Abstrak
Penentuan
awal bulan Hijriyah memiliki peran penting dalam pelaksanaan ibadah umat Islam,
seperti Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Di Indonesia, metode rukyatul hilal
(pengamatan bulan sabit muda) menjadi pendekatan utama yang digunakan oleh
pemerintah dan sebagian besar ormas Islam. Artikel ini membahas metode rukyatul
hilal dari sudut pandang astronomi, praktik di lapangan, tantangan yang
dihadapi, serta implikasi sosial dan religiusnya. Artikel ini juga
membandingkan rukyat dengan metode hisab (perhitungan astronomis), serta
bagaimana keduanya diintegrasikan dalam sidang isbat oleh Kementerian Agama
Republik Indonesia.
Pendahuluan
Penanggalan
Hijriyah, sebagai kalender lunar Islam, memiliki peran vital dalam menentukan
waktu ibadah umat Islam. Salah satu metode utama dalam menetapkan awal bulan
Hijriyah adalah rukyatul hilal, yakni pengamatan langsung hilal (bulan sabit
pertama) setelah matahari terbenam pada hari ke-29 setiap bulan Hijriyah. Di
Indonesia, metode ini sering dikombinasikan dengan hisab (perhitungan
astronomis) dalam penentuan awal bulan oleh pemerintah.
Sejarah dan
Perkembangan Rukyatul Hilal di Indonesia
1. Masa
Klasik dan Tradisional
Praktik
penentuan awal bulan Hijriyah dengan metode rukyat sudah dikenal sejak masa
kedatangan Islam di Nusantara, sekitar abad ke-13. Pada masa kerajaan-kerajaan
Islam seperti Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten, penentuan awal Ramadan
dan Idul Fitri dilakukan berdasarkan pengamatan bulan yang dilakukan oleh para
ulama istana atau ahli falak. Namun, pengamatan saat itu masih sangat sederhana
dan tidak sistematis karena belum adanya standar instrumen maupun metode
astronomis modern.
2. Awal
Abad ke-20: Institusionalisasi Awal Hisab dan Rukyat
Pada awal
abad ke-20, kesadaran akan pentingnya penanggalan Hijriyah yang lebih
terstandar mulai berkembang. Organisasi Islam seperti Muhammadiyah (didirikan
1912) mengembangkan metode hisab dengan pendekatan ilmiah yang lebih kuat,
sedangkan Nahdlatul Ulama (NU, didirikan 1926) lebih mempertahankan metode
rukyat dengan dasar syar’i.
Pada masa
ini pula, ahli falak seperti KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) dan KH. Asnawi
Kudus (NU) mulai dikenal karena kontribusinya dalam pengembangan ilmu falak dan
metode penentuan awal bulan.
3. Era Orde
Lama dan Orde Baru: Peran Pemerintah Menguat
Setelah
kemerdekaan Indonesia, pemerintah mulai berperan aktif dalam penentuan awal
bulan Hijriyah. Pada tahun 1950-an, Kementerian Agama mulai memfasilitasi
pelaksanaan rukyatul hilal dan menetapkan hari-hari besar Islam secara
nasional.
Pada era
Orde Baru (1966–1998), sidang isbat diperkenalkan sebagai forum resmi untuk
penetapan awal bulan Hijriyah, khususnya Ramadan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Sidang ini mengintegrasikan laporan rukyat dari berbagai daerah dan data hisab
dari para ahli falak.
4.
Modernisasi dan Teknologi (1990-an–Sekarang)
Sejak tahun
1990-an, perkembangan teknologi astronomi seperti teleskop, kamera CCD, dan
software falak telah meningkatkan akurasi rukyat. Lembaga-lembaga seperti BMKG,
LAPAN (sekarang BRIN), dan beberapa perguruan tinggi mulai aktif terlibat dalam
pengamatan hilal.
Kementerian
Agama juga secara berkala memperbarui kriteria imkanur rukyah yang digunakan.
Pada 2021, Indonesia bersama anggota MABIMS (Brunei, Malaysia, Indonesia,
Singapura) menyepakati kriteria baru: tinggi hilal minimal 3° dan elongasi
minimal 6,4°, mulai diterapkan secara resmi sejak 2022.
5.
Integrasi Hisab-Rukyat dan Harmonisasi Nasional
Upaya
harmonisasi antara penganut hisab dan rukyat terus digalakkan. Forum Rukyatul
Hilal Nasional dan seminar hisab-rukyat rutin diselenggarakan untuk menyamakan
persepsi. Meskipun perbedaan penetapan masih terjadi, khususnya antara
Muhammadiyah dan pemerintah/NU, tingkat toleransi masyarakat Indonesia dalam
menyikapi perbedaan ini cukup tinggi.
Metode Rukyatul Hilal
Rukyatul
hilal merupakan proses observasi visual terhadap bulan sabit muda yang muncul
setelah konjungsi (ijtima’), yakni peristiwa astronomis ketika matahari dan
bulan berada dalam bujur ekliptika yang sama. Pengamatan dilakukan setelah
matahari terbenam, dengan lokasi strategis di tempat tinggi dan menghadap ke
arah barat. Kementerian Agama RI biasanya menunjuk puluhan titik rukyat di
seluruh Indonesia.
Kriteria
hilal yang digunakan di Indonesia sebelumnya mengacu pada kriteria imkanur
rukyah (kemungkinan terlihatnya hilal), dengan parameter ketinggian bulan
minimal 2° dan elongasi minimal 3°. Namun sejak 2022, Indonesia bersama
negara-negara anggota MABIMS (Brunei, Malaysia, Indonesia, dan Singapura)
mengadopsi kriteria baru: ketinggian hilal minimal 3° dan elongasi minimal
6,4°.
Metode Hisab dan Integrasi dengan Rukyat
Hisab
adalah metode matematis dan astronomis untuk menghitung posisi bulan dan
matahari. Meskipun sangat presisi, metode ini tidak selalu diterima secara
mutlak dalam penentuan awal bulan karena beberapa ormas Islam tetap
mensyaratkan rukyat sebagai konfirmasi visual.
Dalam
praktiknya, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama mengintegrasikan
kedua metode ini dalam sidang isbat, yaitu forum resmi yang melibatkan
pemerintah, ormas Islam, ahli astronomi, dan perwakilan negara sahabat untuk
menetapkan awal bulan Hijriyah berdasarkan hasil rukyat yang diperkuat dengan
data hisab.
Tantangan dan Perbedaan Pendapat
Perbedaan
metode dan kriteria sering kali menyebabkan perbedaan awal bulan, seperti awal
Ramadan atau Idul Fitri antara satu ormas dengan ormas lain. Muhammadiyah,
misalnya, menggunakan hisab wujudul hilal (bulan dianggap telah ada jika telah
terjadi ijtima’ sebelum matahari terbenam dan bulan terbenam setelah matahari)
sehingga bisa berbeda dengan hasil rukyat pemerintah.
Selain itu,
faktor cuaca dan polusi cahaya di lokasi rukyat bisa menghambat pengamatan.
Dalam beberapa kasus, hilal secara astronomis mungkin telah memenuhi kriteria,
tetapi tidak teramati karena cuaca mendung.
Implikasi Sosial dan Keagamaan
Perbedaan
dalam penetapan awal bulan bisa berdampak sosial, seperti perbedaan hari raya
antara satu kelompok dengan kelompok lain. Meski demikian, masyarakat Indonesia
umumnya mampu menjaga toleransi dan menghormati perbedaan tersebut. Upaya
harmonisasi terus dilakukan, salah satunya melalui forum Musyawarah Rukyatul
Hilal dan pengembangan kalender Hijriyah global.
Kesimpulan
Rukyatul
hilal tetap menjadi metode utama dan memiliki legitimasi syar’i yang kuat dalam
penentuan awal bulan Hijriyah di Indonesia. Kombinasi antara rukyat dan hisab
mencerminkan pendekatan moderat yang menjaga akurasi ilmiah tanpa mengabaikan
aspek keagamaan. Ke depan, diperlukan penguatan edukasi masyarakat, peningkatan
akurasi instrumen rukyat, dan sinergi antara ormas untuk mengurangi perbedaan
dalam penetapan awal bulan Hijriyah.
Oleh : Wahyu Fadhli Pribadi, S.H. (Penyuluh Agama Islam pada KUA Tegaldlimo)
Daftar Pustaka
1.
Kementerian Agama RI. (2023). Panduan Penetapan Awal Bulan Hijriyah.
2. Hilmi,
M. (2021). Astronomi Islam: Antara Hisab dan Rukyat. Yogyakarta: UII Press.
3. MABIMS.
(2022). Kriteria Imkan Rukyat MABIMS Terbaru.
4.
Muhammadiyah. (2023). Pedoman Hisab Muhammadiyah.
5. Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). (2023). Data Astronomi
Penentuan Awal Bulan Hijriyah.