Hari ini saya dihadapkan pada dua undangan. Yang satu: di Untag Banyuwangi. Yang satunya lagi: di acara penyuluh Kementerian Agama. Yang pertama, menggiurkan. Ruang seminar. Pendingin ruangan. Deretan profesor. Budayawan lokal. Diskusi serius. Bahasa akademik. Undangan pun sudah saya sampaikan ke pimpinan sehari sebelumnya. Formal. Resmi.
Yang kedua, sederhana. Aula biasa. Acara internal. Orang-orang yang sehari-hari saya temui. Saya sebenarnya tidak wajib hadir. Sudah ada petugas yang ditugaskan. Sudah ada rundown. Acara bisa berjalan sendiri. Tapi... tetap saja, ada sesuatu yang membuat saya terpanggil ke sana.
Hidup, kata orang-orang bijak, adalah tentang pilihan. Dan kadang, pilihan itu tidak selalu soal benar atau salah. Tapi soal di mana hati kita merasa damai.
Saya akhirnya menyampaikan ke Prof. Dr. Novi, dosen dari Universitas Negeri Jakarta yang mengkoordinasi kegiatan budaya itu. Saya sampaikan permohonan maaf. Saya utarakan alasan saya. Beliau membalas dengan tenang, bahkan hangat: “Itu tugas kantor. Tidak apa-apa. Acara ini sampai besok.”
Saya terdiam. Kadang, orang besar terlihat dari kalimat kecilnya. Saya pun berangkat ke acara penyuluh. Tanpa atribut istimewa. Tanpa posisi. Tanpa kursi khusus. Karena saya memang bukan siapa-siapa. Saya hanya staf biasa. Tidak punya jabatan apa-apa.
Tapi justru di sanalah letak pertaruhan moral saya. Saya tidak bisa duduk di dua kursi sekaligus. Maka saya harus memilih. Dan ketika dua agenda bertabrakan, saya pegang satu kaidah kecil yang saya pelajari sejak awal bekerja:
Kalau bingung memilih, pilih yang menghidupi. Saya bekerja di Kementerian Agama. Di situlah saya digaji. Di situlah saya menandatangani presensi. Di situlah saya diberi amanah. Maka, ke situlah saya kembali.
Bukan berarti saya menolak dunia akademik. Bukan berarti saya anggap rendah kegiatan budaya. Saya juga cinta buku. Saya juga suka diskusi. Saya juga menghormati budayawan dan profesor. Saya hanya tidak ingin mengkhianati tempat saya mengabdi.
Saya ingin gaji saya berkah. Itu saja. Saya ingin ketika anak saya jajan pakai uang dari dompet saya, uang itu tidak membawa keraguan. Saya ingin ketika saya membeli beras, membeli seragam sekolah, membayar listrik—semuanya berasal dari uang yang saya peroleh dengan tanggung jawab penuh, bukan sekadar kehadiran fisik, tapi pilihan etis.
Saya tahu saya hanya staf biasa. Tidak punya jabatan. Tidak punya pengaruh. Tidak disebut dalam rundown. Tapi saya tetap ingin hadir sebagai pribadi yang memilih dengan sadar.
Saya tidak butuh tepuk tangan. Tidak sedang membela diri. Saya hanya ingin bisa menatap cermin dan berkata:
"Hari ini, kamu tidak lari dari tugasmu."
Jos ji
BalasHapus