WALI NIKAH MENOLAK, KEPALA KUA BERTINDAK
Oleh : Drs. H. Abdul Azis, M.Pd.I
Wali menolak dalam istilah fiqih munakahat (pernikahan) disebut
Wali Adhal, yaitu wali yang menolak atau enggan untuk mengawinkan perempuan
yang dibawah perwaliannya. Yaitu wali yang mempunyai wewenang yang sangat jelas
untuk menjadi wali dan tidak mau melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah.
Jikalau terjadi Wali nikah menolak, maka Kepala KUA
bertindak sebagai wali Hakim. ( vide :PMA Nomor
30 Tahun 2005 tentang Wali
Hakim Pasal 1 dan 2 ayat 2, dan pasal 5 ayat 1dan 2)
Wali nikah menolak, kepala KUA bertindak, seakan sudah menjadi
trendi, dan tradisi bahkan solusi dewasa
ini. setiap tahun rata rata 20 sampai 25
perkara wali adhal
di Pengadilan Agama kabupaten Banyuwangi. Pada tahun 2020 tercatat 28
perkara wali adhal, kemudian 3 perkara dicabut. Jumlah sebanyak ini merupakan
jumlah yang pantastis dan tahun berikutnya mungkin bisa melonjak drastis,
jika tidak ada sosialisasi pemahaman
yang benar kepada para wali. Para wali nikah merasa memiliki power terhadap perempuan
yang dibawah perwaliannya, tetapi barang
kali lupa dan mungkin tidak menyadari
akan dampak ekses penolakannya. Tercatat diantara alasan Penolakannya
terkadang tidak relevan dengan syariat , tendensius tidak maslahat, karena alasan mistis adat istiadat, bukan anak konglemerat, tidak punya pangkat
dan sifat sifat lahiriyah calon suami yang kurang memikat, sampai karena beda
pendapat, beda politik dan beda madzhab, dan lain sebagainya.
Penolakan wali (adhal) mempunyai
dampak luas baik menyangkut hal-hal yang
bersifat sosiologis maupun yuridis bahkan Psikologis serta tidak menguntungkan
bagi upaya pembangunan, pembinaan dan pengembangan keluarga sakinah mawaddah
warohmah. Oleh karena itu barangkali
karena pertimbangan inilah para
ulama berpendapat, wali tidak berhak
merintangi perempuan yang dibawah perwaliannya untuk menikah. apabila terjadi
penolakan atau mencegah berlangsungnya perkawinan bagi
perempuan yang sudah saatnya menikah, berarti sama saja berbuat dhalim kepadanya. Kemudian solusi
yang ditawarkan dalam syariat Islam adalah mengadukan perihal penolakannya
kepada Hakim Pengadilan. ( vide: Fiqhus sunnah, juz 2, halaman 136 ).
Wali menolak pernikahan bukan tanpa alasan, merasa dirinya mempunyai hak asasi sebagai wali, “ kalau saya menolak mau apa?. Ada lagi siapapun yang berani menikahkan, maka akan saya tuntut ke pengadilan “. Pernyataan dan argumen semacam ini sering kali kita dengar. Disisi lain, dia lupa bahwa menikahkan adalah tugas dan amanat mulia dari Tuhan. Amanat yang tidak main main, mulai dari mendidik, membimbing, sampai kepada menikahkan jika sudah waktunya (Alqur`an Surah. An-Nur: 32)
Fakta dan masalah
Perkawinan merupakan hak asasi setiap orang, sesuai dengan naluri manusia
sebagai mahluk homo homini
socius (kecenderungan manusia untuk berteman membangun ikatan antar
sesama). Hak asasi ini
diatur dalam undang undang. Nomor 39 tahun 1999, Pasal 50 tentang Hak Asasi Manusia ”Wanita yang telah dewasa dan atau telah
menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain
oleh hukum agamanya”. Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan hukum
sendiri" adalah cakap menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum, dan
bagi perempuan beragama Islam yang sudah dewasa, untuk menikah diwajibkan
menggunakan Wali yang merupakan rukun
islam. Tanpa wali maka
pernikahan dianggap tidak syah “ La Nikaha illa biwaliiyyin “( al-hadits
). Kata “ La “ dalam hadits ini bimakna “ La Nafi Lis sihhah “ artinya
tidak sah menikah tanpa wali (vide : Fiqh Sunnah, jilid II, hal 57)
Begitu pentingnya kedudukan wali dalam pernikahan, akhirnya menjadi
delematis
bagi perempuan untuk menikah, jikalau walinya menolak untuk menikahkan, Belum lagi ditambah adanya restu atau ridlo
Allah terletak pada ridlo orang tua. ( al-hadits ). Akhirnya tidak sedikit
perempuan yang mengalah tidak melanjutkan menikah dengan pilihannya sendiri,
tetapi menikah dengan pilihan orang tua. Disisi lain perempuan lebih memilih taat dari pada kwalat yang pada gilirannya timbul ekses rumah
tangga tidak maslahat sampai kepada
talak atau cerai gugat . Lantas
Siapa yang disalahkan..
Supaya tidak saling menyalahkan, hendaknya dicari solusi dari akar
permasalahan. Jikalau wali yang bersangkutan merasa harga dirinya terlangkahi, misalnya merasa tidak dilibatkan
dalam perundingan pernikahan sebelumnya, maka adakan dialog kekeluargaan dari
hati kehati. Jikalau wali tidak setuju
atau tidak senang dengan calon suaminya
karena berbagai alasan, misalnya wali sudah mempunyai calon lain yang dianggap
lebih cocok dan sebagainya, maka
hendaklah musyawarah kekeluargaan bahkan
kalau bisa mendatangkan tokoh agama setempat untuk memberi pemahaman tentang
hukum munakahat. Jikalau Permintaan wali
terhadap calon suami atau keluarganya tidak dipenuhi tentang dana syarat perkawinan,
seperti penyingset (Jawa), pimbit (Sumatra), sondrang (Sulawesi) dan
seterusnya, maka hendaklah diadakan musyawarah agar perkara yang memberatkan
pernikahan agar dihindari. jikalau wali merasa telah dipermalukan oleh Calon suami, misalnya karena pergaulan yang
kelewat batas sehingga terjadi LKMD (lamaran
keri meteng disik ) hamil duluan sebelum nikah, anak gadisnya dibawa lari
(kawin lari dan kawin colong adat banyuwangi ) dan seterusnya, maka harus
diadakan musyawarah kekeluargaan diantara kedua belah pihak..
Namun apabila tetap tidak dapat dihindari, upaya damai dengan wali tidak
tercapai, wali nikah menolak, maka Kepala KUA-lah yang bertindak, dengan
terlebih dahulu mengajukan permohonan adhalnya wali ke pengadilan agama.
Permohonan tersebut bisa dikabulkan bisa juga ditolak. Apabila penolakan wali alasan yang tidak
dibenarkan menurut syar`iy (
sebagaimana telah disebut diatas ), maka
wali tersebut ditetapkan sebagai wali adhal. Namun sebaliknya, jika alasan
penolakan wali bisa diterima menurut syar`iy, maka permohonan gugatan penetapan
wali adhal akan ditolak oleh Pengadilan agama yang berwenang, misalnya lain agama
atau residivis dan seterusnya. Putusan pengadilan merupakan dasar kepala KUA
untuk bertindak menjadi wali Hakim. Apabila
syarat syarat lain telah tercukupi, demi masa depan kedua belah pihak
yang akan menikah dan atas pertimbangan kemaslahatan lain ,sesuai qoidah fiqih “
Dar`ul Mafasid Muqoddmun ala jalbil masholih “. Pada gilirannya tujuan
pernikahan sesuai dengan undang undang dapat dicapai yaitu membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Penulis adalah Kepala KUA Kec. Gambiran
Kab. Banyuwangi
( Sie Kajian Hukum dan Penelitian Asosiasi
Penghulu Republik Indonesia (APRI)
Banyuwangi )