Memahami Tradisi Bulan Suro dalam Perspektif Budaya Jawa dan Islam
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bangorejo mengadakan kegiatan penyuluhan keagamaan dengan tema “Bulan Suro Menurut Pandangan Orang Jawa” yang diselenggarakan di lingkungan Masjid AL-HALIM Kedungagung Sambimulyo.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang nilai-nilai kultural dan spiritual yang berkembang di masyarakat Jawa, khususnya terkait bulan Suro, bulan pertama dalam penanggalan Jawa yang memiliki banyak makna simbolis dan spiritual.
Makna Bulan Suro dalam Tradisi Jawa
Dalam masyarakat Jawa, bulan Suro sering dipandang sebagai bulan sakral dan penuh kehati-hatian. Banyak orang tua Jawa meyakini bahwa bulan ini adalah saat yang tepat untuk introspeksi diri, berdoa, tirakat, dan menjauhi kegiatan yang bersifat hura-hura atau perayaan besar seperti pernikahan.
Beberapa tradisi yang masih dilakukan di bulan Suro antara lain:
Tapa brata (laku prihatin) seperti puasa mutih, puasa Senin-Kamis, atau tirakat semalam suntuk atau puasa ngebleng.
Ziarah kubur, khususnya ke makam leluhur.
Ruwatan atau bersih desa, sebagai simbol penyucian diri dan lingkungan dari hal-hal negatif.
Namun demikian, sebagian masyarakat juga masih mencampurkan keyakinan terhadap mitos dan unsur mistik, seperti anggapan bahwa menikah di bulan Suro akan membawa kesialan, atau bahwa bulan ini rawan dengan gangguan gaib seperti tidak sudinya Kanjeng Ratu Laut Selatan, Nyi Roro Kidul.
Perspektif Islam: Meluruskan Pemahaman
Melalui kegiatan ini, penyuluh agama dari KUA Kecamatan Bangorejo, Syarif Nur Hasan,S.H,I menjelaskan bahwa dalam Islam, semua bulan memiliki kedudukan yang sama kecuali bulan-bulan haram yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
“Suro, diambil dari ‘ASYURO yang dalam penanggalan Hijriah dikenal sebagai bulan Muharram, justru adalah salah satu bulan mulia. Islam menganjurkan kita untuk memperbanyak amal ibadah seperti puasa, zikir, dan sedekah di bulan ini. Tapi Islam tidak mengajarkan kita untuk takut menikah atau melakukan hal-hal baik di bulan Suro,” jelasnya.
Penyuluhan ini juga mengajak masyarakat untuk menghargai kearifan lokal, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Islam hadir bukan untuk menghapus budaya, tetapi untuk meluruskannya agar sesuai dengan nilai-nilai tauhid.
Menjaga Harmoni Budaya dan Agama
Kegiatan diakhiri dengan diskusi,tanya jawab. Salah seorang jamaah sebut saja namaya Ibu Umaya bertanya tentang hukum adat dan kepercayaan yang masih ada di tengah masyarakat terkait tidak bolehnya melangsungkan perkawinan di bulan Syuro. Ia beterima kasih dan merasa tercerahkan dan mulai memahami pentingnya menyeimbangkan antara tradisi leluhur dan ajaran Islam yang murni.
“Budaya itu warisan berharga, tapi jangan sampai melenceng dari tauhid. Justru kalau kita memahami dua-duanya, kita bisa menjadi muslim yang bijak dan tetap memegang jati diri sebagai orang Jawa,” tutupnya dengan membaca Fatikhah dan Doa kafarotul majlis sebagai tanda usainyta acara. (kuabangorejo2025)