Al-Hikam, Cheng Ho, dan Perjalanan Pulang yang Tak Pernah Usai

 Al-Hikam, Cheng Ho, dan Perjalanan Pulang yang Tak Pernah Usai

oleh : Syafaat

Ada masjid tanpa dinding di Banyuwangi ini, namanya Cheng Ho. Angin melenggang masuk tanpa permisi, tanpa pula bisa ditolak. Persis hidup. Kadang ia datang menggedor, kadang menyusup pelan, tanpa aba-aba, di sana, saban Senin malam Selasa, dua pekan sekali, saya ikut duduk. Bukan karena hampa, bukan pula hendak mencari kebahagiaan yang digembar-gemborkan para penceramah di televisi. Saya datang karena lelah. Hanya itu. Dan lelah, bagi saya, adalah pengakuan paling jujur di hadapan Tuhan. 


Kami, yang lelah ini, menanti suara Gus Kholiq. Seorang kiai muda, tutur katanya tak hendak menguasai, apalagi menggurui. Ia hanya ingin tinggal sebentar, seperti sehelai daun gugur yang menempel di dada, sebelum kemudian luruh kembali. Gus Kholiq membaca Al-Hikam, seolah ia sedang membuka surat yang sekian lama tertunda. Bukan surat cinta, bukan pula surat ancaman, melainkan semacam wasiat dari ayah kepada anaknya yang sudah dewasa, tapi masih saja sesekali menangis dalam tidur. Ada semacam kelembutan yang tak terkatakan dalam setiap jeda, setiap napas.

Malam-malam itu, saya belajar bahwa Tuhan memang tak pernah terburu-buru. Ia tak menuntut kita sempurna, tak pula mewajibkan kita untuk selalu tampil perkasa. Ia hanya ingin kita hadir. Duduk. Menyimak. Lalu pulang dengan dada yang sedikit lebih ringan. Bukankah itu saja sudah cukup? Bahwa beban yang selama ini menghimpit, entah bagaimana, meluap sedikit demi sedikit, seperti embun yang menguap disambar mentari pagi.

Di pengajian itu, tak ada perlombaan menjadi yang paling saleh, tak ada perebutan jawaban paling benar. Kami hanya mendengar. Kadang tawa pecah, renyah. Kadang diam menguasai, sunyi, seolah baru menyadari betapa kosongnya hidup yang selama ini terlalu penuh sesak oleh kehendak dan keinginan. Saya menyukai masjid ini karena ia tak memaksa siapa pun menjadi siapa-siapa. Seorang mantan pejabat, yang mungkin di kantornya selalu dikelilingi ajudan, di sini duduk bersedekap di pojok, tak ada bedanya dengan siapa pun. Dan mungkin itulah hikmah paling besar yang bisa dipetik dari sebidang tanah ini: menjadi siapa saja. Tak perlu topeng, tak perlu peran. Hanya diri sendiri, dengan segala lelah dan kerentanan.

Al-Hikam bukan kitab motivasi yang menjanjikan kesuksesan duniawi. Ia bukan modul yang membuat kita merasa kuat. Justru sebaliknya, ia seperti memberi izin untuk hancur, untuk merasakan rapuh. Karena dari kehancuran itulah, barangkali, kita benar-benar mengenal makna pulang. Bukan pulang ke rumah, melainkan pulang ke diri yang paling hakiki, ke asal segala sesuatu.

Ada satu malam, Gus Kholiq membacakan, "Jangan kamu berduka karena kehilangan sesuatu dari dunia. Karena apa yang luput darimu, tak pernah ditakdirkan menjadi milikmu." Kalimat itu menusuk, pelan, seperti tangan yang meraba luka lama yang sudah sekian lama tak tersentuh. Bukan untuk menyembuhkan, melainkan untuk memastikan: luka itu masih ada. Dan tak apa-apa. Ada semacam penerimaan yang menghibur dalam kesadaran itu.

Usai pengajian, kami makan bersama. Lauknya sederhana, kadang tempe, kadang tahu, kadang tewel—nangka muda yang direbus—disertai kerupuk dan sambal seadanya. Tapi entah mengapa, rasanya seperti menyantap hidangan surga yang tak terlalu sibuk mencatat dosa. Lalu, kopi diseruput. Bukan kopi mahal dari kafe ternama, melainkan kopi rumahan yang diseduh dengan cinta, entah dari dapur siapa. Di tangga masjid, obrolan mengalir santai. Tentang cucu, tentang kenangan, tentang hidup yang kadang terasa seperti cerita lama yang tak kunjung usai.

Saya tak tahu apakah semua yang duduk di sana sedang lelah. Tapi saya tahu kami semua sedang mencari arah pulang. Dan Al-Hikam adalah penunjuk arah yang tak pernah membentak, tak pernah mendesak. Ia hanya menunggu. Kadang bertahun-tahun, kadang sepanjang hidup. Seperti penunjuk arah yang sabar, ia tak pernah memarahi jika kita tersesat.

Malam itu, Gus Kholiq bertanya, "Gus, kenapa kita sudah salat, sudah sedekah, tapi hidup masih berat?" Gus Kholiq tersenyum, seperti pertanyaan itu sudah sering ia dengar, bahkan mungkin dari dirinya sendiri. Lalu ia membaca satu hikmah: "Keinginanmu agar Allah memberi apa yang kamu mau, itu tanda kamu belum benar-benar mengenal-Nya."

Kami terdiam. Diam yang tidak canggung, diam yang terasa seperti peluk yang tak terlihat, tapi nyata. Seketika, saya teringat doa-doa saya yang cerewet, yang panjang, yang sering terdengar seperti daftar belanjaan. Malam itu, saya sadar: saya terlalu sering menyuruh Tuhan, bukan memanggil-Nya. Saya terlalu sibuk mengatur skenario, bukan menyerahkan diri pada sutradara agung alam semesta.

Orang-orang bilang, pengajian bisa ditonton dari rumah. Ada siaran langsungnya di YouTube, di kanal Radar Banyuwangi. Tapi saya tahu, itu tak sama. Suara yang membasuh hati tak bisa disiarkan. Ia harus dialami. Seperti mencium aroma kopi dari balik kaca toko, tapi tak pernah benar-benar mencicipinya. Saya ingin terus datang. Karena kehadiran itu bukan sekadar fisik. Tapi tentang getar sajadah, tentang suara air wudu yang membasahi lantai, tentang senyum tanpa nama yang menghangatkan.

Kita, manusia, adalah makhluk pelupa. Sudah diingatkan, lupa lagi. Dan mungkin itulah alasan mengapa pengajian semacam ini tak boleh berhenti. Ia bukan sekolah, bukan seminar. Ia hanyalah ruang di mana kita diizinkan untuk menjadi lemah, untuk merangkak, tanpa merasa bersalah. Kalau nanti saya tak bisa datang, saya mungkin akan menontonnya dari rumah. Tapi saya tahu, saya tak akan merasakan angin yang sama, tak akan mendengar suara tewel yang dituang ke piring, tak akan melihat mata Gus Kholiq yang seperti menahan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Dan malam-malam tanpa itu, akan terasa sunyi.

Hidup, ternyata, bukan tentang menang. Tapi tentang kembali. Dan Al-Hikam tak pernah mengajarkan cara memenangkan dunia. Ia hanya menunjukkan jalan pulang. Pelan-pelan. Tanpa desakan. Karena barangkali, kita memang tak pernah benar-benar pergi. Kita hanya lupa arah.

Saya masih belum selesai dengan diri saya sendiri. Masih banyak simpul yang belum terurai, banyak luka yang belum kering. Tapi saya ingin terus duduk di sana. Di bawah suara yang tidak ingin menggurui, di antara orang-orang yang diam-diam sedang menyembuhkan diri. Dan kalau nanti saya benar-benar sembuh, saya ingin tetap duduk di sana. Bukan karena saya butuh, tapi karena saya ingin menemani mereka yang masih lelah. Karena bukankah itu yang diajarkan Al-Hikam: tidak menjadi yang paling suci, tapi menjadi tempat pulang yang paling sunyi. Tempat di mana kita tak perlu berpura-pura, tempat di mana kita bisa menjadi apa adanya, semata-mata, di hadapan keagungan-Nya.


Cheng Ho Banyuwangii, 28-07-2025

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama