok   ngono,   aku   ngemong   santri-santri   lan masyarakat   Blambangan   wae   (Biar,   sampean   saja   yang   masuk (struktural) kepengurusan NU di usat, saya mendidik santri-santri dan masyarakat Blambangan (Banyuwangi) saja.)”.113

 

5.        Mendirikan dan Mengembangkan Madrasah

Pendidikan bagi manusia merupakah hal amat sangat penting dan menjadi sebuah keniscayaan. Dikatakan penting karena pendidikan berkaitan dengan nilai diri manusia, terutama dalam mencari hakikat nilai itu sendiri. Dengan pendidikan, manusia akan mempunyai banyak keterampilan dan kepribadian. Keduanya merupakan sekian banyak dari proses yang dialami manusia untuk menjadi makhluk yang berkualitas baik fisik maupun mental. Pribadi yang berkualitas dan berakhlak mulai tidak datang dengan sendirinya, tetapi ada semacam latihan-latihan atau riyadhah. Kebiasaan yang baik akan berakibat baik dan menjadi bagian dari kepribadian keseharian, sebaliknya kepribadian dan kebiasaan sehari-hari yang buruk juga akan berakibat buruk terhadap kepribadian dan perbuatan dirinya sendiri. Maka pendidikan dalam keseharian manusia menjadi penting artinya dalam rangka melahirkan manusia menjadi manusia yang berbudi dan berperadaban yang luhur.

Pendidikan adalah fitrah dalam mendewasakan intelektual, spiritual humanis-illahiyah dalam kehidupan di dunia, sehingga dalam pendidikan itu sendiri mampu menyadarkan setiap insan dalam mewujudkan khalifah pribadi yang santun dengan alam (habluminal ‘alam), humanis (habluminanas), ketaqwaan vertikal (habluminallah), serta etika life long education (habluminall ‘ilmi). Sejalan dengan itu, filosofi pendidikan islam ialah mewujudkan nilai-nilai idealisme aplikatif dalam mewujudkan pendidikan Nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban  bangsa  yang  bermartabat  dalam  rangka  mencerdaskan  kehidupan   bangsa,   bertujuan  untuk berkembangnya potensi  peserta  didik  agar  menjadi  manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang  Maha Esa,  berakhlak  mulia,  sehat,  berilmu,  cakap,  kreatif,  mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Maksud dari pembentukan watak di sini mengarah pada karakterisasi pendidikan sebagaimana yang sedang di galakan oleh pemerintah. Hal itu juga sebagaimana seminar yang dilaksanakan oleh pusat kurikulum Balitbang pendidikan Nasional yang bertema Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa dan Budaya Bangsa Pedoman untuk Sekolah.

Pendidikan  tidak  hanya  sekedar  transfe ilmu,  tetapi  juga transfer  nilai-nilai  kepribadian  yan baik.  Dengan  adanya  kedua macam transfer tersebut, dimungkinkan manusia menjadi pribadi yang  tida hanya  cerdas  otaknya,  tetapi  juga  cerdas  akhlaknya. Tidak heran jika Allah menyatakan bahwa kepribadian saja belum cukup,  ilmu  saja  juga  belum  ada  artinya,  tetapi  jika  keduanya, antara  ilmu  dan  iman  sudah  menyatu,  maka  kepribadian  dan ketinggian derajat akan diperoleh manusia.114  Sejalan dengan visi- misi   dan   atas   dasar   inilah   Mbah   Kiai   Syafa’at   berinisiatif mendirikan dan mengembangkan Madrasah di pesantren Darussalam Blokagung Banyuwangi.

Untuk      memperkuat      landasannya      tersebut,      menurut Zamakhsyari  Dhofier  saat  berkunjung  di  kediaman  Mbah  Kiai Syafa’at diakhir tahun 70-an (tepatnya 1977), sang Kiai mengutip definisi  pendidikan  dalam  kitab  Fatihatul  ‘ulum  karya  Imam  Al- Ghazali.      Menurut      Mbah      Kiai      Syafa’at—secara      hakikat epistemologi—paradigma     sistemik,     pendidikan,     seharusnya pencapaian sebuah keilmuan ialah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di sisi lain, juga perlunya  pendidikan yang lebih menekankan   pada   internalisasi   afeksi,   dengan   mempertebal keyakinan   dan   memberikan   bekal   life   skill   dalam   menjalani kehidupan     di     dunia.     Sehingga     anasir     pendidikan     dapat diaplikasikan secara tepat guna sesuai dengan keterampilan masing masing. Hal ini tentunya tidak lepas dari paradigma setiap individu dalam   memberikan   deskriptif-analitik   makna   pendidikan   itu sendiri,    sehingga    lebih    populer    bahwa    pendidikan    adalah kebijaksanaan.115

Berawal dari sinilah semangat juang tumbuh dan berkembang menjadi motivasi bagi lahirnya madrasah, baik yang berafiliasi pada pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Madrasah- madrasah ini nantinya memakai kurikulum madrasah atau istilah sekarang madrasah berbasis pesantren.

Menjadi sangat menarik ketika seorang tokoh yang  tidak sampai lulus mengenyam pendidikan di bangku sekolahan namun dapat mendirikan dan mengembangkan pesantren. Dan inilah yang mampu dilakukan oleh Hadroatus Syaikh Al- Fadlil KH. Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur. Pendidikan Madrasah yang ada di pondok pesantren yang beliau rintis rupanya kuat didasari pada pegangan sebuah maqalah ”Al Muhafadlotu ‘Ala Qadimi al-Shalih Wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah (Menjaga perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik)“. Maka berkat tangan dingin beliau, pondok pesantren Darussalam menyelenggarakan beberapa program pendidikan, antara lain :

 

I.  Pendidikan Formal :

A.      Berafiliasi lokal (Kurikulum Pesantren) tediri dari :

1)   Madrasah Diniyyah Al-Amiriyyah Tingkat Shifir (Setingkat TK);

2)   Madrasah Diniyyah Al-Amiriyyah Tingkat Ula (Setingkat SD);

3)   Madrasah    Diniyyah    Al-Amiriyyah   Tingkat    Wustho (Setingkat SMP);

4)   Madrasah Diniyyah Al-Amiriyyah Tingkat Ulya (Setingkat SLTA).

 

B.       Berafiliasi Kementerian Agama RI tediri dari :

1)   Madrasah Tsanawiyyah Al-Amiriyyah (MTs. A) berdiri tahun 1986; (program Unggulan dan regular)

2)   Madrasah Aliyah Al-Amiriyyah (MA A) berdiri tahun 1976; (program IPA, IPS dan Kelas Unggulan)

3)   IAIDA (Institut Agama Islam Darussalam)

 

C.       Berafiliasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tediri dari

:

1)   PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)

2)   Taman Kanak–Kanak Darussalam (TK Darussalam)

3)   Sekolah Dasar Darussalam (SD Darussalam)

4)   Sekolah Menengah Pertama Plus Darussalam (SMP PLUS Darussalam)

5)   Sekolah Menengah Atas Darussalam (SMA Darussalam); (Program IPA, IPS dan Bahasa)

6)   Sekolah Menengah Kejuruan Darussalam (SMK Darussalam) ; (Program Akuntansi, Penjualan,  Tata  Busana, Otomotif, Teknik Komputer Jaringan. Dan akan dibuka program kesehatan)


II. Pendidikan Non Formal :

Meliputi :

A.      Pengajian Sorogan/tahasus;

B.       Pengajian Bandongan;

C.       Pengajian Mingguan;

D.      Pengajian Umum Selapanan/Ahad Legi;

E.       Pengajian Kitab Kuning klasikal (sorogan dan wetonan);

F.       Pesantren Kanak-kanak Darussalam;

G.      Pesantren Tahfidzul Qur’an Darussalam;

H.      TPQ Darussalam;

I.         Bahtsul Masail;

J.        Majlis Bimbingan Al-Qur’an (MBAD);

K.      Majlis Musyawarah Fathul Qorib dan Fathul Muin Darussalam (MUFADA);

 6.     Bergiat    dalam   Bahahtsul     Masa’ail    dan   Kajian Keagamaan

Menurut anggapan umum masyarakat, pondok  pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan yang cenderung melestarikan tradisi-tradisi kepemimpinan feodal yang sentralistik dan otoriter. Ditambah lagi, orang-orang di dalam pesantren, baik kyai, ustadz, dan para santri dianggap kurang peka sosial, cenderung kolot dan kurang bisa mengatasi sebuah permasalahan (problem solving). Persepsi dan pemahaman yang semacam itu tentunya amatlah  sangat keliru dan perlu diklarifikasi adanya. Di lingkungan pondok pesantren ada tradisi unik dalam menyelesaikan problem-problem yang berkembang di masyarakat, baik masalah agama maupun problematika kebangsaan dengan cara bertukar pikiran sesama  santri maupun sesama kyai. Tradisi itu namanya Bahtsul Masail (Forum Pembahasan Masalah).

Bahtsul masail merupakan forum pembahasan masalah- masalah yang muncul di kalangan masyarakat yang belum ada hukum dan dalilnya dalam agama. Peserta bahtsul masail terdiri  dari para kiai, pakar ahli fiqh, dan kalangan profesional yang


bersangkutan dengan masalah yang dibahasnya. Selain tujuannya sebagai forum pembahasan masalah yang berkembang di masyarakat, bahtsul masail juga sebagai forum untuk membangun ukhuwah dan interaksi antar pesantren. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan rutin, baik setiap bulan maupun  tahun,  dan  tempatnya bergilir di beberapa pesantren. Masalah-masalah yang akan dibahas dalam bahtsul masail merupakan usulan dari berbagai pesantren. Usulan masalah itu dikumpulkan dan disaring oleh panitia untuk menjadi tema pembahasan bersama dalam forum tersebut. Bahtsul Masail dilakukan dengan dua cara, yaitu Bahtsul Masail waqi'iyah (aktual) dan Bahtsul Masail maudhu'iyah (tematik). Dengan demikian, pembahasan menjadi lebih luas dan lebih berkembang.116

Mukhtar Syafa’at tidak pernah absen dalam partisipasinya bergiat pada forum pembahasan masalah, baik yang sifatnya domestik antar pesantren di Banyuwangi yang biasanya diadakan di kantor pengurus cabang Banyuwangi, forum Muktamar NU, maupun forum Munas Alim-Ulama NU.

Dalam catatan dokumentasi Muktamar NU ke-27 yang  diadakan di Asembagus Situbondo dan ke-28 di Krapyak Yogya misalnya, Mbah Kiai Syafa’at selalu memberikan ide-ide pemahaman segar dalam forum pembahasan tersebut. Bahkan sebelum forum pembahasan problematika sosial-keagamaan dimulai, Mbah Kiai Syafa’at selalu mengingatkan kepada para hadirin agar semua mengingat kembali substansi forum yang  sedang diadakan. Tujuan dalam Bahtsul Masa’il tidak hanya problem solving atas segala bentuk permasalahan yang dibahas, tapi substansinya adalah bentuk untuk mendekatkan diri kepada Allah.

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 

 

BAGIAN VI

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MBAH KIAI SYAFA’AT

 

M

 
menjadi   sebuah   kesulitan    tersendiri    bagi   penulis   jika diharuskan mengkaji pemikiran seorang tokoh, yang mana tokoh tersebut tidak pernah menuliskan pemikiran dan ataupun pandangan hidupnya ke dalam sebuah karya tulis, baik itu artikel, atau buku. Hal tersebut dirasakan penulis ketika harus mengkaji pemikiran tokoh sekelas dan sekaliber Hadratus Syaikh KH.

Mukhtar Syafa’at Abdul Ghofur.

Akan tetapi, seseorang tidak dapat dikatakan sebagai seorang tokoh jika tidak memiliki karya. Maka, Mbah Kiai Syafa’at adalah sosok atau tokoh yang menuliskan karyanya bukan di atas kertas, namun lebih kepada peran yang dilakukan semasa hidup. Beberapa peran yang dimaksud ialah andilnya dalam pendirian Majelis Musyawarah Pengasuh pesantren (MMPP) Banyuwangi Selatan yang kemudian label ‘belakang’ dihapuskan, kontribusinya dalam pembentukan laskar-laskar gerilyawan melawan penjajah, perjuangan melawan gerakan dalli Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai serta perjuangan-perjuangan lain dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia, dan kiprah-kiprah lain yang beliau sumbangkan hingga akhir hayatnya.

Dari karya-karya tersebut, penulis mencoba mengkaji pemikiran beliau. Selain tentunya mengkaji nasihat-nasihat beliau yang disampaikan kepada keluarga, santri, dan masyarakat


Banyuwangi atau pidatonya saat diundang dalam sebuah pengajian baik di Banyuwangi ataupun di luar Banyuwangi. Di sini penulis mengandalkan wawancara terhadap orang-orang yang pernah berinteraksi langsung dengan Mbah Kiai Syafa’at dan mengumpulkan data hasil dokumentasi dari pesantren Blokagung. Dari data-data dan wawancara tersebut, penulis kemudian memetakan pemikiran tentang agama, pemikiran tentang dakwah, pemikiran tentang politik, pemikiran tentang pendidikan dan pengajaran, pemikiran tentang organisasi, dan pemikiran tentang budaya.

 

1.      Pemikiran tentang Agama

Hidup manusia tidak bisa dilepaskan dari agama. Tanpa   agama, manusia tidak mungkin bisa menjalani kehidupan dengan normal. Mbah Maimun Zubair, pengasuh PP. Al-Anwar Sarang Jawa tengah saat ditemui penulis mengungkap sedikit pengalaman saat berjumpa dengan Mbah Kiai Syafa’at, “Mbah Kiai Syafa’at pernah ngendiko yen menungso tanpa memiliki agomo, kehidupannya tidak akan tenang dan akan klimpungan, bisa jadi jasmaninya gemuk akan tetapi rohaninya akan kurus dan kalau sudah mengurus yang ada hanyalah berbuat hal-hal seperti yang dilakukan binatang”, ujar mbah Maimun seakan merekam apa yang pernah dikatakan Mbah Kiai Syafa’at kepadanya. Jika berbicara tentang agama, maka kurang sempurna jika kita tidak menyinggung tentang  perangkat keagamaan seperti agama adalah sumber moral.

Menurut pemaparan Mbah Kiai Syafaat saat mengisi sambutan saat  diangkatnya  menjadi  ketua  Majelis  Musyawarah  Pengasuh Pesantren  (MMPP)  se-Banyuwangi,  diakui  atau  tidak,  manusia sangatlah memerlukan akhlaq atau moral, karena moral sangatlah penting   dalam   kehidupan.   Moral   adalah   mustika   hidup   yang membedakan  manusia  dari  hewan.  Manusia  tanpa  moral  pada hakekatnya  adalah  binatang  da manusia  yang  membinatan ini sangatlah berbahaya, ia akan lebih jahat dan lebih buas dari pada binatang buas sendiri.117

Tanpa   moral   kehidupan   akan   kacau   balau.   Tidak   saja kehidupan  perseorangan  tetapi  juga  kehidupan  masyarakat  dan negara,   sebab   soal   baik   buruk   atau   halal   haram   tidak   lagi dipedulikan orang. Prof. Dr. Alexis Carrel, seorang sarjana Amerika penerima  hadiah  nobel  1948,  mengatakan  bahwa  moral  dapat digali  dan  diperoleh  dala agama,  karena  agama  adalah  sumber moral paling teguh. Nabi Muhammad Saw di utus tidak lain juga untuk membawa misi moral, yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.118

Selain  sebagai  sumber  moral,  agama  juga  sebagai  sumber informasi  spiritual  metafisika Dalam  sambutan  akhirnya,  Mbah Kiai   Syafa’at   mengutip   pendapat   Ibnu   Khaldun   dalam   kitab Muqaddimah-nya yang dijadikan inspirasi spirit beragama. Dengan lugas   dan   detail   Mbah  Kiai  Syafaat   menjelaskan   bahwa   akal memiliki sebuah timbangan yang tepat, yang catatannya pasti dan bisa  dipercaya.  Tetapi  mempergunakan  akal  untuk  menimbang hakekat dari soal-soal yang berkaitan dengan keesaan Tuhan, atau hidup sesudah mati, atau sifat-sifat Tuhan atau soal-soal lain yang luar  lingkungan  akal,  adalah  laksana  mencoba  mempergunakan timbangan  tukang  ema untuk  menimbang  gunung.  Ini  tidak berarti bahwa timbangannya itu sendiri yang kurang tepat. Hal itu dikarenakan     akal mempunyai batas-batas yang membatasinya.119 Di sini lah peran agama masuk ketika ada hal-hal yang tidak bisa disentuh oleh akal.

Berhubungan dengan itu, persoalan yang menyangkut metafisika masih gelap bagi manusia dan belum mendapat penyelesaian. Semua tanda tanya tentang itu tidak terjawab oleh akal. Dari sini peran vital agama adalah untuk memberikan  petunjuk dan kebenaran metafisik yang tidak mampu dijangkau  oleh akal manusia. Agama mendogma manusia dengan hukum- hukum ta’abbudi ataupun ta’aqquli.

Akan tetapi, jika kita berbicara tentang agama dan aplikasi keagamaan, tentu setiap orang memiliki pandangan tersendiri tentang keagamaan tersebut. Karena agama–yang ditopang oleh al- Quran dan as-Sunnah–adalah dalam bentuk teks yang menjadikan manusia berbeda pandangan dalam memahami agama itu sendiri. Perbedaan tersebut berawal dari cara pemahaman setiap orang dalam menafsiri teks.

Di sini penulis ingin fokus menelaah pemikiran agama yang dipahami oleh Mbah Kiai Syafa’at. Merupakan sebuah keniscayaan ketika kita ingin mendalami pemikiran Mbah Kiai Syafa’at tentang agama, tentunya harus melihat latar belakang beliau dibesarkan, serta latar belakang beliau memperoleh pendidikan dan berorganisasi. Dari sini setidaknya ada dua hal mendasar.

Pertama, yaitu pemahaman tentang Islam yang diperoleh dari paham Islam beraliran ahlus sunnah wa al-jama’ah yang dalam istilah internasional adalah Islam Sunni, atau kalau ditarik ulur ke Indonesia adalah Islam NU, yakni Islam menurut pemahaman mayoritas ulama di Indonesia yang diakomodir dalam wadah yang bernama NU.

Sebagaimana yang kita ketahui secara seksama, pemahaman agama Islam dari kaca mata sunni dan kelompok yang menganggap ahlus sunnah wa al-jam’ah (ASWAJA) sebagai sebuah aliran keagamaan yang berpikir terbuka, bertindak moderat, bersikap toleran dan berjuang dalam menegakkan  kebenaran  dan  memerangi kejahatan, NU merupakan representasi  dari  aliran Sunni atau ASWAJA dalam konteks Indonesia. Jika ditarik  ulur lagi, pemahaman sunni di Indonesia sudah diterapkan sebelum NU lahir yakni sejak era Wali Songo.

Oleh karena itu pula, konsep dan corak pemikiran Mbah Kiai Syafa’at tentang spiritual keagamaan,  khususnya  pemahaman  Islam untuk konteks ke-Indonesia-an lebih banyak bereferensi dari tradisi politik keagamaan sunni dan pola pergerakan budaya ahlus sunnah wa al-jamaah. Pemikiran beliau lebih inklusif dan toleran dalam arti tidak keras namun tegas, tidak  fanatik  namun  kekeh, dan menerima perbedaan pendapat yang ada. Jika ada perbedaan yang sifatnya furu’, selalu beliau lembek. Tapi jika ada pemahaman yang sifatnya sudah merusak asas dan pondasi Islam, beliau  bersikap tegas. Tegas yang dipahami dari pemikiran Mbah Kiai


Syafa’at adalah lebih bersikap idealis dengan mengundang orang yang berpaham berbeda secara asas, lalu berembuk guna mencari solusi kebenaran bersama.

Mbah Kiai Syafa’at terkenal dengan ulama besar asal Blokagung yang memiliki karakter dan cara pandang yang berbeda serta pemikiran yang luas. KH. Ahmad Hisyam Syafaat, putra pertama Mbah Kiai Syafa’at dari istri pertama, saat ditemui di kediamannya menceritakan bahwa abahnya sangat hati-hati dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan sosial keagamaan warga Blokagung. Setiap permasalahan yang dihadapinya selalu dilihat dari berbagai dimensi, lalu dicarikan solusi terbaik. Dalam banyak hal, beliau senantiasa menerapkan alternatif aturan hukum yang paling ringan demi kemaslahatan bersama. Mbah Kiai Syafa’at lebih memilih untuk menerapkan alternatif aturan hukum yang paling ringan yang dapat dijangkau oleh masyarakat, khususnya masyarakat sekitar Blokagung.

Kedua, Sosok dan kiprah Mbah Kiai Syafa’at yang sedemikian rupa tersebut tentunya terlahir dari proses pendidikan yang melatar belakanginya. Dalam hal ini pemikiran tersebut kuat dipengaruhi saat beliau menimba ilmu di pesantren Tebu Ireng Jombang, di bawah asuhan Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau menyaksikan bagaimana para santri senior menerapkan metode berfikir yang cenderung tekstual. Dalam forum musyawarah untuk membahas topik tertentu (baca : Bahtsul Masa’il), acuan utamanya adalah kaidah Ushul dan kaidah fiqhiyyah. Kedua kaidah tersebut dipahami dan dijadikan pedoman yang sudah baku dan statis. Para santri senior pada umumnya yang mengikuti syawir itu berpegang pada tekstualitas fikih yang terdapat dalam kitab-kitab yang dipelajarinya. Hal ini agak berbeda dengan Mbah Kiai Syafa’at yang mempraktekkan proporsional di antara keduanya. Artinya selain berpaku pada teks juga berpaku pada problematika sosial kekinian. Inilah yang beliau sebut dengan hakikat. Jadi beliau tidak hanya menoleh pada syariat namun juga tidak lepas dari yang namanya hakikat, persis dengan apa yang dipraktekkan imam al-Ghazali yang tertera dalam Ihya’ ‘Ulum al- Din-nya.


2.      Pemikiran tentang Dakwah

Agama Islam yang berkembang di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan dari jasa dan usaha para walisongo. Pengaruh yang dibawa walisongo dalam mengembangkan Islam di tanah Jawa sangat besar sekali. Masyarakat Jawa yang pada mulanya penganut aliran animisme dan dinamisme berubah menjadi masyarakat muslim. Perjuangan yang dilakukan tidak mudah dan tidak singkat. Kepercayaan masyarakat pada aliran animisme dan dinamisme sudah sangat mengakar kuat. Oleh sebab itu, diperlukan langkah yang refolutif. Perubahan yang radikal tidak akan menghasilkan simpati                 masyarakat,      justru      hanya      akan      menambah ketidakpercayaan dan gunjingan masyarakat terhadap ajaran Islam. Penyebaran agama Islam oleh Walisongo bahkan ke pelosok- pelosok desa. Setiap wali melakukan dakwah dengan cara dan pendekatan            yang     berbeda-beda                 sesuai     dengan            karakteristik masyarakat di daerahnya. Ajaran Islam pun tersebar sampai di daerah Banyuwangi dan sekitarnya, hanya saja belum dipahami secara baik oleh sebagian besar masyarakat, jadi hanya sebatas tahu

dan sepenggal-penggal.

Tegalsari sebagai bagian dari Banyuwangi bagian selatan juga mengalami perubahan kultural dengan datangnya ajaran Islam, terutama desa Blokagung. Hanya saja ajaran Islam yang berkembang di daerah ini belum merata. Sebagian masyarakat yang berdomisili di bagian selatan Blokagung sudah agak religius, sementara masyarakat di daerah utara dan timur belum bisa menerima ajaran Islam dengan baik dan benar. Di daerah ini sudah didiami oleh seorang tokoh agama Islam yang dengan sabar dan bijaksana mengembangkan ajaran Islam dari tahun ke tahun, turun-temurun dari generasi ke generasi. Beliau sudah malang melintang menyebarkan ajaran Islam tidak hanya di daerah Blokagung, akan tetapi sudah menyebarkan agama Islam (baca : berdakwah) hingga hampir di sepanjang darah Banyuwangi.


3.     Pemikiran tentang Politik

Suatu hari, Mbah Kiai Syafa’at diminta untuk memimpin doa dalam sebuah forum pertemuan para kiai se-Jawa Timur yang bertempat di pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Sebelum memulai do’a, Mbah Kiai Syafa’at sempat mengawali dengan beberapa nasihat politik kepada para hadirin yang notabenenya adalah para Kiai pimpinan pondok pesantren se Jawa Timur. Beliau memberikan pandangan tentang percaturan politik yang ada di Indonesia. Dengan lantang beliau mengatakan bahwa krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan hendaknya dimulai dengan memperbaiki para ulama itu sendiri. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama pun harus memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat akidah dan adab kepada pemimpin.  Dalam  forum  itu  tidak  hanya  diikuti  oleh  para masyayikh, namun juga dihadiri oleh Bupati Probolinggo saat itu.12Nasihat politik yang disampaikan oleh Mbah Kiai Syafa’at ini kuat    dipengaruhi    oleh    pemikiran    politik    Imam    al-Ghazali, sebagaimana   dinyatakan   dalam   kitab   Ihya’   Ulumuddin   juz   II: “Sesungguhnya,  kerusakan  rakyat  disebabkan  oleh  kerusakan  para penguasanya da kerusaka penguas disebabka ole kerusakan ulama,   dan   kerusakan   ulama   disebabkan   oleh   cinta   harta   dan kedudukan;  dan  barang  siapa  dikuasai  oleh  ambisi  duniaw ia  tidak akan  mampu  mengurus  rakyat  kecil,  apalagi  penguasanya.  Allah-lah tempat meminta segala persoalan”.121

Mbah Kiai Syafa’at menambahkan bahwa seorang umara (pemimpin) tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang umara juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji umara secara tidak wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama sejati dalam pandangan Mbah Kiai Syafa’at adalah sebagai ulama al-akhirah”, sama sekali tidak mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas karena menginginkan perbaikan dalam diri umara, negara, dan masyarakat.

Selain itu, beliau berpandangan bahwa agama Islam adalah sebagai faktor politik di Indonesia. Islam anti penjajahan, kekejaman, dan penindasan. Menurut Mbah Kiai Syafa’at, faktor inilah yang mendorong bangkitnya umat Islam  Indonesia menentang kekafiran. Meski Mbah Kiai Syafa’at tidak terjun langsung dalam kancah politik, namun ia selalu mengikuti perjalanan politik di Indonesia. Sering kali dalam  beberapa  ceramah dan sambutan, beliau selalu berbicara layaknya pakar politik. Hal ini tidak lain karena banyak politisi Indonesia yang silaturahmi di kediamannya. Selain itu, beliau aktif membaca surat kabar tentang dunia perpolitikan setiap pagi harinya.


Meskipun terkenal sebagai sosok yang sangat sufi di kalangan para santri dan masyarakat Banyuwangi, namun Mbah Kiai Syafa’at tetap sangat peduli dengan jalannya kekuasaan. Ia selalu menasihati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh dengan glamor kekuasaan dan selalu bersikap mengabdi kepada bangsa Indonesia. Mbah Kiai Syafa’at selalu mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan boleh dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagiaan dunia, dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi, sedangkan pemerintahan adalah penjaga.


Dan terakhir, beliau mengatakan bahwa seorang Kiai boleh dan harus ada yang berpolitik untuk menetralisir perpolitikan di Indonesia yang semakin semrawut. Lalu beliau bercerita panjang lebar tentang bagaimana politik seorang Kiai dan Kiai yang berpolitik mulai dari zaman dakwah Kerajaan yg dijalankan Wali Songo, hingga perang kemerdekaan Indonesia, tak lepas dari politik Kyai. Misalnya, di zaman perjuangan kemerdekaan hingga pada pendirian Republik tercinta ini ada Hadrotusysyaikh KH. Hasyim Asy'ari yang menjadi Ketua Umum MIAI (Masyumi), KH.Wahid Hasyim (Menteri Agama), KH.Bisyri Sansuri, KH.Saifuddin Zuhri (Beliau pernah menjadi anggota DPR dari PNU dan PPP), dan Kiai- kiai dari ormas di luar NU seperti Ki Bagus Hadikusumo, Prof.Rasyidi, dan lain sebagainya. Beliau semua praktisi politik, menjabat pimpinan-pimpinan partai, dalam struktural pimpinan harian, maupun Majelis Syuro.

 

4.     Pemikiran tentang Pendidikan dan Pengajaran

Ilmu pendidikan Islam terkesan terlambat pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan ilmu-ilmu di bidang lain. Hal ini perlu segera diatasi dengan cara menumbuhkembangkan kajian di bidang ilmu pendidikan Islam. Hal itu telah dilakukan Mbah Kiai Syafa’at yang dianggap sebagai tokoh lokomotif pembaharu pendidikan Islam di Indonesia. Pemikiran dan perjuangan Mbah Kiai Syafa’at dalam mengembangkan pendidikan Islam sampai sekarang banyak diikuti oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren. Banyak tumbuh dan berkembang pesantren-pesantren yang bercorak terpadu dengan menggabungkan materi pelajaran agama dan umum. Pada era globalisasi, tidak hanya dibutuhkan generasi yang mahir dalam ilmu agama tetapi juga mahir dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kecemerlangan pemikiran Mbah Kiai Syafa’at tampak dari pemikirannya bahwa dunia pesantren memerlukan jiwa pesantren yang mampu menggerakkan semua aspek yang ada dalam  pesantren. Materi pelajaran bukanlah aspek utama dalam sebuah pendidikan pesantren. Materi pelajaran hanyalah sebuah alat,


sebagaimana   yang   disampaikan   oleh   Mbah   Maimoen   Zubaer kepada penulis, Mbah Kiai Syafa’at memiliki pandangan bahwa hal yang   paling   penting   dalam   pesantren   bukanlah   pelajarannya semata-mata,   melainkan   juga   jiwanya.   Jiwa   itulah   yang   akan memelihara   kelangsungan   hidup   pesantren   dan   menentukan filsafat hidup para santrinya.” 122

Lain halnya Mbah Maimoen, Mbah Kiai Muhyiddin Abdus Shomad, pengasuh pondok pesantren Nurul  Islam  Antirogo  Jember saat ditemui di  kediamannya  menceritakan  pemikiran Mbah Kiai Syafa’at tentang pesantren, pendidikan dan pengajaran sebagai berikut :

Saya melihat mbah Kiai Syafa’at itu adalah kiai yang luar biasa, bisa dilihat bagaimana beliau bisa mendirikan pesantren yang sampai saat ini masih eksis, berkembang sangat pesat bahkan pesantren yang didirikannya menjadi salah satu pesantren yang terbesar di jawa dan itu tidak mungkin bisa bertahan tanpa tangan dingin alm. KH mukhtar syafaat. jadi beliau sebelum wafat sudah sempat menata manajemen keorganisasian dari pesantren yang beliau dirikan, pesantren Blokagung itu memang sudah besar ketika masih dipegang oleh mbah Kiai Syafaat.123

Lebih jauh lagi, Kiai Muhyiddin yang juga menjabat sebagai ketua syuria PCNU Jember menceritakan pengalamannya saat bersama dengan Mbah Kiai Syafa’at dalam sebuah khalaqah pesantren Nurul jadid. Kala itu berkumpul banyak tokoh Nasional, ada alm. KH. Yusyuf Hasyim, KH. Masdar Kholis Mashuri, KH. Maimoen Zubaer, dan kira-kira ada 30 tokoh Nasional kalangan umat Islam. Dalam diskusi tersebut para pemangku pesantren mencari solusi tentang pudarnya budaya pesantren, yakni cara agar bisa mendirikan pesantren seperti ulama’ terdahulu.

Dalam diskusi tersebut dipaparkan model pesantren yang mengusung ideologi dan khilafah, jadi sebelum pesantren itu berdiri ada kelompok elit yang bersama-sama mendirikan pesantren. Kemudian pesantren itu dimasukkan bubuh ideologi dan khilafah yang kemudian disebar ke mana-mana hingga terjadi kekerasan dan pengeboman. Para kiai menemukan jalan buntu dalam diskusi, tentang bagaimana nanti mendirikan pesantren di era globalisasi.

Dalam mencari solusi atau pemecahan tentang kemungkinan beratnya pesantren berdiri di era globalisasi, Mbah Kiai Syafa’at memberikan kontribusi pemikiran. Kontribusi pemikiran pertama, Mbah Kiai Syafa’at menyampaikan bahwa sebenarnya orang pesantren harus percaya diri. Dari percaya diri itu kemudian akan menjadikan orang lain percaya. Ketika pihak pesantren  sendiri  tidak percaya pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin orang lain akan mempercayainya.

Kontribusi pemikiran yang kedua yaklni keteladanan. Mbah Kiai Syafa’at menyampaikan bahwa ulama’ terdahulu itu lebih banyak kepada keteladanan. Sebelum beliau mengajak orang untuk melakukan suatu perbuatan yang baik, beliau terlebih dahulu telah memberikan contoh. Misalnya dalam menganjurkan sholat berjamaah. Mbah Kiai Syafa’at lebih mendahulukan keteladanan ketimbang hanya memberikan wacana tanpa memberikan secara praktis pribadi-pribadi yang menjadi gagasan itu. Kritik Mbah Kiai Syafa’at pada waktu itu, “Yang ada sekarang kan hanya sekedar berbicara dan tidak pernah berkorban untuk kepentingan umat. Berkoar-koar mendorong orang lain praktis  itu  tidak  akan diterima. Kalau belajar dari walisongo, hanya dengan sembilan orang menjadikan negeri ini khususnya di tanah jawa dari yang awalnya mayoritas masyarakatnya beragama hindhu dan budha dalam waktu yang tidak terlalu lama hanya kurang lebih setengah abad sudah berubah menjadi mayoritas muslim”.

Relevansi pemikiran Mbah Kiai Syafa’at terhadap pendidikan dan pengajaran sekarang telah nampak pada munculnya berbagai


lembaga yang dinaungi panji-panji Islam atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren sampai sekarang masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama yang berkualitas, dalam arti mendalam pengetahuan agamanya, agung moralitasnya, dan besar dedikasi sosialnya. Walaupun banyak corak dan warna profesi santri setelah belajar dari pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai bentuk paling ideal, apalagi di tengah krisis ulama sekarang ini.

KH. Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur santri sebagai seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label kiai tidak bisa diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah melihat ilmu, moral, dan perjuangannya di tengah masyarakat. Santri tersebut mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar dengan bahasa sederhana yang bisa  dipahami dan dilaksanakan masyarakat luas.

Memang harus diakui, saat ini alumni pesantren yang mampu muncul sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral,  dan dedikasi sosialnya sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi visi seorang santri dalam melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang berkeinginan menjadi seorang birokrat, kaum professional, intelektual, dan wirausahawan. Ragam profesi yang mereka sandang ini menunjukkan elastisitas dan fleksibilitas pesantren dalam membentuk generasi masa depan bangsa. Namun, fenomena kelangkaan ulama menjadi masalah serius yang menarik untuk diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak pihak. Menurut almarhum KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu. Sehingga  pesantren  sekarang  semakin sulit melahirkan ulama besar. Menurutnya, figur santri  yang mendalam pemahaman aqidah dan syari’ah masih menjadi figur ideal ditengah goncangan pemikiran keislaman yang passif sekarang ini. Di sinilah tantangan besar pesantren, bagaimana memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di satu sisi dan mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga tafaqquh fiddin di sisi yang lain.


5.     Pemikiran tentang Nasionalisme

Beberapa bulan pasca kemederkaan, terjadi peristiwa yang monumental bagi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ketika Inggris mendaratkan pasukan militernya ke bumi Nusantara, maka bangsa ini meresponnya dengan semangat berani mati mengusir penjajah. Di kalangan santri, Nahdhatul Ulama (NU) di bawah komando Hadlatrus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, mengeluarkan sebuah "titah sakti" untuk menanamkan semangat jihad yang disebut dengan resolusi jihad.

Resolusi jihad merupakan maklumat yang disampaikan Hadlatrus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari kepada para santri beserta warga Indonesia untuk berjihad, berperang mengusir kedatangan Inggris di bumi Indonesia yang nota bene sudah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Secara umum, isi resolusi jihad mengisyaratkan dua kategori dalam berjihad. Pertama, fardlu 'ain bagi setiap orang yang berada dalam radius 94 km dari episentrum pendudukan penjajah. Dalam Islam, fatwa "fardlu ain" mengimplikasikan kewajiban yang harus dijalankan bagi setiap orang yang sudah mukallaf (aqil baligh). Kedua, fardlu kifayah bagi warga yang di luar radius tersebut. Namun dalam kondisi tertentu dan darurat, maka bisa dinaikkan statusnya menjadi fardhu ain. Fardlu kifayah merupakan sebuah kewajiban yang menjadi gugur apabila sudah dilakukan oleh salah satu orang dalam sebuah daerah/komunitas.

Kaitannya dengan jarak tempuh sebagaimana isi resolusi jihad tersebut, lokasi Mbah Kiai Syafaat masuk kategori poin yang kedua, artinya tingkatan hukum dalam memperjuangkan kemerdekaan adalah Fardlu kifayah. Namun meskipun hukumnya masuk kategori kedua, tidak lantas membuat Syafa’at muda apatis dan lepas tangan. Santri yang pernah menimba ilmu di pesantren Tebuireng tersebut sepertinya terilhami dan termotivasi dari fatwa jihad yang disampaikan oleh mahagurunya Hadlatrus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari saat di Tebuireng. Hal ini ditampakkan saat beliau menjadi juru fatwa dan bertugas memberi komando penyerangan dikalangkan santri Blambangan, beliau juga turun langsung dalam memimpin santri Blambangan mengusir sisa-sisa serdadu Jepang yang masih berada di bumi Blambangan.124

Kesadaran Nasionalisme Mbah Kiai Syafa’at sebenarnya sudah muncul saat ia aktif berpartisipasi dalam mengusir penjajah di bumi Blambangan. Ia melihat penjajahan telah mengakibatkan rusaknya seluruh tatanan masyarakat Indonesia umumnya dan Banyuwangi khususnya. Penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan ketidakberdayaan, terkuras baik materi maupun rohani. Namun demikian, beliau juga mengetahui bahwasanya penjajah lebih kuat, maju, cerdas, dan canggih persenjataannya, dan lebih modern organisasi pasukannya, Sementara kita masih tercerai-berai, berjuang secara individual sehingga pada akhirnya muncullah sang pejuang yang menjadi inspirasi Syafa’at muda dalam mengusir penjajah di daerah lokal Blambangan. Pejuang yang menginspirasi Syafa’at muda waktu itu adalah Pangeran Diponegoro.

 

6.      Pemikiran tentang Tradisi dan Budaya

Setidaknya ada dua hal yang menjadi keunikan jam’iyyah diniyyah NU ini. Pertama, cara NU menyikapi adat. Indonesia merupakan satu negara dengan ratusan adat. Berbeda  halnya  dengan negara Arab yang lebih dari dua puluh negara namun mempunyai satu adat. Fakta ini tentu perlu dipertimbangkan.  Kedua, cara NU untuk mengerti agama sehingga ia  tidak  kehilangan langkah historis dan tersambung dari sekarang hingga masa Rasulullah SAW. Oleh karena itu, generasi-generasi setelah Nabi Muhammad SAW juga dihitung sebagai referensi Nahdlatul Ulama. Dengan dua ciri pembeda inilah sesungguhnya merupakan wujud apresiasi NU terhadap realitas yang berkembang di sekitarnya. Bukannya memberangus, NU mengapresiasi sambil mengisi nilai-nilai Islam di dalamnya. Ini dalam aspek pemikiran keagamaan. Vandalisme dan anarkhi sosial yang terjadi dalam kehidupan keagamaan dan sosio-kultural membutuhkan peran integratif dari NU. Mengapa? NU dalam bingkai perjuangan mempertahankan NKRI telah terbukti eksis menjadi basis utama. Ajaran ahlussunnah waljama’ah yang dipraktekkan, dengan slogan al-muhafadzah ‘alā al- qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah (memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik), membuat gerak dakwah kultural NU tidak kaku dan menyeramkan meskipun berbenturan dengan tradisi dan budaya yang   berbeda.   Jalan    yang    ditempuh    bukan   menggunakan formalitas, namun esensi.

Dalam bentangan sejarah, ketika NU melakukan advokasi, pendekatan yang digunakan bukan menggunakan tekanan (pleasure), namun ajakan (da’wah). Itulah yang disebut dakwah ala Nabi. Ia bukan memerintah, apalagi melarang, namun hanya menyarankan dan mengajak, disertai dengan uraian sebab dan akibat. Tentu pendekatan seperti ini yang membuat gerakan NU berbasis kultur mendapatkan ruang yang lebih luas di masyarakat. Demikian uraian pemikiran tentang suatu tradisi dan budaya yang dapat ditemukan dari sosok KH. Mukhtar Syafa’at, pendiri dan pengasuh pertama pondok pesantren Blokagung Banyuwangi.

Bapak Hisbullah Huda Sani, salah satu pegawai KUA Tegalsari Banyuwangi yang juga alumnus santri Blokagung menyatakan, strategi perjuangan Mbah Kiai Syafa’at yang erat kaitannya dengan tradisi dan budaya setempat adalah seperti yang diterapkan Sunan Kalijaga, yaitu Cultural approach, pendekatan budaya, dan tradisi masyarakat. Hal itu dilakukan dengan cara mendekati, merangkul, dan kemudian secara perlahan-lahan mengubah kebiasaan masyarakat yang kejawen hingga mencapai taraf memahami agama seutuhnya, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Hal itu bisa dilihat dari diamininya tradisi pagelaran jaranan yang diadakan para santri Blokagung saat haflah akhirissanah, serta acara silaturrahmi ke rumah-rumah orang hindu ketika hari raya Galungan dan Kuningan.125

Selain itu, di daerah sekitar pesantren Blokagung masih sering terdapat budaya wayangan dengan dibubuhi mistik dan gerakan yang mengarah pada perbuatan syirik. Setiap kali ada acara wayangan, sempat beberapa santri datang untuk menghentikannya, namun Mbah Kiai Syafa’at dengan tegas melarang. Bahkan Mbah Kiai Syafa’at mengundang beberapa orang yang ahli dalam perwayanagan untuk mengisi pagelaran di pesantren Blokagung. Di sini peran Mbah Kiai Syafa’at sangat jelas dalam merangkul warga Blokagung yang masih percaya dengan ajaran nenek moyang. Beliau tetap melestarikan budaya wayang namun dengan diasupi dengan pengajian sebelum pagelaran hingga mengubah ritual pra perwayangan dengan beberapa doa-doa dalam Islam.126

*dikutip dari Buku "Mbah Kia Syafaat, Al Ghazalinya Tanah Jawa" Karya Muhammad Fauzinuddin Faiz, Pustaka Illmu