VAKSINASI VIRUS KORONA PERLU DIIKUTI DENGAN VAKSINASI RADIKALISME
Oleh
: M. Rosyidin
Pada tanggal 13 Januari 2021 dimulai vaksinasi
untuk melawan virus covid-19. Jokowi akan maju sebagai pihak pertamakali yang divaksin.
Tentu hal ini adalah langkah baik menuju Indonesia yang bebas corona. Namun
jangan dilupakan, perlu vaksinasi lain agar Indonesia lebih kebal lagi dari
"virus" lain, yakni radikalisme.
Di
Indonesia selama tahun 2020 terjadi penangkapan 228 tersangka terorisme oleh
Densus 88. Densus juga membongkar satu dari 12 pusat latihan teroris kelompok
jaringan Jamaah Islamiyah di Jawa Tengah. Kelompok ini telah merekrut generasi
muda sejak tahun 2011 sampai tahun 2018 dengan total 96 orang anggota dari 7
angkatan. Hal yang cukup nggegirisi, mereka memilih santri atau pelajar cerdas
ranking 1-10 untuk menjadi sasaran ajaran radikalnya. Secara simpel, ajaran
radikal dijelaskan dalam buku saya "Kontranarasi
Melawan Kaum Khilafers: Bacaan Praktis Bagi Gen Y dan Gen Z (2020)". Kriteria kelompok radikal
di Indonesia adalah mereka adalah pihak yang anti-NKRI termasuk kelompok
separatis, anti-Pancasila, dan aliran agama yang gampang memberi stigma kafir
pada liyan.
Sasaran
empuk kelompok radikal adalah generasi Y dan Z. Alasannya, rasa curiosity yang tinggi, juga secara
kuantitas relatif banyak. Dengan demikian, mereka berpeluang besar "terinfeksi" gagasan radikalisme. Dengan
alasan ini, wajar di situs arabnews.com
(Februari 2020) diulas berita berjudul Indonesia targets virus of religious
radicalization. Isinya penjelasan Mahfud MD bahwa pemerintah khawatir jika para
kombatan dipulangkan, mereka bisa menjadi virus baru yang berbahaya bagi
Indonesia. Kombatan yang hendak pulang ke NKRI bisa membawa virus radikalisme
saat mereka berbaur dengan generasi muda.
Sebenarnya
potensi menginfeksi tidak hanya via darat saja, saat ini kelompok radikal
berekspansi di medsos dengan berbagai strategi canggih. Situs nytimes.com pada November 2018 memuat
opini berjudul The New Radicalization of
the Internet. Intinya, media sosial memainkan peran kunci dalam kebangkitan
ekstremisme sayap kanan di Amerika Serikat.Tentu hal ini juga terjadi di
belahan negara lain. Pada Mei 2018, Kemkominfo mengungkap 143 juta pengguna
media sosial berpotensi terkena virus radikalisme dan terorisme.
Karena
media sosial sudah menjadi dunianya gen Y dan gen Z, maka cara terbaik untuk
menyelamatkannya bukan dengan menghindarkan atau melarang mereka mengakses
informasi dari kelompok radikal. Pencegahan seperti ini adalah muskil karena seluruh informasi
termasuk radikalisme pasti hinggap ke bilik privat gen Y dan gen Z karena
faktor gawai yang mereka pegang. Melarang mereka memegang gawai juga pelik.
Apalagi saat pagebluk yang mengharuskan para pelajar (juga sebagian besar
santri) untuk belajar secara daring. Problematisnya, disinyalir saat pandemi
ini potensial dimanfaatkan kelompok radikal.
VAKSINASI GEN Y DAN GEN Z
Ada
beberapa strategi menghadapi kelompok radikal, salah satunya dengan menjaga dan
merawat tradisi-budaya yang ada. Errol Louis dalam nydailynews.com (Agustus
2017) menyinggung bahwa vaksin melawan
ekstremisme adalah budaya dan faith. Memang budaya mampu menangkal radikalisme.
Dalam konteks radikalisme dari splinter
muslim, pelakunya rata-rata adalah mereka yang anti budaya. Sudah banyak
bukti saat kelompok radikal baik ISIS maupun Taliban berkuasa, maka situs
budaya menjadi tidak berharga, bahkan dihancurkan. Dengan demikian, bilamana
banyak orang merawat dan mencintai budaya, secara otomatis radikalisme akan
terkikis. Hanya saja Louis belum begitu jelas terkait korelasi faith yang
dianggap bisa melawan radikalisme. Kalau faith dimaknai beragama, maka kelompok
radikal juga beragama. Kalau faith
dimaknai keimanan, maka kelompok
radikal juga mempunyai keimanan.
Selain
budaya, ada strategi lain yang satu aras dengan model nalar gen Y dan Z yang
punya rasa curiosity, yakni mengenalkan sekaligus melakukan kontranarasi atas
gagasan radikal. Hal ini saya sebut dengan vaksin radikalisme. Dalam dunia medis dikenal upaya menanggulangi
penyakit dengan menguatkan antibodi yang ada dalam tubuh. Juga diciptakan
vaksin yang salah satu caranya dengan diambilkan dari virus atau bakteri yang
dilemahkan. Dengan cara ini, tubuh bisa mengatasi penyakit yang masuk.
Melawan
kontaminasi ideologi radikal perlu mereplikasi treatment di dunia medis. Dalam
diri manusia terdapat benteng pertahanan dari masuknya agen baru ke memori
kita. Benteng itu adalah sikap kritis. Sikap kritis inilah sebenarnya "antibodi" yang bisa menolak gagasan radikal dan sejenisnya yang
menyusup ke dalam memori manusia. Walakin, di era post truth dengan masifnya
penyebaran firehouse of falsehood yang satu sisi mampu menciptakan sesuatu yang
salah dianggap benar, juga bisa menjadikan individu mudah termakan hoaks karena
enggan melakukan penelusuran sebagai komparasi info yang beredar. berpikir.
Kesemuanya potensial menjadikan daya kritis manusia melemah.
Untuk itu perlu diperkuat dengan "menyuntikkan" gagasan radikal yang
telah dilemahkan. Melemahkan gagasan radikal yang akhirnya menjadi vaksin
diproduksi melalui kontranarasi dari narasi yang disebarkan kelompok radikal.
Kontranarasi ini lalu
"diinjeksikan" kepada gen Y dan gen Z. Semisal, mereka menebar narasi stigmatik
terhadap lawan politik dengan label munafiq, zalim, kriminalisasi dan
sebagainya. Atau mereka membuat jebakan nalar bahwa kitab suci lebih tinggi
dari Pancasila, lalu digiring untuk memilih kitab suci dan mencampakkan
Pancasila. Atau penyebaran wacana bahwa
nomenklatur NKRI atau republik tidak ada
dalam hadis, beda dengan khilafah,
selanjutnya digiring sebagai umat beragama yang taat harus memilih
khilafah. Pun mereka mengatakan khilafah adalah ajaran Islam yang
tertulis dalam kitab kuning, beda dengan NKRI yang tidak dijumpai redaksinya
dalam khazanah Islam.
Tidak
ketinggalan sebaran gagasan demokrasi bertentangan dengan Islam, ataupun
pembelokan makna hijrah. Mereka menebar
narasi itu, tentu harus kita jawab dengan kontranarasi. Kontranarasi inilah vaksin ideologi yang
selaras dengan aras nalar gen Y dan Z untuk melawan dan melemahkan ideologi
radikal.
Di
awal 2021 sudah seharusnya memulai menutup seluruh pintu-pintu gagasan radikal
dalam masyarakat dengan kontranarasi berupa memberikan vaksinasi anti radikal,
sebagaimana kita memulai vaksinasi virus korona bagi rakyat Indonesia. Jayalah
NKRI, baldatun tayyibatun warabbun Ghofur.
**
Kata
Ribka Tjiptaning yang patut diapresiasi: NEGARA TIDAK BOLEH BERBISNIS DENGAN
RAKYATNYA
*Rosyidin
; Kepala KUA Kecamatan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi